PART. 4 MELAMAR VANIA

1308 Words
'Ya ampuuun Nia, lugu, dan polosnya dirimu, belum terkontaminasi hal-hal berbau m***m. Hmmm ... apa pelajaran reproduksi pada wanita belum Nia dapatkan di bangku sekolahnya ya, atau pelajaran di desa dengan di kota berbeda?' "Iya bisalah, Rumi cewek, Mas Narji cowok," jawaban Vania membuyarkan hayalan Erwan. "Ooh begitu ya?" Erwan menggeser tubuhnya mendekat ke arah Vania. "Abang mau apa?" mata Vania melotot gusar. "Mau cium kamu biar kamu hamil, terus kita punya anak," kata Erwan dengan jahilnya. "Iih, aku nggak mau hamil!" tubuh Vania bergidik. "Nia lihat deh, itu burung apa ya namanya!" tunjuk Erwan ke atas pohon kelapa yang tumbuh tak jauh dari tempat mereka duduk. Vania menolehkan kepala, sehingga wajahnya sangat dekat dengan wajah Erwan. "Mana?" Vania mendongakan kepalanya. Dan .... Cup. Erwan mengecup bibir Vania sekali, mata Vania melebar, dan mulutnya juga ternganga lebar. Melihat Vania diam saja Erwan mengulangi aksinya. Kali ini bibirnya menyentuh bibir Vania yang terasa sangat kaku. Vania mendorong d**a Erwan sehingga ciuman Erwan terlepas. "Abaaaang!" Pekik Vania nyaring. Tiba-tiba tangisnya pecah begitu saja. "Hey, Nia, Nia kenapa menangis? Aku cuma mencium bibirmu sebagai tanda aku menyayangimu." Erwan pura-pura bingung. "Kenapa Abang tega menciumku? Aku bisa hamil tahu!" Vania memukulkan telapak tangannya ke lengan Erwan yang berusaha menenangkan dengan memeluknya. Tawa Erwan hampir tidak mampu lagi dibendung, tapi ia sadar, tidak boleh tertawa sekarang. "Nia jangan takut, Abang tidak akan kabur seperti ... siapa tadi nama cowok yang ciumannya bikin hamil?" "Mas Narji!" Seru Nia diantara isakannya. "Iya itu, Abang akan menikahi Nia. Nia jangan khawatir ya," bujuk Erwan. "Aku enggak mau nikah sekarang, aku masih mau sekolah, Bang." Rengek Vania. "Nia mau sekolah di kotakan?" Tanya Erwan. "Iya!" "Kalau kita menikah, Nia bisa ikut Abang ke kota, dan sekolah di sana." "Kalau Nia hamil, bagaimana Nia bisa sekolah. Ini salahnya Abang, salahnya Abang!" Nia kembali memukuli lengan Erwan. "Di kota, cewek hamil boleh sekolah kok Nia," bujuk Erwan. "Benaran? Abang tidak bohong?" Mata Nia menatap lekat mata Erwan. Erwan mengangukan kepala, agar Nia menganggap ia tidak bohong, padahal sebenarnya, ia mengangguk untuk mengakui ia berbohong. "Nia jangan cemas ya, malam ini juga aku, dan orang tuaku akan menemui orang tua Nia untuk melamar Nia. Nia kalau ditanya orang tua Nia, mau atau tidak jadi istri Abang, harus jawab iya." Erwan mengarahkan Vania, agar tidak gagal menikah dengan Vania. "Tapi, aku belum mau nikah sekarang," isakan Nia masih terdengar. "Kalau kita tidak nikah sekarang, bagaimana kalau perut Nia tambah besar, Nia tidak malu hamil tapi tidak punya suami?" Ancam Erwan. "Nggak mau, nggak mau!" Vania menghentakkan kakinya, dan menggelengkan kepala berulang-ulang. Air mata terus membasahi pipinya. "Kalau enggak mau, berarti Nia harus setuju Abang nikahi secepatnya, oke?" "Huuuhuuu, Abang jahat, kenapa Abang cium Nia! Perut Nia sebentar lagi besar!" Vania mengusap-usap perutnya sambil terisak. 'Ya Tuhan. Tidak kusangka, ternyata di dunia yang sudah maju luar biasa seperti ini, masih ada gadis sangat lugu, dan polos seperti Vania,' batin Erwan. Erwan ikut mengelus perut Vania. "Anak kita," bisiknya, membuat tangis Vania pecah lagi. Erwan tertawa di dalam hati. Ternyata rencana yang sudah disusun untuk membujuk Vania, agar mau menerima perjodohan mereka, malah menjadi lebih mudah, karena ciuman yang bikin hamil. 'Aku akan paksa Ayah, dan Bunda agar setuju menikahkan aku dengan Vania apapun caranya. Apapun caranya, pura-pura mau bunuh diri dengan masuk sumurpun akan aku lakukan,' gumam hati Erwan. Erwan takut, kalau tidak dinikahi sekarang Vania akan diserobot orang. Gadis seperti Vania, pasti tidak ada duanya. ** Erwan menghadap orang tuanya. "Apa!? Kamu minta dinikahkan sekarang?" Tanya Pak Yanto setengah berteriak tepat di hadapan Erwan. "Iya," Erwan menganggukkan kepala, tanpa rasa bersalah sedikitpun akan permintaannya. "Mana bisa begitu, Wan, kalian masih terlalu muda, kamu baru 20 tahun, sedang Vania baru 19 tahun, jangan aneh-aneh deh, Wan!" Kali ini, Bu Elma yang berbicara. "Ini tidak aneh, Bun, nikah sekarang, atau nanti sama saja, lagipula kalau nanti-nanti, aku takut Vania diserobot orang, Bun." "Ya Allah, ternyata anakmu ini sudah jatuh cinta sama Vania, Bun." Pak Yanto menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi, kalian masih terlalu muda, belum boleh nikah, Wan." "Nikah siri juga boleh, Bun, asal dinikahkan." "Kalian belum siap untuk berumah tangga, kamu masih kuliah, Vania baru akan masuk SMA." "Aku tahu, Bun, aku cuma mau dinikahkan, bukan ingin macam-macam. Aku janji tidak akan ngapa-ngapain Vania, sampai dia lulus SMA." "Hhhh, tetap tidak bisa, Wan." Pak Yanto kembali menggelengkan kepala. "Kalau Ayah, dan Bunda tidak mau menikahkan aku dengan Vania sekarang, aku mau bunuh diri saja!" ancam Erwan, sambil bangkit dari kursi yang didudukinya. "Apa? Kamu kemasukan setan ya, Wan!?" Pak Yanto ikut berdiri dari kursinya, dan memandang Erwan dengan pandangan gusar. "Pokoknya, aku minta malam ini juga, Ayah, dan Bunda harus melamar Vania untukku, titik!" Erwan tetap keras kepala. "Ada apa dengan kamu, Wan? Kenapa jadi keras kepala begini?" Tanya Bu Elma bingung. "Aku tidak keras kepala, Bunda, tapi coba Bunda pikirkan, Kami dijodohkan, terus Vania tinggal bersama di rumah kita, apa ada jaminan, selama dia tinggal di sana, dia tidak akan jatuh cinta dengan cowok lain. Kalau kami cepat menikah, dia kan pasti berpikir kalau mau naksir cowok lain." "Tapi, tidak harus menikah juga kan, Wan, kalian bisa bertunangan dulu kan?" bujuk bundanya. "Tidak mau, aku mintanya di nikahkan, bukan bertunangan. Kalau Ayah, dan Bunda tidak mau meluluskan permintaanku, aku mau bunuh diri saja!" Ancam Erwan lagi. "Bagaimana ini, Ayah?" Tanya Bu Elma yang kebingungan akan permintaan putranya. "Kita temui Pak Hari malam ini juga, Bun, kita sampaikan saja apa yang diinginkan Erwan." "Bagaimana kalau ditolak?" Tanya Bu Elma kepada suaminya. "Kita coba saja dulu, Bun." "Wan, Ayah, dan Bunda mau ke rumah Pak Hari malam ini untuk menyampaikan keinginanmu. Tapi, kalau ditolak kamu jangan marah, dan patah hati ya," Pak Yanto berusaha membujuk putranya. "Aku ikut, aku yang nanti meyakinkan Bapak Vania supaya beliau mau menerima lamaranku," sahut Erwan. Kedua orang tuanya saling pandang, bingung dengan sikap Erwan yang tiba-tiba sangat ingin menikah. "Hhhh, ya sudah, tapi Kamu jangan bikin malu Ayah, dan Bunda ya di depan Pak Hari," kata Pak Yanto. "Iya Ayah," sahut Erwan. * Pak Hari, dan Bu Tia saling pandang mendengar apa yang disampaikan Pak Yanto. Mata mereka tertuju ke arah Erwanto. "Kamu benar-benar ingin cepat menikah, Wan?" Tanya Pak Hari. "Iya, Pak, tapi nikahnya cuma mau sama Vania, saya janji Pak tidak akan mengganggu sekolah Vania," sahut Erwan. "Tapi, kenapa harus tergesa-gesa, Wan, kamu bisa menunggu setelah Vania lulus SMA?" Tanya Bu Tia. "Nanti, atau sekarang sama saja, Bu, saya tidak akan macam-macam sama Vania, Bu. Saya juga ingin dia melanjutkan pendidikannya sampai dimana dia mau," jawab Erwan pasti. "Tapi, kalian masih terlalu muda untuk menikah, Wan." Pak Hari masih berusaha melunturkan niat Erwan. "Untuk sementara nikah siri juga tidak apa-apa, Pak, sampai nanti Vania lulus SMA, dan kami bisa menikah resmi," sahut Erwan yang tetap ngotot dengan keinginannya. "Sebenarnya apa tujuanmu ingin menikahi Vania secepat ini, Wan?" Tanya Pak Hari. "Karena Vania akan tinggal bersama kami di Jakarta, jadi saya kira akan lebih mudah buat saya untuk menjaganya jika sudah ada ikatan pasti di antara kami berdua, Pak," Erwanto tampak sudah siap menjawab, dengan jawaban yang terdengar bersungguh-sungguh. Orang tua Vania saling pandang mendengar jawaban Erwan. Alasan Erwan terdengar seperti pria dewasa yang sangat bertanggung jawab. Kedua orang tua Erwan juga saling pandang, karena merasa kaget dengan jawaban-jawaban yang dilontarkan Erwan atas pertanyaan Pak Hari. Pak Hari menarik nafas panjang. "Bagaimana ini, To?" Tanya Pak Hari, kepada Pak Yanto. "Semua terserah Pak Hari saja, kami sudah tidak bisa membujuk Erwan untuk membatalkan niatnya menikah cepat, Pak," jawab Pak Yanto. "Hhhh, aku harus tanyakan jawaban Vania dulu, beri kami waktu berpikir, dan berembuk." "Baik, Pak," jawab Pak Yanto. "Masih bisa sabar untuk menunggu dua hari kan, Wan?" Tanya Pak Hari. "Oh, iya, Pak, cuma dua hari kan ya, Pak?" Tanya Erwan dengan mimik tegang. "Iya, cuma dua hari." Pak Hari mengukir senyum di bibirnya untuk Erwan. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD