Sepanjang perjalanan Arafan hanya diam. Bahkan saat pesawat yang membawanya bersama Dimas mendarat di Singapura. Ia tak bisa menjawab pertanyaan sahabatnya itu juga tak bisa membantah. Ia kalah dengan peperangan melawan hawa nafsu.
Dulu cintanya suci tak ternoda sama sekali. Kini, ia hanya bisa mengais perasaan yang pastinya sudah berbeda. Masalah belum muncul, tetapi aroma kehancuran mulai tercium. Arafan pun mendengkus kesal. Ia berjalan cepat mendahului Dimas yang lebih fokus menentukan arah presentasi nanti.
Mobil jemputan dari perusahaan Pak Rajandra sudah menanti mereka. Dengan cepat Arafan dan Dimas menaiki mobil itu, lalu pergi menuju rumah mewah keluarga konglomerat itu. Selama dalam perjalanan Dimas terus berpikir.
Ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba?
Sopir yang mengemudikan mobil itu terus menatap ke arah kaca untuk melihat penumpangnya. Ia sudah mendapat mandat berbeda dari tuannya. Dengan cepat sopir itu membelokkan mobil ke arah jalur yang berbeda. Arafan yang memang sedang tidak fokus tidak memikirkan laju mobil telah berpindah jalur. Sementara Dimas yang sejak tadi menatap ponsel tidak menoleh sama sekali. Ia sibuk dengan aktivitasnya.
Sopir pun menghentikan mobil di depan hotel mewah di kota tersebut. Arafan dan Dimas menoleh ke sekeliling saat mereka mulai sadar itu bukan rumah Pak Rajandra.
“Gak salah alamat, Pak?” tanya Dimas. Waktu menjemput di bandara sopir tersebut menggunakan bahasa indonesia. Dimas pun leluasa bertanya.
“Tidak, Pak. Pak Rajandra memang sedang di hotel ini. Jadi, beliau meminta saya membawa anda ke sana,” jawabnya seraya menunjuk gedung itu.
“Mungkin ini salah satu hotel miliknya, Dim. Beliau sedang ingin menunjukkan seberapa besar kekayaannya.” Dengan langkah ringan Arafan berjalan maju. Ia tak curiga hal buruk akan menimpa mereka. Dimas yang tampak berpikir pun mengikuti cara Arafan. Mengekor di belakang sopir tersebut.
Seperti hotel pada umumnya. Suasana di gedung itu tidak begitu ramai. Beberapa karyawan tampak berlalu lalang sembari menebar senyum. Arafan dan Dimas tetap fokus melangkah. Ia memasuki lift menuju lantai sepuluh gedung itu. Lagi-lagi yang menentukan adalah sopir tersebut. Pintu lift terbuka. Beberapa pintu kamar menyapa mereka.
“Ini gak salah, Pak? Masa pertemuan perusahaan di kamar hotel?” tanya Dimas lagi.
“Mohon maaf, Pak. Ini tempat bapak-bapak istirahat. Pertemuan akan diadakan malam nanti sekaligus peresmian gedung ini. Jadi, bapak-bapak diminta singgah sebentar.” Sopir tersebut pun menunjuk dua kamar yang berbeda. Mereka bahkan diberikan fasilitas itu agar privasi satu sama lain lebih terjaga.
Arafan yang mengira pertemuan akan langsung diadakan sedikit terganggu. Ia tak mungkin bisa memenuhi janjinya dengan Hanania untuk segera pulang. Arafan menatap Dimas tajam. Wajahnya menyiratkan tanya.
“Aku juga gak tahu apa-apa, Fan. Dah, kita istirahat dulu aja.” Dimas membuka pintu kamar hotel itu dengan kartu pin yang diberikan oleh sopir. Ia seakan malas bersama Arafan. Dengan cepat ia menutup pintunya.
Arafan geram. Bisa-bisanya Dimas bersikap demikian. Ia pun memasuki kamarnya sendiri dengan perasaan kesal. Tepat saat ia berhasil masuk ruangan, kedua matanya menangkap sosok aneh di ruangan. Dengan cepat Arafan berbalik. Bisa jadi ia salah kamar.
“Maaf, saya tidak tahu kalau kamar ini ada penghuninya,” ucap Arafan dengan menatap pintu. Membelakangi perempuan itu.
Seorang perempuan dengan baju ketat yang melekat di tubuhnya sedang berdiri menatap jendela. Ia mengikuti arahan Briyan, untuk memberi kejutan pada Arafan.
“Gak apa-apa, Fan. Kamu gak salah ruangan,” jawab perempuan itu seraya melangkah maju.
Arafan berpikit sejenak. Perempuan tadi mengenalnya? Ia pun berbalik.
“Daisha?” pekiknya.
Tak percaya bertemu dengan teman masa kecilnya itu. Daisha sudah meraih selimut. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut itu.
“Sorry, kayaknya aku yang salah masuk ruangan. Bapak emang mau ngadain acara malam nanti, jadi semua keluarga dan tamu diminta istirahat di hotel ini. Gak tahunya aku salah masuk,” ucapnya. Arafan menyimak penjelasan Daisha. Ia merasa janggal dengan penampilan Daisha sekarang. Tatapannya tak bisa dipungkiri.
“Iya, aku udah sembuh. Total malah. Aku gak gila lagi, Fan,” ujar perempuan itu. Ia merasa dirinya seperti dihina.
“Sorry, maksudku gak begitu.” Arafan meralat kalimatnya yang belum keluar. Merasa kurang nyaman.
“Gak apa-apa. Aku memang pantas dianggap seperti itu,” ucap Daisha sedih. Ia pun berjalan maju, mempersempit jarak dengan Arafan.
Tepat saat ia benar-benar akan melewati Arafan, ujung selimut bagian bawah terinjak olehnya. Membuat tubuh itu dengan mudah terjatuh ke pelukan Arafan. Sontak Arafan meraihnya. Mengantisipasi mereka jatuh bersamaan. Dalam posisi semacam itu Daisha justru menyandarkan kepalanya. Membuat adegan jatuh itu semakin terasa istimewa.
Jantungnya berdegup kencang. Tak bisa dipungkiri, ia memang menaruh hati pada pria di depannya itu. Berbagai macam cara akan ia lakukan untuk sekadar singgah di hati Arafan yang sudah dimiliki orang.
***
Hanania terus mengajak otakknya untuk berpikir. Hingga ia berhasil menemukan satu nama. Dengan cepat ia meneruskan foto tersebut pada nomor Abbas. Perempuan itu nyaris tak pernah menghapus chat whatsappnya. Semua masih tersimpan meskipun nomor tersebut tidak ada dalam daftar kontaknya. Dengan cepat pesan yang ia kirimkan sampai di nomor penerima. Baru ia akan mengetikkan pesan tambahan, sebuah balasan sudah muncul.
Kenalan : Konfirmasi dulu sebelum kamu percaya. Jangan gegabah!
Hanania menatap hampa layar ponselnya. Ia mulai meradang dengan kondisi yang menimpanya saat ini. Konsentrasinya terus terbagi. Ia tidak bisa tenang saat kondisi semacam ini. Hanania pun segera mengetikkan pesan balasan.
Hanania : Anda sudah tahu? Ada yang mengirimkan juga?
Abbas terlihat sedang mengetik. Hanania menantikan pesan itu dengan sabar. Namun, ponselnya justru bergetar. Tertanda pesan lain masuk ke nomornya. Lagi-lagi sebuah gambar menyapanya. Dengan cepat Hanania mengunduh gambar itu. Ia menantikan apa lagi yang disebar oleh laki-laki tak dikenal itu. Saat foto tersebut terunduh dengan sempurna, Hanania dengan jelas mampu melihat sosok Arafan. Lagi-lagi bersama perempuan lain.
Di sebuah hotel dengan selimut membungkus tubuh si perempuan, dan mereka berdekatan. Wajah Arafan tampak kaget, tetapi si perempuan seolah menikmati adegan tadi. Saat itu juga Hanania merasa mual. Ia tak sanggup menahan gejolak perutnya yang mulai naik ke kerongkongan.Dengan cepat Hanania meletekkan ponselnya. Berlari menuju kamar mandi. Ia menumpahkan semua isi perutnya. Rasa mual itu kian menjadi saat ia mengingat wajah suaminya.
Hanania sudah berjuang memulihkan diri selama ini. Dari kegagalan pernikahan orang tuanya yang membuatnya semakin muak. Hatinya pun koyak mendapati fakta suaminya bermain dengan perempuan lain. Tidak hanya satu perempuan, melainkan dua. Tidak dalam waktu bersamaan, melainkan berdekatan. Ingatan tentang kata mesra pada pesan ibunya dulu terangkat lagi. Jiwanya terguncang kembali.