Game 3

2051 Words
Adi terbangun, dengan luka memar di pipi dan juga wajahnya akibat bertengkar dengan Ayahnya semalam. Dia berada di lantai ruang tamunya sekarang ini, sendirian dan merasakan dinginnya ubin yang menusuk ke dalam jantung dan juga setiap kulit sekaligus pori-pori yang menembus tubuhnya. Adi merasa benar-benar pegal karena apa yang telah dilakukannya dengan Ayahnya tadi malam. Dia mencoba bangun, tak tahu sudah berapa lama dia berada tersungkur selama itu dalam posisi baju yang sudah compang-camping dengan tatanan yang tidak terurus. Adi sudah lupa, apa yang dia lakukan tadi malam. Namun yang jelas, Ayahnya sudah tidak berada di sini sekarang. Entah kabur, entah mati, atau pun hilang benar-benar di telan bumi. Satu hal yang menjadi kekhawatirannya adalah adiknya sekarang, yang tengah tertidur dalam posisi tengah menangis kesakitan. Air mata yang turun di pipinya sudah mengering sekarang, menahan rasa sedih yang diperparah dengan kondisi kedua orang tuanya yang semakin memburuk setiap saat. Di meja, ada sebuah kertas, berisi sebuah tagihan utang yang harus keluarganya bayar untuk melunasi semua biaya hidup yang ditanggung olehnya. Dia tak tahu, apakah dengan nominal sebanyak itu, dia bisa mampu untuk melunasinya. Bahkan, mungkin dengan pekerjaan yang ada sekarang, Adi tak mungkin bisa melunasinya seumur hidupnya. Tiba-tiba, dari arah pintu, terdengar suara orang yang menggedor-gedor pintu. Ingin untuk segera masuk dan menemui sang pemilik rumah yaitu Adi yang berada di dalam. “Halo! Apakah ada orang di rumah! Saya ingin bertanya! Apakah memang ada seseorang di sana!” Teriak seseorang itu dengan keras, meskipun sekarang waktu menunjukkan masih pagi-pagi sekali. Sebelum Adi berjalan menuju pintu rumah untuk membukanya, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan paksa. Ditendang oleh dua orang secara bersamaan tanpa bisa membuat Adi menahannya. Itu adalah dua orang berbadan besar sekaligus gempal yang ingin mencoba untuk menagih hutang kepada keluarga Adi. Dan dia, sedang menagih Adi untuk membayarnya sekarang. “Dimana Ayahmu! Kami tahu kalau semalam dia berada di tempat ini. Katakan dimana dia sekarang!” Dua orang berbadan gempal itu mencekik leher dari Adi, sampai dia benar-benar hampir kehilangan nafasnya untuk bisa mengeluarkannya. Adi sampai terbatuk-batuk karena tak bisa melakukan apa-apa untuk menjawab pertanyaan itu. “Kumohon, lepaskan tangan kalian dari leherku sekarang”. Dua Algojo itu pun kemudian melepaskan tangan mereka, membuat Adi merasa sedikit lega meskipun harus sedikit terbatuk-batuk karena efeknya. Untuk melegakan batuk-batuk Adi tersebut, dua orang penagih hutang itu memukul punggung Adi, sampai benar-benar keras dan membuatnya jatuh tersungkur menyentuh tanah kembali sekarang ini. Hidungnya menabrak ubin-ubin lantai yang dingin dan keras. “Sudah, jangan banyak alasan! Aku tidak ingin mendengar kata-kata darimu! Ataupun dari siapapun! Aku hanya ingin mencoba untuk mencari tahu dimana keberadaan Ayahmu! Dan setelah semuanya telah selesai, kami berdua akan pulang dan tidak akan pergi kemari lagi!” Sepertinya melihat Adi sedang tersiksa seperti sekarang tidak membuat mereka puas. “Aku tidak tahu. Memang benar dia tadi malam berada di rumah ini. Namun pagi ini, dia sudah pergi entah kemana. Aku sendiri tak tahu bagaimana cara mencarinya. Aku mengira, kalau kalian lebih paham dan pandai cara untuk mencari seseorang seperti dirinya!” Ucap Adi kepada dua algojo itu di sana. Tapi kemudian, perut Adi di tendang dengan sangat keras sampai air liur keluar dari mulutnya. “Kau memang benar-benar mirip seperti ayahmu! Tukang pembohong dan juga pendusta. Aku tidak menerima jawaban yang lain! Aku hanya ingin tahu dimana lokasi dari Ayahmu sekarang juga!” Ucap kedua penagih hutan itu kepada Adi. Sepertinya menyiksa Adi begitu saja tidak cukup untuk membuat mereka berdua merasa begitu senang. Adi mencoba bangkit, berdiri dan juga menatap kedua orang tersebut dengan tatapan dingin dan juga mata yang penuh lebamnya. Seraya, tatapan itu membuat dua debt collector itu menjadi cukup bergeming dan sedikit ketakutan. Dengan tendangan seperti itu, tidak mungkin bocah seperti dia bisa dengan mudahnya untuk bangkit kecuali memang memiliki ketetapan hati yang benar-benar kuat. “Dengarkan ini bapak-bapak. Ayah yang kalian berulang kali sebut. Bukan lagi Ayahku. Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan dirinya, entah dia sedang tidur di tong sampah, mengambang di sungai, ataupun tercerai berai dimakan rayap. Apa yang terjadi dengan dirinya, tidak ada hubungannya denganku, dengan kami sekarang. Jadi, pergilah dari sini. Dia bukan lagi Ayahku”. Pria gempal berambut pendek yang ada di hadapannya kemudian memukul mundur Adi, namun tidak menggoyahkannya sedikitpun. Dia masih tetap berdiri dan mencoba untuk melawan balik kedua orang yang telah berani-beraninya masuk ke dalam rumahnya tanpa izin sekarang. “Aku tidak suka dengan tingkahmu wahai bocah. Kau mau apa? Mau bertarung denganku sekarang hah!?” Mereka pun hendak memukul Adi sekarang, dengan kedua tangan kanannya seperti membentuk irama yang jelas. Tapi kemudian, dari belakang, Nadilla menarik Adi, mencoba untuk membuat kakaknya itu menghindar dari pukulan maut yang dihasilkan oleh dua orang tersebut sekarang di sana. “Kalian semua! Hentikan! Maafkan apa yang telah dilakukan oleh kakakku!” Melihat seorang gadis kecil berjuang melindungi kakaknya, Mereka berdua pun menahan serangan itu sekarang. Merasa iba dengan sosok gadis kecil itu. Dan berakhir keluar dari pintu mencoba untuk pergi dari rumah ini sekarang juga. “Dasar bocah biadab! Jika adik kecilmu tak ada di sana! Mungkin kau sudah akan kami cincang dengan habis! Rasakan saja semua balasanku nantinya kepadamu!” “Nadilla! Apa yang kamu lakukan!” Ucap Adi kepada adiknya, merasa perbuatan gadis kecil itu benar-benar konyol untuk dilakukan olehnya. “Kakak apaan sih! Jangan merasa sok kuat deh! Sudah jelas-jelas tadi Nadilla mau nyelamatin kakak dari debt collector itu! Kalo Nadilla gak selametin, mungkin kakak akan dihajar habis-habisan oleh mereka! Nadilla gak mau liat kakak berantem lagi di depan Nadilla sekarang!” Ucap Adiknya itu dengan penuh khawatir dan juga rasa iba. Adi pun menoleh ke belakang, menunduk untuk menyamakan tingginya dengan adiknya. Dia menatapnya dengan serius, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang benar-benar serius juga nantinya. “Nadilla, dengar. Apa pun yang kakak lakukan sekarang, kakak tidak akan membiarkanmu melakukan urusan orang-orang dewasa seperti tadi. Kakak akan selalu melindungimu dari...” Nadilla tiba-tiba menampar Adi, dengan alasan yang tidak jelas bisa dia utarakan kepadanya. Adi tentu saja bingung, untuk apa tamparan itu dia terima dari adiknya sendiri sekarang. “Kakak adalah pembohong terburuk yang pernah Nadilla dengar. Kakak telah berkelahi dengan ayah, tetangga, dan juga orang tadi untuk apa? Untuk melindungi Nadilla? Aku lihat semua kejadian di malam tadi kak! Nadilla tak ingin itu semua terjadi hanya supaya kakak berdalih itu demi Nadilla! Kakak tidak seharusnya melakukan itu!” Adi tiba-tiba tersadar, kalau selama dia berkelahi dengan Ayahnya, Nadilla lah yang menjadi saksi itu semua. Ingatannya seperti terbuka kembali, melihat semua kejadian itu seperti sebuah roll film yang membuatnya mengingat semua itu dengan mudah. Dia tak bisa membayangkan, betapa brutalnya semua kejadian itu di depan Nadilla sekarang. Dia menangis tanpa henti, sampai kelelahan dan tertidur. Merasa malu dengan dirinya sendiri, Adi pun memeluk Nadilla dengan sangat erat. Seperti merasa kalau malaikat kecilnya itu akan meninggalkan dirinya tak lama lagi. “Maafkan kakak Nadilla. Kakak tahu, kalau kakak memang salah. Maafkan kakak, karena tidak bisa memberikan dirimu sebuah keluarga yang benar-benar sempurna sekarang ini”. Hubungan antara Nadilla dan juga Adi benar-benar erat seperti dua pasang saudara yang tak mungkin dipisahkan. Keadaan sulit dan berat penuh beban ini tidak membuat hubungan mereka menjadi renggang, malah menjadi semakin kuat sekaligus tangguh akibat semua cobaan yang menghadangnya. “Sebagai permintaan maaf. Bagaimana kalau kita membuat sebuah bubur sekarang untuk sarapan?” Usul sekaligus ide dari Adi diterima dengan baik oleh Nadilla. Dia pun melepaskannya, dan segera menuju ke dapur untuk masak-masak bersama. Semua luka sekaligus rasa lelah yang dihadapi oleh Adi terasa hilang semua setelah dia melihat senyuman di wajah manis Nadilla itu sekarang. Serasa, semuanya benar-benar berubah menjadi lebih indah sekaligus mudah saat Nadilla senyum kepadanya. Mereka berdua berada di dalam dapur sekarang, membuka tungku yang berisi beras mentah untuk bisa dinanak sekaligus dimasak sekarang ini. Apa pun yang mereka berdua lakukan, mereka yakin kalau makanan itu tidak enak. namun setidaknya berhasil untuk mencegah rasa lapar sekaligus lambung yang meronta-ronta akibat tidak diberi asupan makanan apa pun di sana. Saat membuka beras, nasi cadangan yang mereka miliki benar-benar terasa sedikit sekarang. Sampai mungkin, beras ini akan berhasil dimasak dan dimakan sampai satu hari ini full saja. Mereka mungkin tidak akan bisa makan beras lagi di hari ke depannya. Namun hal ini tidak membuat Adi ataupun Nadilla berkecil hati. Apa pun yang mereka lakukan sekarang, mungkin akan sepadan dengan hasil yang akan mereka raih berdua nantinya di masa depan. “Ayo, masak ini saja kak”. Terinspirasi dengan budaya orang jepang, Adi dan juga Nadilla ingin meniru apa yang mereka lakukan. Hanya memakan nasi saja, tanpa lauk apa pun sebagai pendamping. Mereka sudah lama melakukan hal tersebut, dan pada awalnya memang merasa benar-benar aneh sekaligus muak. Tapi lama-kelamaan, mereka mulai terbiasa dengan apa yang mereka makan di sana saat itu juga. Hanya saja sekarang, nasi saja sepertinya tak cukup untuk membuat mereka kenyang. Adi tak memiliki pilihan lain selain menambahkannya sebuah tepung tapioka agar adonan dari nasi itu makin mengembang dan banyak sehingga mudah untuk dimakan. Adi mencampurnya satu persatu, dan merasakan makanan yang kenyal sekaligus berporsi jumbo itu sangat penuh di mulutnya sekarang. Nadilla memakan semangkuk penuh nasi itu, dan Adi merasakan kalau Adiknya itu seperti sedang menahan rasa mual karena ketawaran yang ada di mulutnya itu memang benar-benar tak terhingga. Dia benar-benar tak tahu apakah harus memakan semua makanan yang aneh itu dengan habis atau tidak. Tapi kemudian, Nadilla tersenyum kepada kakaknya dan berkata. “Makanan ini enak kok kak! Ayo habiskan!” Mendengar itu dari adiknya sendiri, membuat Adi merasa semakin terpacu untuk menghabiskan semua makanannya sampai tak ada satu pun biji nasi yang tertinggal. Benar-benar bersih, sampai membuat piring itu kinclong seperti sehabis dicuci bersih menggunakan sabun pewangi. Hanya saja, sekarang Adi merasa kalau ada perasaan aneh di dalam lambungnya itu sekarang. Di dalam tungku nanak nasi itu, masih ada beberapa sendok makan yang bisa digunakan oleh Ibu Adi untuk memakannya. Meskipun sedang sakit-sakitan, Adi harus tetap memberi makan Ibunya agar tetap fit dan juga berisi oleh tenaga. Adi merasa, kalau memang dia harus merawat Ibunya itu sekuat tenaganya sebisa mungkin apa yang dia lakukan sekarang ini. Adi merasa, kalau memang Ibunya itu memiliki harapan untuk bisa sembuh dan hidup kembali seperti sedia kala. Adi mengantarkan sendiri semangkok nasi itu ke kamar Ibunya. Dan di sana dia terlihat masih dengan terlelap tertidur. Mungkin karena memang matahari masih belum terlalu panas. Ibu Adi sendiri memiliki waktu tidur layaknya seorang balita. Lebih dari 15 jam dalam hidupnya dihabiskan hanya untuk berbaring di kasur dan tertidur di sana sekarang ini. “Ibu, ayo bangun bu. Aku sudah memasakkan makanan buat Ibu. Ini ada nasi masih hangat dan enak. Aku sama Nadilla juga sudah makan kok Bu. Tinggal ibu saja yang belum makan.” Adi menggoyangkan tangan dari Ibunya, mencoba untuk membangunkannya dari tidur setelah seharian berada di atas kasur melelapkan matanya. Adi pun menggoyangkannya dengan sangat hebat. Namun ternyata, Ibu Adi tidak bangun sama sekali, yang membuat Adi semakin khawatir dengan apa yang terjadi kepada Ibunya sekarang. Apakah mungkin kondisi Ibunya itu semakin parah sekarang dan membuatnya merasa tak bisa memiliki tenaga untuk bangun kembali? Adi terus menggerakkan tangan Ibunya dengan sangat keras. “Bu!! Ayo bangun Bu!! Sekarang waktunya untuk makan!!” Ibu adi tetap tak mau bangun, Nadilla sampai-sampai ikut datang ke kamar Sang Ibu untuk memeriksa apa yang terjadi dengan Ibu mereka berdua sekarang ini. Adi menaruh tangannya ke atas d**a Ibunya dan merasakan kalau denyut jantung Ibunya itu benar-benar sangat lemah sekarang. Jika tidak ditangani dengan tepat, mungkin Ibu mereka akan bisa meninggal begitu saja dengan tepat. “Kakak! Cepat panggil Ambulan! Ibu berada dalam bahaya sekarang ini!” teriak Nadilla paham dengan posisi Sang Ibu sekarang ini. Di sisi lain, Adi cukup bimbang. Jika dia menelepon Ambulan, dia tidak tahu bagaimana cara untuk membayar mereka nantinya. Namun jika dia tidak memanggil jasa layanan itu, dia juga tidak tahu seberapa lama Ibunya akan dapat menahan rasa sakit yang dideritanya sekarang ini. Bisa saja, kalau mereka mungkin akan kehilangan Ibunya di sini sekarang juga. “Baiklah Nadilla. Kakak ingin kamu agar tetap tenang. Kakak tidak ingin agar kamu menjadi panik dan grusa-grusu. Serahkan semuanya kepada kakak! Aku Akan mengurus semuanya!” Balas Adi kepada adiknya yang khawatir itu di sana. Adi menjadi sangat bijak dan bersikap tenang sekarang. Apakah mungkin, dia harus menerima tawaran untuk bermain permainan berbahaya itu sekarang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD