Bak Bawang Putih

1407 Words
Pagi ini keributan terjadi di dapur, sebuah piring terjatuh dan hancur berkeping-keping. Tampak di sana, Lylia tengah membersihkan pecahan yang berserakan, hingga tanpa sadar, salah satu dari pecahan itu melukai jarinya. "Apa yang kamu lakukan, Lylia?! Kamu memecahkan piring kesayanganku?!" Suara kencang seorang wanita membuat Lylia bergeming. "Mama, pasti dia sengaja melakukannya karena kesal sudah dijodohkan," sahut wanita lain yang lebih muda. “Benar, dia pasti sengaja melakukannya! Kemari kamu!" Wanita itu menarik paksa pakaian Lylia hingga robek. Tatapan kebencian terlihat jelas dari wajah wanita itu. Namun, tidak sedetik pun, Lylia melihat sorot menyeramkan tersebut. "Mama, beri dia pelajaran! Aku yakin, dia sedang memikirkan sesuatu untuk membalas kita!" Ucapan wanita muda itu—Mira—semakin membakar suasana. Tiba-tiba saja satu gelas air membasahi rambut hingga pakaian Lylia. Dia hanya terdiam di tempatnya dan perlahan mengusap wajah lalu berdiri. Tidak peduli dengan celotehan ibu tirinya, langkahnya terus berlanjut hingga sampai di kamar–tempat dimana ia bisa mendapatkan ketenangan sejenak. Air mata Lylia menetes begitu saja, seperti bukan dirinya yang terlihat saat ini. Apa yang dilakukan Mira dan ibunya benar-benar membuat Lylia ingin segera menikah. Dalam hatinya, pernikahan itu seperti sebuah penyelamatan untuk penyiksaannya selama ini, walau tanpa didasari cinta sedikitpun. ‘Aku hanya bisa berharap, pernikahanku dengan Raven membawa keberuntungan.’ Batin Lylia yang kini terduduk di balik pintu. Tiba-tiba ponselnya berdering, dan nama pria yang baru saja disebut muncul di sana. “Raven?” ucap Lylia lirih. Wanita itu segera meraih ponsel dan menerima panggilan telepon dari Ravendra dengan sedikit malas. “Halo? Ada apa?” tanya Lylia berbasa-basi. “Bersiaplah, aku akan menjemputmu untuk memilih gaun pengantin,” jawab Ravendra dari seberang telepon. “Baiklah, aku akan siap dalam beberapa menit. Di mana kamu sekarang?” Lylia kembali bertanya memastikan. “Apa kamu baik-baik saja?” Pertanyaan Ravendra benar-benar begitu tiba-tiba. Lylia tanpa sadar mengangguk. “Ya, aku baik-baik saja. Kenapa kamu menanyakan hal itu?” “Hanya sedikit terkejut dengan reaksimu yang biasa saja. Bahkan, tidak terdengar nada penolakan sedikitpun.” “Aku hanya sedang tidak ingin berdebat dengan siapapun,” jawab Lylia. “Baiklah. Aku berjarak seratus meter dari rumahmu. Cepat kemari!” “Tunggu di sana, aku akan segera ke sana.” Setelah menutup panggilan secara sepihak–tanpa berniat mendengar jawaban apapun dari lawan bicaranya, Lylia dengan cepat menarik handuk dan masuk ke kamar mandi. Tidak membutuhkan waktu lama, Lylia hanya membersihkan tubuhnya dalam beberapa menit saja lalu segera menyelesaikan persiapan lainnya. “Aku berharap dia tidak masuk ke rumah ini. Aku tidak ingin malu karena sikap Mira dan Ibu,” gumam Lylia sembari merias wajahnya. Selesai dengan kegiatannya, Lylia berlari keluar dari kamar dan menuju pintu. Tetapi, langkahnya terhenti saat suara Mira terdengar begitu nyaring memanggil sang ibu. “Mama, Lylia ingin kabur!” seru Mira sembari mengejek Lylia dengan menjulurkan lidah. Tidak peduli dengan teriakan Mira, Lylia melanjutkan langkahnya hingga pintu terbuka dan betapa terkejutnya saat sosok Ravendra tengah berdiri di sana. “Astaga! Kenapa kamu di sini? Sebaiknya kita segera pergi! Aku tidak ingin pakaianmu kotor terkena limbah-limbah,” kata Lylia. Pria itu mengerutkna dahi. “Ha? Aku–“ Tanpa sempat melanjutkan perkataannya, Lylia segera menarik tangan Ravendra untuk menjauh dari rumahnya. Berjalan menuju tempat dimana kendaraan Ravendra terparkir, lalu masuk ke dalamnya. Lylia segera mengatur napas yang tersengal, sedangkan Ravendra tengah fokus pada kemudi yang kini ada pada kendalinya. “Apa yang terjadi?” tanya Ravendra dengan pandangan lurus ke depan—tanpa melihat Lylia. “Tidak ada. Aku hanya tidak ingin ada masalah saat kita pergi.” Lylia benar-benar tidak tahu harus bagaimana menjelaskan pada pria itu tentang ibu tirinya. “Apa mereka menindasmu?” Seperti tahu apa yang terjadi, Lylia membulatkan mata dengan menatap Ravendra yang tak menghiraukannya. “Ti-tidak. Mereka tidak melakukan itu. Aku hanya sedang bermasalah dengan piring di dapur. Aku memecahkan satu piring kesayangan ibuku, dan saudariku mengadu. Hanya itu saja.” Lylia mencoba mencairkan suasana dengan tawa yang dipaksa, tetapi justru merasa canggung saat ini. Tidka ingin membuat suasana semakin tak kraruan, akhirnya mereka pun sama-sama terdiam, hingga mobil yang dikemudikan Ravendra berhenti di sebuah butik, tepat setelah hampir menghabiskan waktu selama empat puluh lima menit perjalanan. “Selamat datang, Tuan dan Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang wanita dengan setelan casual. “Aku sudah membuat janji dengan Miss Sirian. Dia berkata sedang menyiapkan gaun untuk calon pengantinku. Apa itu belum di—“ “Oh, rupanya Anda, Tuan Ravendra. Silakan masuk! Aku akan mengambil gaun yang sudah dipesan.” Wanita itu pun berjalan ke balik pintu yang ada di ujung ruangan. Sementara Lylia dan Ravendra menunggu dengan duduk berdampingan di sofa. “Sejak kapan kamu memesan gaun ini? Memangnya, kamu tahu ukuranku?” tanya Lylia penasaran. “Ukuran tubuhmu sangat mudah ditebak. Aku sudah menyiapkannya sejak ayahmu mengirimkan foto padaku. Dari foto itu, aku bisa tahu.” Jawaban Ravendra sungguh membuat Lylia terdiam. Tidak lama setelah itu, ada satu gaun pengantin yang dibawa masuk ke ruangan. Pemandangan yang begitu indah membuat Lylia melongo dibuatnya. Bagaimana tidak? Gaun itu dibuat dengan sempurna. Meski Lylia tidak tahu berapa harganya, tetapi dia bisa melihatnya. “Bukankah, gaun ini terlalu mahal?” kata Lylia kemudian. “Apa kamu tidak menyukainya?” Ravendra balik mengajukan pertanyaan untuk memastikan. “Tidak, bukan begitu. Aku hanya merasa … gaun ini terlalu indah untuk kukenakan. Apa tidak ada gaun yang lebih sederhana?” Lylia berusaha mencari model gaun yang lebih sederhana dari pesanan Ravendra. “Pesanan ini tidak bisa dibatalkan. Itu akan membuatku sangat rugi. Apa kamu masih ingin melakukannya?” Ucapan Ravendra membuat Lylia terdiam dan hanya menggeleng. “Silakan dicoba, Nyonya!” Wanita itu mengarahkan Lylia ke kamar pas untuk mencoba gaunnya. Tidak lama kemudian, Lylia keluar dengan gaun yang mempercantik penampilannya. Saat berdiri di depan Ravendra, pria itu hanya menatapnya datar. Tidak ada pujian di sana, dan membuat Lylia sedikit kecewa. ‘Gak ada yang muji aku meski penampilan udah bak putri kerajaan kaya gini? Astaga … bahkan pria ini hanya bergeming dengan tatapan datar.’ Batin Lylia dengan wajah kecewa. “Gaun ini akan membuat Anda terlihat lebih cantik saat ekornya terpasang, Nyonya. Sebentar, saya akan membantu memasangkannya.” Wanita itu bergerak meraih kain yang jika dibentangkan memiliki panjang hampir dua meter. “Ehem! Bagaimana penampilanku?” tanya Lylia mencoba menarik perhatian Ravendra. “Sepertinya tidak ada yang perlu diubah. Semua sudah cocok ditubuhmu. Aku akan membayarnya, dan kamu bisa mengenakan gaun itu saat pernikahan kita nanti.” Ravendra berdiri dan memberikan kartu debitnya untuk membayar. Sementara Lylia masih berganti pakaian, di dalam sana perasaannya berkecamuk. Banyak pikiran untuk tidak melanjutkan pernikahan itu, tetapi sangat tidak mungkin dilakukan saat undangan telah berhasil disebar secara online oleh keluarganya. ‘Untuk menolak pernikahan ini saja, aku gak diizinkan. Tapi, apa ini gak terlalu terburu-buru? Sikapnya malah bikin jadi ragu. Bagaimana bisa dia hanya diam, tanpa menunjukkan ekspresi saat kukenakan gaun pesanannya?’ Lylia terus membatin tentang Ravendra. Saat Lylia selesai berpakaian, dia kembali menghampiri Ravendra di ruang tunggu. Namun, rupanya pria itu tidak ada di sana. Seorang pekerja butik mengatakan bahwa, Ravendra telah pergi setelah menerima telepon. Lylia beberapa kali mengentakkan kaki, kesal. Pria itu meninggalkannya seorang diri di butik. “Bagaimana aku pulang sekarang?” gumam Lylia yang menyadari tasnya tertinggal di dalam mobil Ravendra. “Nyonya, apa ada yang bisa saya bantu lagi?” “Tidak ada, terima kasih. Aku akan pergi.” Lylia berjalan ke pintu keluar, tetapi wanita itu kembali memanggilnya. “Nyonya, maaf … aku lupa memberikan ini. Tuan Ravendra berkata untuk memberikan tasmu.” Lylia membulatkan mata melihat tas itu ada di tangan pegawai butik. “Terima kasih, sekarang aku bisa pulang.” Wanita itu pun kembali melangkah keluar butik. Dengan langkah yang begitu terseret, seakan malas menapakkan kaki di jalanan. “Argh! Kenapa aku selalu saja mengalami kesialan?!” seru Lylia yang menarik perhatian beberapa pejalan kaki di sekitarnya. Saat sampai di halte bus, Lylia mendengar ponselnya berdering. Pada layar itu tertera nama sang ayah dan membuatnya langsung menerima panggilan tersebut. “Halo, Ayah?” “Lylia, cepat pulang! Aku tidak pernah mengajarkan sikap kurang ajar padamu! Kenapa kamu melakukannya pada Ibu dan saudarimu?!” Lylia mengerutkan kening, ucapan ayahnya sungguh membuat kepalanya berputar. “Aku—“ “Dasar anak tidak tahu untung!” “T-Tapi, Yah–“ “Anak kurang ajar!” Air mata Lylia jatuh begitu deras dan panggilan itu berakhir begitu saja. ‘Tuhan, percepatlah kesialan ini berakhir. Aku mohon.’ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD