Chapter 47

1424 Words
Tok tok tok! Pintu itu diketuk oleh pelayan rumah Nabhan, kemudian suara perempuan dari pelayan terdengar. "Nona Lia, ada kiriman makanan dari Nyonya Popi Basri untuk Anda. Nyonya Popi berpesan bahwa ini adalah sup tulang sapi yang baik untuk kesehatan, jadi ini dibuat khusus untuk Anda karena beliau mengkhawatir kesehatan Anda setelah terjadi kecelakaan semalam." Untuk beberapa detik, masih sunyi, belum ada balasan dari sang pemilik kamar, namun sang pelayan tetap setiap berdiri di depan pintu kamar sambil memegang termos makanan yang berisi sup tulang sapi yang masih panas. Pintu terbuka setelah hampir dua menit sang pelayan menunggu konfirmasi dari sang nona. Tampak wajah dingin dan datar dari Lia kecil, syukurlah sang Nona muda menampakan wajahnya. "Siapkan di meja untuk makan siangku," ujar Lia. "Baik, Nona." Sang pelayan buru-buru mengangguk patuh. Begitu dia selesai mengangguk, dia mengundurkan diri dari hadapan sang Nona lalu buru-buru melangkah turun ke lantai satu untuk menyiapkan makan siang. Lia kecil menutup pintu kamar, dia kembali ke meja belajar dan membereskan beberapa peralatan belajar. * "Apakah itu enak?" tanya Atika ke arah Lia. Lia kecil mengangguk. "Tante … apa Nenek Poko nggak memberi Ami sedikit sup itu?" tanya Fahmi dengan nada agak sedih ke arah Lia. Fahmi mengetahui bahwa sup yang berada di mangkuk sang Tante adalah buatan dari neneknya yang bernama Popi. Setelah dua detik mendengar ucapan Fahmi, dengan gerakan agak cepat Lia kecil memisahkan mangkuk kecil yang berisi sup tulang sapi lalu mendekatkan mangkuk itu ke arah Fahmi. "Terlalu banyak, tidak bisa memakan semuanya," ujar Lia. Fahmi diam-diam tersenyum senang, dia menerima mangkuk sup itu, sebelum dia mencoba mencicipi sup itu, suara sang nenek terdengar. "Bilang apa ke Tante Lia?" tanya Atika. Fahmi yang sudah menyendok sesendok kuah sup tulang sapi itu melirik ke arah Lia. "Tante, terima kasih," ujarnya. Lia mengangguk pelan, kemudian dia melanjutkan makan siangnya tanpa kata-kata. * Di rumah Basri. Setelah makan siang, Popi mengernyitkan dahinya. "Ada apa?" tanya Ben. "Seperti ada yang aku lupa," jawab Popi. Randra mengusap bibirnya dengan serbet. Sementara itu, Naufal bahkan merasa belum terlalu kenyang, jadilah dia pergi membuka kulkas dan mengambil satu cup es krim rasa stroberi. Mata Popi terbelalak ketika dia mengingat sesuatu. "Ben, aku lupa menyisihkan sup untuk Ami!" Semua orang melirik serentak ke arah Popi, termasuk Naufal yang menyembulkan kepalanya dari pintu kulkas. Plok! Popi menepuk sendiri dahinya. "Ma, Opal ngerti, umur enam puluhan itu sebenarnya sudah termasuk lansia dan … uhuk! agak pikun," ujar Naufal. Popi memejamkan matanya menyesal. "Bisa lupa sama cucu sendiri sih?" ujar Naufal. Popi melirik ke arah sang anak yang belum menutup pintu kulkas. "Itu semua karena kamu, Mama cuma kirim sup ke Lia tapi nggak ke Ami." Naufal terheran-heran. "Lah? kok malah jadi salah Opal sih? kan Opal nggak lakukan apa-apa kok." Naufal menggaruk kepalanya bingung. "Kalau begitu kirim lagi ke kediaman Nabhan, jangan sampai Ami berkecil hati, orang tuanya sedang bepergian," usul Ben. Popi mengangguk mengerti. "Um, ide bagus. Sekalian dengan es krim stroberi yang aku buat," timpal Popi. Ben mengangguk setuju. "Berikan es krim stroberi yang banyak agar Ami senang," ujar Randra. Popi mengangguk setuju. Sementara itu Naufal menutup pintu kulkas sambil menggelengkan kepalanya. "Ada-ada saja." Naufal melangkah menjauh dari ruang makan dan pergi ke rumah kaca. Dia menikmati es krim stroberi di dalam rumah kaca itu sambil menikmati tanaman hias dan herbal yang ditanam. Randra sendiri kembali ke kamar untuk beristirahat siang, kini dia tidak lagi muda seperti dulu, usianya sudah mencapai hampir sembilan puluh tahun di tahun ini. "Dua hari di rumah, enaknya ngapain yah?" gumam Naufal setelah memasukan satu sendok es krim stroberi ke dalam mulut. "Coba kalau situasi ini dua puluh tahun lalu, mungkin Kakek Ran akan memanggil semua cucu-cucu dan kami akan main bersama," ujarnya. "Sayang sekali, kami semua telah mencapai kepala tiga," sambung Naufal. "Semua orang sudah bekerja, mereka semua bergabung di pemerintahan dan hanya meninggalkan dua atau tiga orang saja melanjutkan bisnis keluarga," ujar Naufal. Setelah memasukan sesendok es krim ke dalam mulut, Naufal memainkan tanaman herbal Rosemary dengan tangan kiri. "Jam segini kira-kira Aril lagi apa yah?" gumam Naufal tanpa sadar. Setelah tiga detik kemudian Naufal seakan tersadar dari lamunan. "Tunggu! untuk apa aku bertanya soal Aril?" Naufal bingung sendiri, dia tak tahu kenapa dia dengan random memikirkan Aril. "Hum! tapi kalau dipikir-pikir lagi, Aril memang lebih anggun dari Lia kecil," ujar Naufal yang malah berkomentar membandingkan antara Ariella dan Lia kecil. "Lihat saja saat resepsi Didi, Aril cantik sekali dengan baju khas Perancis, bahkan sangat elegan seperti wanita bangsawan, cara duduk, cara makan … ugh … tunggu! hari itu juga si Lia muncul!" Naufal merasa agak kesal setelah sampai di ingatan ini. "Dan mengacaukan segalanya!" Naufal kesal dan memasukan dua sampai tiga sendok es krim ke dalam mulut. Mulut pemuda itu penuh dengan es krim. * Tok tok tok! Randra yang sedang duduk di dekat jendela sambil melihat buku diary miliknya, melirik ke arah pintu kamar yang diketik dari luar kamar. "Masuk!" pinta Randra. Pintu dibuka, terlihat menantu laki-laki memasuki kamar sang ayah mertua yang lebih dari enam puluh tahun ditempati. "Ayah, apakah aku mengganggu istirahat?" tanya Ben dengan nada penuh kehati-hatian. Sesungguhnya, Ben masih takut dengan momentum sang ayah mertua. "Tidak," jawab Randra. "Duduk," ujar Randra. Ben mengambil tempat duduk tak jauh dari sang mertua, hanya berjarak dua meter. Mata Ben melirik ke arah buku diary yang telah menemani sang ayah mertua kurang lebih selama lima belas tahun. "Ada sesuatu?" tanya Randra. "Ayah, uhuk!" Ben terbatuk agak canggung. Dia menatap wajah ayah mertua lalu memberanikan diri untuk mengatakan beban di tenggorokannya. "Kami belum memberitahu Ayah ini …," ujar Ben. "Katakan!" pinta Randra. "Mengenai kondisi psikologis dari cucu perempuan Om Busran, Ayah pasti sudah tau," ujar Ben. Randra mengangguk tanpa membalas kata. "Begini … kami menemukan fakta bahwa cucu Om Busran menyukai Opal kami," ujar Ben. Wajah Randra terlihat serius memandang ke arah sang menantu. "Jadi apakah akan ada lamaran dari kami?" tanya Randra. Ben terbatuk dua kali. Bagaimana bisa ada lamaran sementara proses penyembuhan baru saja dimulai. "Ayah Ran … begini, kondisinya tidak memungkinan untuk kita melamar sekarang, tapi setelah menemukan fakta ini, Opal memberi kesanggupan untuk membantu penyembuhan Aril," jawab Ben. "Katakan dengan rinci!" pinta Randra. "Ayah, Mentari meminta bantuan Opal untuk membantu penyembuhan Aril. Karena dia mengetahui bahwa Aril menyukai Opal. Jadi menurut Mentari, jika semakin besar keinginan seseorang untuk berada di dekat orang yang dia sukai, maka semakin besar rasa ingin menguasai diri agar tetap terjaga dan terus berada di dekat orang yang disukai. Jadi … dalam hal ini Mentari melihat peluang bagus untuk kesembuhan cucu dari Om Busran," ujar Ben. "Jadi, Opal sebagai umpan?" tanya Randra. Ben langsung menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Bukan seperti yang Ayah Ran simpulkan!" bantah Ben. "Lalu?" tanya Randra. "Opal bukan umpan melainkan obat," jawab Ben. Untuk beberapa detik kemudian kamar itu sunyi. Bahkan jika sebuah jarum jatuh dapat didengar. "Bagaimana kamu dapat menjelaskan kecelakaan tadi malam?" tanya Randra. Ben menarik lalu mengembuskan napas, dia mulai menjelaskan. "Setelah satu setengah tahun Lia kecil ditugaskan di Yaman, kini dia ditarik ke Indonesia untuk jabatan dan pangkat baru. Dia bergabung dalam komando pasukan khusus dan sekarang menjadi pelatih yang handal. Dia melatih menembak untuk para calon anggota, dia juga akan menilai seberapa pantaskah seorang prajurit akan bergabung dengan satuan miliknya, jadi dia sekarang sudah mulai aktif melatih para junior. Namun karena Opal sudah memutuskan untuk membantu penyembuhan Aril, dia mengikuti ke mana Lia kecil berlatih," ujar Ben. "Dan masuk markas militer dengan izin?" tanya Randra. "Irwan yang memberi izin," jawab Ben. Randra mengangguk mengerti. "Insiden tadi malam terjadi karena Lia kecil yang mengemudikan mobil, namun pada saat dalam perjalanan pulang, kepribadian aslinya tiba-tiba muncul, kami tidak tahu bahwa ternyata Aril sama sekali tak tahu menyetir mobil dan … hampir terjadi kecelakaan serius, beruntung Opal dengan sigap mengambil alih kemudi," jawab Ben. Cukup lama Randra dan Ben terdiam, lalu terdengar suara Randra. "Ayah mengerti," ujar Randra. Ben menatap mata sang mertua. "Ayah Ran yakin, Opal bisa menjaga dirinya dengan baik," sambung Randra. Jadi, sang ayah mertua mengizinkan Naufal berada di sisi Ariella? "Tapi … kepribadian kedua Aril agak galak, dia bisa dengan mudah membunuh orang," ujar Ben. "Lalu, apakah kau pikir Opal cucuku akan mudah dibunuh oleh seorang gadis kecil?" kening Randra mengerut. "Tidak! tentu saja tidak!" Ben menyangkal. "Dari umur tujuh tahun dia telah melalui pertarungan hidup dan mati, lalu apakah menurutmu di umur yang ketiga puluh tahun ini dia akan mudah digertak oleh seorang gadis?" tanya Randra. Ben menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak." "Ya, tentu saja tidak. Aku percaya pada cucuku," ujar Randra. "Mari kita lihat hasilnya," sambung Randra. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD