POV: Iqbal
Hujan turun lagi. Ya, memang sedang musimnya, wajar saja.
Tak boleh mengeluh apalagi sampai mengumpat tentang cuaca, aku paham betul tentang hal itu. Telepon pintar yang sedari tadi dalam genggaman, kembali kusimpan di dalam tas usai menutup aplikasi ojek online langganan. Kuurungkan niat untuk membuat pesanan sekarang, kasihan juga kalau abang tukang ojeknya harus hujan-hujan kemari demi menjemputku.
"Tak apa, tunggu reda dulu," bisikku pelan sembari melihat jam tangan. Baru jam segini juga.
Angin bertiup agak kencang dari arah depan, aku mundur selangkah demi menghindari udara berembun yang turun dari ujung kanopi. Beberapa orang ikut berteduh di halte ini. Mulai merapat ke tengah, takut kebasahan. Sementara hujan semakin deras saja.
Halte bus ini berada tepat di seberang rumah sakit. Di sinilah biasanya aku turun dari kendaraan umum saat berangkat ke rumah sakit. Sorenya saat kendaraan umum sudah tidak ada, di sini pulalah aku menunggu ojek online yang menjemput.
"Ck! Lama banget nih redanya. Mana lupa bawa mantel lagi, s**l!" Decak kesal seorang pengendara yang berdiri tak jauh dariku terdengar. Kentara sekali ekspresi tidak senang di wajahnya. Dari tadi sudah berkali-kali ia mengumpat.
Tak jauh darinya, terlihat seorang ibu-ibu yang berulang kali melihat jam tangan. Ekspresi wajahnya juga tak begitu berbeda dengan pengendara tadi. Ada begitu banyak orang di sini yang kesal dengan hujan yang turun siang ini.
Aku memutar kepala, hingga pandangan berakhir pada seorang gadis yang ekspresinya benar-benar berbeda.
Tangannya terulur ke depan, menjangkau tetesan air yang mengalir di ujung kanopi. Wajahnya tersenyum senang, sesekali tampak menghirup napas dalam-dalam, begitu menikmati aroma hujan.
Petrichor.
Ya ampun, gadis ini sukses menarik perhatianku. Eh, tunggu, aku menyadari wajahnya tidak asing.
"Abang yang kemarin ya?" tiba-tiba dia balas menatapku, entah mungkin sadar kalau dari tadi mataku tak lepas darinya.
Aku yang tersentak sejenak, mengalihkan pandangan sedetik agar tak terlalu kentara sedang memelototinya. "Eh, iya." Kuperhatikan jaket biru yang dikenakannya, juga helm dengan logo yang sama di tangannya.
"Mbak yang kemarin ya?" Kuulang kata-kata yang serupa. "Ng-ngomong-ngomong terima kasih banyak bantuannya kemarin." Aku menganggukkan kepala sopan, sedikit menunduk.
Gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangan. "Ah, santai lah, Bang!" Barisan gigi-gigi putihnya terlihat. "Gimana sekarang? Udah baikan?"
"Ya, beginilah."
Tiba-tiba saja kejadian memalukan kemarin muncul di benakku, membuat tersipu seketika.
Waktu itu, karena terlalu buru-buru, aku tak memerhatikan siapa rider ojek yang kupesan. "Sesuai aplikasi ya, Bang," ucapku sambil langsung duduk di belakang.
Aku duduk merapat ke depan dan berpegangan di pinggang si tukang ojek. Sudah terbiasa begitu dengan ojek-ojek sebelumnya, berpegang erat karena seringkali pusing saat baru keluar dari rumah sakit. Aku takut terjatuh di jalan.
Saat itu lah, tiba-tiba sepeda motornya berhenti. "Kenapa, Bang?" tanyaku.
"Maaf, Bang. Jangan terlalu mepet."
Aku kaget mendengar suara halusnya. Spontan jaga jarak, melompat mundur ke belakang.
"Saya perempuan," sambungnya dengan mata menyipit dan seringai yang pastinya tersembunyi di balik masker.
"I-iya, maaf, Mbak," ujarku dengan wajah bersemu merah.
Memalukan!
***
"Yang, hujan turun lagi. Di bawah payung hitam kuberlindung ...." Lantunan tembang nostalgia yang dibawakan oleh Ratih Purwasih terdengar memenuhi ruangan kedap suara berukuran 4x4 ini.
Sengaja kupilih lagu yang liriknya begitu mendalam tersebut untuk membuka ajang "Kenangan" kali ini karena memang aku ingin membahas tema yang senada.
Di ujung tembang, tepat di atas outro-nya, aku mulai opening siaran.
"Dari studio 1 Gema 102,9 FM, jalan Rajawali, Kilometer 11, Mungka Timur." Sejenak alunan musik kembali naik.
"Halo Sobat Gema, ketemu lagi di udara siang ini dalam ajang All 'bout memory "Semua Tentang Kenangan", bareng satu-satunya penyiar paling kece dan baik hati se-Gema, berzodiak Leo dan tentunya masih singe, siapa lagi kalau bukan Iqbal Maulana. Haha." Kata-kata dan candaan yang sudah biasa terlontar mengalir begitu saja dari mulutku.
Backsound instrumen romantis yang mengalun merdu kembali terdengar, kemudian dengan satu jari kembali kuturunkan tombol volume di mixer, lalu kembali berbicara. "Apa kabar nih siang ini, Sobat? Semoga di mana pun berada dan apa pun aktivitasnya, selalu terkabar sehat ya. Selama kurang-lebih dua jam ke depan hingga formasi 15.00 WIB, sobat Gema bakal dengerin Iqbal bercuap-cuap di sini. Jangan khawatir, biar gak bosan, kita juga bakal puterin lagu-lagu yang gak kalah kece, bertemakan kenangan tentunya."
Kuambil napas lagi, mencari tempo yang pas untuk kembali berbicara.
Tahun ini, masuk tahun ke empat aku menjadi Announcer di salah satu radio swasta di kota ini. Radio yang cukup terkenal di kalangan anak muda, 102,9 Gema FM. Entah sejak kapan aku mulai menyenangi dunia Penyiaran ini, yang jelas semenjak lulus SD dulu, aku sudah suka sekali mendengarkan radio.
"Waah, cuaca di kawasan Mungka lagi galau nih, dari pagi mendung aja. Matahari gak muncul-muncul, kayanya masih mager, atau terlalu nyaman di peraduan, ya. Gimana cuaca di daerah kalian, Sobat? Boleh share ke sini, kayak biasanya, bisa via WA atau langsung inbox aja di messenger kita. Jangan lupa kasih keyword-nya ya. Gema FM, saatnya suara remaja menggema! Yuhuu!"
Aku mendapat jadwal 4 jam perhari, dua jam per ajang. Siang ini adalah ajang kesukaanku, Semua Tentang Kenangan. Di mana, aku bisa membahas topik-topik yang berhubungan dengan kenangan, lalu meminta para pendengar untuk ikut berkomentar atau memberikan kesempatan pada mereka membagikan kenangan masing-masing. Tidak lupa juga, lagu-lagu bertema kenangan yang lagi populer akan diputar, termasuk juga lagu-lagu lama yang masih enak didengar.
"Ngomong-ngomong, ada yang nyimak gak tadi lirik lagu di pembukaan? Iqbal udah puterin lagu yang pas banget sama momen sekarang. Yang, hujan turun lagi. Bener kan, Yang? Hahaha!"
Benar. Dari pagi turun hujan, sebentar deras, sebentar menjadi gerimis, tapi tetap saja tak kunjung reda.
"Kalian bete gak sih kalau hujan terus? Atau bahkan mungkin ada yang ngumpat, sampe berkata-kata kotor kalau kehujanan di jalan? Haha. Hayolah ngaku aja, Iqbal sering denger tuh di jalan." Backsound kembali mengalun.
"Orang bilang, hujan itu identik sama dua hal, genangan dan kenangan. Gimana pendapat kalian tentang itu? Yuk share di sini bareng Iqbal Maulana."
Aku diam sejenak, kemudian membuka HP yang tergeletak di atas meja. Seperti biasanya, sudah banyak chat WA yang masuk, berikut inbox di aplikasi f*******: Mobile.
"Waaah, ternyata banyak yang exited ya tentang hujan. Oke, ntar komenan kalian bakal Iqbal bacain satu persatu, tapi kita mau ke commercial break sejenak yaa. Stay tune!"
Kuputar sebuah lagu, lalu menyusun beberapa baris iklan di bawahnya, kemudian bangkit dari kursi dan melangkah menuju meja satunya, menyeduh teh hangat. Udara dingin, membuat tenggorokanku menagih haknya untuk dihangatkan.
Sepertinya di luar sana hujan kembali menebal, terlihat di kaca jendela. Rintik-rintik menari turun. Ruang kedap suara ini membuat derunya tak terdengar sama sekali, dikalahkan oleh alunan lagu "Sepanjang Jalan Kenangan".
***
"Hallo, Kak. Aku pendatang baru, tapi pendengar lama. Baru kali ini punya kekeran untuk bergabung karena mendengar Kakak membahas tentang hujan."
Sebuah pesan muncul di inbox akun f*******: radio. Pesannya menurutku unik, berbeda dengan pendengar lainnya yang seringkali hanya fokus meminta lagu dan berkirim salam.
"Aku sangat suka hujan, ia seolah menjadi bagian dari diriku. Semua kejadian-kejadian penting dalam hidupku selalu disertai olehnya. Makanya, setiap kali hujan turun, semua kenangan itu benar-benar muncul kembali. Melepaskan rinduku terhadap orang-orang yang telah pergi jauh, terhadap benda-benda kesayangan yang lama hilang, bahkan hewan peliharaan yang sudah mati." Begitu tulisnya.
Aku begitu antusias membaca tulisannya di radio. "Luar biasa, Sobat Gema. Baru kali ini loh sumpah, nemuin orang yang ternyata benar-benar terkait erat dengan hujan. Iqbal pikir, "hujan membawa kenangan" itu hanya pepatah saja. Ternyata benar-benar ada di kehidupan nyata, ya," tuturku setelahnya.
"Baiklah, Mbak yang ngirim inbox lewat f*******: yang usernamenya "Downpour", terima kasih udah sharing di sini ya."
Sesaat kemudian pesan dari akun yang sama kembali masuk.
"Hujan itu unik, bukan, Kak? Kebisingan yang ia beri justru memberikan keheningan. Bising dan hening itu berlawanan, tapi hujan menyatukan keduanya. Oh ya, tau gak, Kak? Hujan itu punya banyak nama, tergantung intensitasnya, kan? Jika rintik-rintik halus ia disebut "Downpour" atau gerimis, jika deras itulah yang kita namakan hujan atau "Rain". Namun, jika ia mengamuk, namanya menjadi "Thunderstorms". Itulah uniknya hujan, walaupun komposisinya sama-sama air, tapi manusia menamainya berbeda."
"Waaahh. Mbak ini tau banyak tentang hujan yaa, gimana kalau kita namai saja "Si Gadis Hujan?"