CH.61 Come to You

1815 Words
Rasyid melempar ponsselnya begitu saja setelah mengumpat puas kepada Reno. Pria itu menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya dan mengepalkan tangannya kesal. Edgar masuk ke ruangannya setelah mengetuk pintu hendak melapor tapi dia melihat pecahan ponsel di lantai yang membuatnya paham, emosi bosnya dalam kondisi tak stabil. “Nona Asmara sudah bertemu dengan orang suruhan kita dan sepertinya rencana ini akan berhasil. Apa Anda jadi berangkat ke Semarang Bos?” tanya Edgar. Rasyid menoleh dan melihat jam di tangannya, “Keburu kan?” tanya Rasyid balik. “Mungkin saja kalo berangkat sekarang atau bisa juga pake cara yang sedikit berlebihan,” kata Edgar. “Cara berlebihan apa maksudmu?” tanya Rasyid tak mengerti. “Sewa heli dan landing di salah satu hotel Semarang yang punya helipad,” kata Edgar. Rasyid tersenyum simpul, “Usul yang menarik, coba cek berapa lama kita harus mempersiapkannya, kalo lebih dari dua jam bawa supir aja buat ke sana sekarang,” kata Rasyid. Edgar meninggalkan ruangan itu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Rasyid ingat jika dia harus mengatakan rencana Asmara kepada Aldo dan dia menyadari jika ponselnya sudah hancur. “Dika mana?” tanya Rasyid kepada sekretarisnya karena tak melihat Dika saat dia keluar ruangan. “Ada meeting Pak sampai jam 3,” jawab sekretaris itu. “Telpon dia bilang bawain aku ponsel baru, dua puluh menit,” kata Rasyid dan sekretaris itu melakukan apa yang bosnya katakan. Tak sampai dua puluh menit, Dika masuk ruangan dalam kondisi berisik dengan omelan panjang yang tidak tahu ditujukan kepada siapa. “Mana ponselku,” kata Rasyid memotong omelan itu. Dika menyerahkan ponsel itu dengan ceramah panjang lebar tak berujung. “Sultan sih boleh aja, tapi kalo udah habis handphone empat belum setahun ini udah parah banget. Mana punyamu ga murah lagi,” keluh Dika. Rasyid menyalakan ponselnya dan semua pengaturan sama persis dengan ponsel lama yang dia gunakan. Hal inilah yang membuatnya tak ragu sering membanting ponselnya karena Dika selalu punya cadangan ponsel dengan pengaturan yang sama. “Daripada elu yang aku banting mending banting ponsel ini kan,” sahut Rasyid yang membuat Dika penasaran. “Ada masalah apa sih sampe emosi Pak, perasaan beberapa waktu ini baik-baik aja,” tanya Dika penasaran. Rasyid menceritakan apa yang dia ketahui dan pria itu kaget dengan apa yang dia dengar. “Keren ya dia, bisa mikir  ide kaya gitu, bener-bener wanita yang cerdas dan elegan,” kekeh Dika. “Tau kan kenapa aku ga bisa move on dari dia,” kata Rasyid bangga. Dika berdecak, “Sebahagia elu dah,” kata Dika kemudian. Ponselnya berdering dan dia melihat nama Edgar. “Gimana bisa?” tanya Rasyid. “Take off jam 6 Bos, tapi Cuma butuh waktu 45 menit ke Semarang. Menurut saya lebih efisien karena kita loss empat jam, tapi lebih cepat sampai daripada di jalan selama 6 jam,” lapor Edgar dan dia mempertimbangkan apa yang Edgar katakan. “Oke booking aja,” kata Rasyid. Dika mengerutkan dahinya, “Booking apaan sih?” tanya Dika kepo. Rasyid berdiri dan bersiap meninggalkan ruangannya. Dika sampai mengikuti langkah Rasyid. “Helikopter, mau ketemu Asmara,” kata Rasyid santai di depan pintu dan meninggalkan Dika yang bengong. “Sakit jiwa mau ketemu Asmara pake heli segala,” gumam Dika setelah mendengar debuman pintu ruangan. Rasyid menjelaskan semuanya kepada Aldo mengenai rencana yang akan Asmara lakukan. Aldo juga tak kalah terkejut dengan apa yang direncanakan oleh Asmara. “Pantesan elu bisa jatuh cinta sama dia, pikirannya amazing, ati-ati lu besok ga bakal bisa bohongin dia kalo secerdas ini,” puji Aldo tapi terselip ejekan dia dalamnya. “Gue ga jatuh cinta sama dia, elu sama aja kaya yang lain. Kesel gue jadinya,” protesnya dan Aldo terbahak puas dengan apa yang Rasyid keluhkan. “Ulur waktu buat gue ya, aku masih siap-siap mau ke sana buat ketemu sama dia,” pinta Rasyid tapi Aldo tak henti meledeknya. “Sumpah ya, ledekin gue lagi habis rumah lu rata sama tanah,” ancam Rasyid kesal tapi sebenarnya dia kikuk juga mendengar ledekan semacam itu. “Wani piro,” kata Aldo menirukan jargon iklan. Rasyid berdecak kesal, “Ambil apartemenku yang di Singapore, kuncinya ntar malem aku kasih,” kata Rasyid enteng seakan memberi apartemen seperti memberi gorengan. “Aseem, ngledek, itu apartemen strategis dan investasinya oke loh,” Aldo merasa tak yakin sepupunya sebaik itu kali ini. “Ga masalah asal mau bantuin gue urusan sama Asmara. Apartemen mah kecil,” sombong Rasyid yang mendapat umpatan sepihak dari Aldo. “Uluur waktu sampe aku datang dan satu lagi minta dia untuk kirim salinan surat cerainya ke alamatku ya,” ucap Rasyid cepat. “Salinan surat cerai buat apa? Kan kamu bisa cari sendiri, kenapa mesti minta salinannya, udah kaya petugas kelurahan aja lu,” cela Aldo. “Biar dia tahu kalo ada orang yang nungguin dia cerai dan siap buat menggantikan posisi suaminya yang bentar lagi tamat,” kekeh Rasyid yang diikuti tawa Aldo. “Emang sakit jiwa lo, jangan lupa bawa kunci apartemen atu buyar ini semua,” kata Aldo dan mengakhiri panggilan mereka. *** Rasyid pergi bersama Edgar ke Semarang untuk  menemui Asmara. Keduanya baru sampai di salah satu hotel yang masih satu grup dengan Madin dengan fasilitas helipad di atapnya. Keduanya turun ke basement untuk mengambil mobil  yang sudah Edgar siapkan. Rasyid mendengar notifikasi di  ponselnya dan dia melihat ada pesan dari Aldo. Rasyid membaca satu nama kafe tempat dia dan Asmara bicara, sesuai kesepakatan mereka untuk mengulur waktu. Dan setelahnya ada video pendek tentang aksi Asmara saat melakukan penggrebekan itu. Rasyid tersenyum melihat tingkah Asmara dan dia menunjukkan video itu kepada Edgar. “Simpan video ini, biar kalian semua belajar  gimana cara berurusan sama Rara,” kata Rasyid. Edgar sendiri cukup takjub dengan apa yang Asmara lakukan, selama ini dia yang berinteraksi langsung dengan Asmara memang paham dia bukan wanita sembarangan tapi dia tak menyangka jika pola pikirnya sangat tak biasa. Rasyid di tempat  yang Aldo informasikan dan dia mengedarkan pandangan di sana tapi tak menemukan orang yang dia cari. Dia memutuskan untuk ke lantai dua dan sekejap saja dia menemukan orang yang dia cari. “Jangan lupa kirim salinan surat cerai kamu di alamat ini,” kata Aldo yang Rasyid dengar dengan jelas dan sepupunya itu menyadari kedatangannya tapi Rasyid memberikan kode untuk mengabaikannya. “Alamat siapa ini?” tanya Asmara. Rasyid melihat di samping Asmara ada seorang lelaki yang asing baginya tapi akrab dengannya. Edgar membisikkan siapa lelaki itu sebelum Rasyid bertanya dan dia merasa lega karena tak ada lagi pesaing baginya. “Dia orang yang paling ingin tahu soal dirimu dan sepertinya masa depanmu nantinya,” goda Aldo membuat Asmara berdecak. “Aneh, untuk apa aku mengirimkan ke sana, kalopun dia memang seperti yang kamu bilang harusnya dia berani menampakkan wajahnya di sini bukan sembunnyi di balik punggungmu itu. Ga gentle banget,” keluhnya. Rasyid menghela napas sesak mendengarnya, kali ini dia mendengar dengan jelas Asmara mengatakan jika dia tidak gentle. Baiklah, memang sepertinya dia harus menampakkan wajahnya  terang-terangan. “Bisa diatur, aku yakin setelah surat cerai itu kamu kirim ke sana, dia bakal melakukan apa yang kamu bilang itu, dengan gentle,” ucap Aldo dengan penekanan kata ‘gentle’ “For what?” sindir Asmara. “Untuk –“ “Untuk memastikan kamu sudah single dan tidak akan kembali lagi pada pria bbrengseek itu,” sahut Rasyid memotong ucapan Aldo. Asmara menoleh dan terbelak melihat sosok di belakangnya. “Rasyid,” lirihnya. Lelaki di samping Asmara bingung dengan reaksi kedua pria dan wanita itu. Tapi dia masih diam melihat keadaan dan siaga. “Are you miss me Darling?” desis Rasyid berjalan mendekati Asmara dengan senyum ceria. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Asmara terbata karena dia sama sekali tak menyangka Rasyid bisa muncul di sini dan dari mana dia tahu kalo dirinya ada di sini. “Tentu saja untuk memastikan kamu dalam keadaan baik-baik saja, setelah melalui beberapa jam yang berat,” ucapnya lembut. Asmara yang masih syok dengan kedatangan Rasyid merasakan desir aneh dengan ucapan pria itu. Tapi dia segera menyadarkan dirinya untuk tidak terbuai dan kembali fokus soal kehadiran Rasyid yang tiba-tiba. “Dari mana kamu tahu aku ada di sini?” tanya Asmara cepat. Rasyid hanya tersenyum dan meminta Asmara untuk duduk. Pria itu menjelaskan jika Aldo sepupunya dan dia minta bantuan Aldo untuk membantunya mengungkap kasus perselingkuhan suaminya. “Tunggu dulu, apa itu artinya kamu mengawasiku selama ini? Sampai kamu tahu kalo suamiku selingkuh, apa maksudmu sebenarnya?” desak Asmara dengan penuh emosi. Rasyid menghela napas, apa yang dia khawatirkan terjadi. Kenapa dia tak ingin buru-buru bertemu dengan Asmara karena hal ini dia pasti tidak akan suka dengan apa yang dirinya lakukan selama ini. “Yes I’m. Karena aku khawatir sama kamu,” ucap Rasyid pelan dan lembut sambil mengembangkan senyumnya. Tapi tatapan kesal dan marah Asmara membuatnya panik. “Aku ga butuh semua itu, kamu bukan siapa-siapa untukku!” seru Asmara. Deg. Rasyid terhenyak dan tubuhnya menegangmendengar ucapan Asmara. Dia meman bukan siapa-siapa bagi Asmara, karena itu dia datang untuk jadi seseorang dalam hidupnya. “Aku tahu, karena itu –“ “Hentikan sampai di sini Ras, aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi dan ini privasiku. Kamu lancang telah terlibat terlalu jauh,” tegasnya memotong ucapan Rasyid yang belum selesai. Asmara bersiap untuk berdiri dan menarik adiknya. Tapi Rasyid merasa ada gelitik kesal dalam dirinya mendengar ucapan Asmara. “Aku tahu itu, tapi di masa depan aku akan jadi seseorang untukmu bukan lagi siapa-siapa seperti yang kamu bilang,” balas Rasyid tak kalah percaya  diri. “Impossible,” tukas Asmara tak mau kalah. “Ayo Dek kita pulang percuma di sini kita buang-buang waktu,” kata Asmara yang bersiap melangkah meninggalkan semua orang yang ada di sana. Rasyid mencekal tangan Asmara, “Tunggu, ada yang harus kita bicarakan,” ucapnya. Asmara menghentakkan cekalan itu, “Tak ada lagi yang perlu dibicarakan karena ini urusanku bukan urusanmu. Ingat, jangan lagi kamu  mencampuri  urusanku,” ketus Asmara. Rasyid terlihat geram dengan ucapan itu, dia mengeraskan rahangnya dan mengepalkan tangannya lalu dia menghela napas sesaat. “Aku begini karena aku tak mau kamu terluka,” seru Rasyid membuat Asmara diam. “Why?” tanya Asmara pelan tapi tatapannya  tak lepas dari manik mata Rasyid seakan dia sedang mencari kebenaran apa yang disembunyikan pria di hadapannya ini. “Cause I like your smile,” balas Rasyid pelan. Asmara membulatkan matanya dan tatapan Rasyid yang lembut menunjukkan jika ucapannya tidak main-main. Pria itu masih berharap Asmara tak meninggalkannya malam ini begitu saja. “Jadi pulang?”  tanya adik Asmara sambil memegang pundaknya. Asmara menoleh dan dia mengangguk. Keduanya pergi meninggalkan Rasyid yang tersenyum dan menatapnya penuh harap untuk tetap tinggal. ‘Apa perasaan ini memang cinta atau ego yang menguasai diriku,’ batin Rasyid dilema tapi tatapannya sendu menatap kepergian Asmara. “Munafik kalo bilang ga cinta sama dia.” ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD