2. Akhir dari Pembahasan

1262 Words
“Gimana? Kenapa Papa bisa ngerasa cocok? Coba jelasin sama Nana. Masa baru ketemu sekali udah bisa ngerasa cocok aja, udah yakin dia baik padahal Papa sama sekali nggak tahu soal anak itu. Ayo, coba jelasin ke Nana, gimana bisa Papa ngerasa yakin kalau Abi itu baik?” Dicerca kalimat seperti itu oleh putrinya membuat Papa mati kutu, pria itu agaknya tidak menyiapkan jawaban yang baik untuk ini. Hingga beliau terlihat salah tingkah dan bingung harus menjawab dengan kalimat macam apa. Tentu saja reaksi papanya itu semakin membuat Naura mengernyit menjadi-jadi. Sosok pria panutan yang dikaguminya itu tidak bisa menjelaskan dengan pasti bagaimana ia bisa menilai Abi selurus itu. “Y-ya itu... Soal itu—ih, pokoknya Papa yakin!” “Lho, nggak bisa gitu dong. Enak aja, yang nikahkan aku, yang jalanin juga aku, jadi nggak bisa seenaknya aja bilang yakin padahal aku nggak.” Balas Naura tidak terima. “Kamu nggak percaya firasat Papa? Papa sama Mama udah cocok banget sama Nak Abi, Nana.” Timpal sang Papa tidak mau kalah. “Tapi aku yang nggak cocok, Pa! Demi Tuhan, dia masih 21 tahun!” “Tingkat kedewasaan seseorang nggak dilihat berdasarkan usia, Naura! Di mata Papa Nak Abi dewasa, bahkan lebih dewasa dibanding kamu. Papa udah lihat sendiri tanggungjawabnya di perusahaan. Walaupun sebagai anak komisaris tertinggi, Nak Abi nggak pernah memanfaatkan statusnya, Nak Abi bekerja dari dasar, sesuai denga kualifikasinya saat itu. Dia benar-benar pria yang bertanggungjawab. Apa lagi yang diragukan kalau dalam 2 tahun terakhir Papa sudah melihatnya sendiri. Bekerja di usianya muda karena tuntutan keluarga, tapi Nak Abi masih bisa bersikap sebijak itu.” Naura dibuat bungkam, bukan hanya karena penjelasan papanya, tapi juga karena fakta yang sang Papa ungkap dari penjelasannya. Pada akhirnya Naura bisa tahu, mengapa Papa bisa seyakin itu menilai Abi padahal setahunya mereka baru berjumpa hari ini, dan itu ternyata... karena Abi adalah anak dari atasan tertinggi papanya di kantor? Well, itu informasi yang benar-benar baru Naura tahu. Pantas saja papanya terlihat begitu yakin saat menilai Abi tadi. Pada akhirnya Naura tidak memiliki argument lagi untuk membantah perkataan papanya. Janji Naura pada Papa, Mama, juga Nathan seperti yang tadi papanya singgung memang benar, pun dengan penjelasan yang baru saja ia dengar membuatnya sulit mencari alasan lain untuk menolak pria yang masih duduk di ruang tamu rumahnya menunggu. Mungkin, Naura bisa saja mencari alasan lain, banyak alasan lain yang bisa dirinya kemukakan untuk menolak pinangan itu jika Naura memikirkannya lebih jauh. Hanya saja... setelah melihat satu per satu mata di hadapannya, sorot mata dari setiap anggota keluarganya, apakah Naura bisa membuat mereka kecewa? Setelah penantian dan kesabaran yang mereka berikan pada Naura selama ini. Apakah Naura masih bisa membuat mereka jauh lebih kecewa dari ini? *** Nigi mengetuk pintu di depannya ragu, namun pada akhirnya tetap gadis itu lakukan karena menurutnya sosok di dalam kamar itu pasti membutuhkan dirinya sebagai tempat bicara. Yah, meski Nigi tidak tahu apa kakak sepupunya itu akan mengeluarkan unek-uneknya atau tidak, tapi tidak ada salahnya kan dicoba? “Kak Na, Nigi masuk ya?” Izin Nigi setelah mengetuk pintu kamar Naura, menunggu sosok di dalam kamar itu menyahut sebelum membukanya. “Hm.” Hanya seruan itu yang Nigi dengar, tapi setidaknya cukup untuk membuatnya bisa melenggang memasuki kamar yang dihiasi nuansa putih di dalamnya. “Masih bête sama pembahasan tadi?” Tanya Nigi hati-hati, melangkah perlahan mendekati ranjang kakak sepupunya yang sudah ditempati oleh si empunya. Naura memang sedang berbaring di sana, terlungkup dengan satu buah buku yang terbuka. “Lo belum pulang? Nggak dijemput Noel?” Pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan, dan itu biasanya menandakan bahwa sesuatu memang tidak berjalan baik di sana. “Kak...” Suara Nigi penuh peringatan. “Ya bête, masih nanya.” Nigi sedikit manyun, mungkin salah dirinya juga yang terlalu berbasa-basi. Gadis 21 tahun yang merupakan mahasiswi kedokteran itu kemudian mendaratkan dirinya di kursi belajar—entah kursi kerja sebutannya—yang ada di kamar itu, menyeretnya hingga mendekati sisi ranjang agar bisa bicara lebih dekat dengan kakak sepupunya itu. “Segitunya nggak mau nikah sama berondong, Kak?” Naura yang sejak tadi tidak menolehkan kepalanya ke arah Nigi, detik itu juga langsung menjatuhkan tatapan tajamnya ke arah sang adik sepupu. “Coba kamu aku tanya balik, kalau disuruh nikah sama bukan Saba memang kamu mau?” Ups, Naura kelepasan bicara. Topik itu adalah topik yang paling sensitif, dan seharusnya tidak Naura bawa-bawa dalam bahasan ini, tapi kenapa mulutnya itu... Naura bisa melihat berubahan raut wajah adik sepupunya. Nigi yang tidak bisa melupakan cintanya yang sudah pergi, meski gadis itu selalu berusaha untuk menunjukan bahwa dirinya kini telah baik-baik saja setelah beberapa tahun kepergian kekasih hati, nyatanya gadis itu jelas belum—tidak baik-baik saja. “Tentu. Well, maksudku suatu hari aku harus tetep nikah, kan? Hm, harus tetep nikah. Dengan siapapun itu.” Ucap Nigi, setelah menarik napas panjang dengan kepala yang sebelumnya menunduk dan mencengkram kedua tangannya yang berada di pangkuan. Naura sudah menyentil lukanya, dan Nigi berusaha menunjukan bahwa dirinya baik-baik saja. Salah, Naura memang salah mengangkat nama pemuda yang telah meninggalkan adik sepupunya ini. “Maaf, Gi... Kakak nggak bermaksud—” “Hmph! Aku ke sini padahal buat ngehibur Kakak lho. Tapi sekarang malah Kakak yang minta maaf dan ngerasa bersalah. Padahal tadi aku masuk dengan sedikit rasa bersalah karena udah godain Kak Na.” Senyum palsu itu lagi. Senyum yang sudah setia ada di wajah Nigi selama beberapa tahun terakhir. Senyum yang menurut orang-orang baru yang dijumpai gadis itu pasti merasa bahwa senyum itu asli, murni—yang sayangnya, di mata orang-orang terdekat Nigi tidaklah sama. Senyum itu palsu, yang coba Nigi patenkan menjadi senyum aslinya. “Gi—” “Ah, kayaknya Noel udah dateng buat jemput deh! Gue coba lihat dulu deh Kak di bawah. Toh, lo juga kelihatannya udah nggak kenapa-kenapa. Anyway sorry buat yang tadi intinya, dan... selamat mempertimbangkan lamaran berondong lo itu. Kalau ada apa-apa cerita ke gue aja ya, Kak! Nggak perlu sungkan, tapi... usahain nggak bahas yang tadi lagi hahaha.” Celoteh Nigi panjang, tiba-tiba terkesan benar-benar ingin buru-buru menyudahi percakapannya dengan Naura. “Kalau bener Noel udah jemput, gue nggak pamit lagi ya. Males kalau harus naik ke atas lagi. Jadi sekaliaan sekarang aja pamitnya. Nigi pulang dulu, Kak Na! Selamat berpikir.” Tanpa menunggu balasan dari Naura, gadis itu langsung saja berlalu pergi, bangkit dari kursi yang tadi didudukinya dan melangkah cepat meninggalkan kamar Naura. Naura menyaksikan punggung adik sepupunya yang hilang di balik pintu, hatinya terasa berat, karena ucapannya bisa jadi berdampak luar biasa pada Nigi yang masih memproses perasaannya sendiri untuk kembali ke titik normal. Naura tahu itu tidak mudah, dan mungkin tidak akan pernah mudah untuk Nigi yang ditinggalkan begitu saja. Penyesalan bergumul di hatinya untuk waktu yang lama, menyesali, kenapa pula dirinya harus menyinggung nama itu di depan Nigi. Kalau memang niat Naura mengusir Nigi dengan cepat dari kamarnya dengan cara itu, selamat Naura memang berhasil, tapi Naura tidak pernah bermaksud melakukannya, kan? Ah... urusan hati ini memang benar-benar pelik. Sepelik perasaanya yang gamang dengan lamaran yang datang padanya tiba-tiba ini. Seketika dunia Naura rasanya ingin diputar balik. Menuju hari-hari tenangnya, kembali ke waktu di mana Nuara belum mengenal pemuda itu—Abi. Bukankah dengan begitu hari seperti ini tidak akan pernah datang? Naura juga tidak akan mengatakan kalimat-kalimat yang bisa membuat Nigi bersedih seperti tadi, kalau saja—kalau saja Naura tidak menerima tawaran itu sejak awal. Kalau saja Naura tidak menambah kelasnya, mungkin pertemuannya dengan Abi tidak akan pernah terjadi, dan hari ini pun tidak akan pernah dialaminya serumit ini. Kalau saja....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD