Buku Biru 1

1059 Words
Salamah memberanikan diri menatap Bu Nyai, dia bingung dengan larangan yang Bu Nyai lontarkan. Seolah mengerti dengan kebingungan yang Salamah rasakan, Bu Nyai pun tersenyum ke arahnya. “Karena sangat besar kemungkinannya kamu ketemu Ahmad di tempat umum, Umi nggak mau ada fitnah, Nak. Umi juga kemarin sudah ngomong sama Bu Mega. Keluargamu sudah menitipkan Salamah di pondok ini, maka selama di sini, Umi dan Abah ikut bertanggung jawab menjagamu. Umi harap, kamu bisa paham maksud umi," lanjut Bu Nyai. Salamah menghembuskan napas lega karena dugaannya salah. Dia yang sebelumnya mengira Bu Nyai melarangnya untuk tidak lagi berinteraksi dengan Mega. Namun, ternyata bukan itu yang dimaksud Bu Nyai. "Insya Allah paham, Umi," jawab Salamah dengan terbata. "Ya sudah, sekarang kamu langsung ke bilik sebelum ke kantor, belum bersih-bersih kan?" tanya Bu Nyai menepuk punggung tangan Salamah. "Inggih Umi, Assalamualaikum," pamit Salamah dengan mencium tangan Bu Nyai. “Waalaikumsalam.” Salamah melangkahkan kakinya menuju ruang guru masih dengan kebimbangan yang dia rasakan. "Ya Rabb, semoga langkah hamba menerima lamaran mas Ahmad ini benar, amin," pinta Salamah dalam doa yang terucap lirih diakhiri mengusapkan kedua tangan ke wajah. Dia melanjutkan langkah untuk segera membersihkan ruang guru. Jam sudah menunjukan pukul enam lewat sepuluh menit ketika Salamah menyelesaikan tugas terakhirnya, yakni menaruh gelas yang sudah bersih dicuci dan di lap. "Assalamualaikum," sapa Mega dari arah pintu masuk. "Waalikumsalam Bun," Salamah mendekat mencium punggung tangan Mega. Mereka berjalan ke arah meja yang tertulis nama Mega. "Salsa mana?" Salamah yang berjalan di belakang Mega celingukan mencari Salsa. "Ikut ayahnya sama Fajar nganterin kerupuk kulit ikan ke toko-toko," jelas Mega, sambil duduk dan meletakkan tas di atas meja. "Yah bete dong, Bun." Bibir Salamah mengerucut, kemudian duduk di samping Mega. Ruang guru masih terlihat lengang, beberapa guru lebih memilih menunggu jam masuk sekolah di dapur. Dapur sekolah yang terletak di samping ruang guru. Di sana biasanya disediakan kopi dan aneka gorengan yang dimasak oleh Zahwa, teman seangkatan Salamah yang sudah lulus dari MA Al-Hikmah, tetapi masih harus tinggal di pondok pesantren untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. "Enggak bete dong, nih ada titipan dari ayang bebz," goda Mega seraya menyerahkan buku biru muda dengan motif gambar hati berwarna merah pada Salamah. "Ini apa, Bun?" Salamah menerima buku dari Mega, membolak-balikkan buku dengan rasa penasaran. Namun, dia tidak berani membukanya. "Firman kemarin nitip ini buat kamu baca, terus kamu balas,” ucap Mega diakhiri tawa renyah. “Buku cinta, ciyeeee akhirnya punya buku cinta juga," kelakar Mega menggoda anak angkatnya. "Ih, Bunda apaan sih. Malu tahu," protes Salamah dengan pipi yang mulai merona. "Malu tapi mau," timpal Mega sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Itu pipi kayak kepiting rebus, merah,” ledek Mega menunjuk pipi Salamah dengan matanya. "Ih, Bunda jangan godain terus sih,” mohon Salamah dengan menggoyangkan lengan tangan Mega. Dia menutup mukanya sejenak. Menarik napas dan berusaha menormalkan sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya. Sesuatu yang Salamah belum tahu apa itu namanya, yang jelas, dia merasa penasaran dengan sosok George Ahmad Firmansyah. Mulai membayangkan siluet wajah tampan yang beberapa hari lalu resmi melamarnya di depan kedua orang tuanya. "Mas Ahmad cerita ya sama, Bunda dan Ayah?" selidik Salamah yang menatap Mega dengan pandangan curiga. "Ya eyalah, orang Bunda yang jomblangin kalian," aku Mega yang langsung membuat mata Salamah reflex melotot. "Ih, Bunda. Tuh ‘kan nyebelin banget?" rengek Salamah. Harusnya memang dia curiga kalau Mega pasti dalang dibalik semua ini, bagaimana bisa dengan tiba-tiba Ahmad datang ke rumah untuk melamarnya tanpa ada yang memulainya, tanpa ada yang menjomblanginya. “Ya Allah, harusnya aku sadar pasti ini kelakuan bunda,” desis Salamah yang malah membuat Mega terbahak. Tak tega terus meledek sang putri. Akhirnya, Mega mengalah untuk menceritakan awal mula keisengannya mengenalkan Salamah pada Ahmad lewat foto Salamah yang tersimpan di ponselnya. Namun, melihat beberapa guru mulai memasuki ruangan, Mega menjeda ceritanya karena menjawab salam dari rekan-rekannya yang mulai masuk ke ruangan guru dan secara bergantian berjabat tangan dengan dia dan Salamah. "Nanti saja ah lanjutin ceritanya," bisik Salamah, kemudian bersalaman dengan Mega dan pamit pada beberapa guru yang tadi baru saja bersalaman dengannya dan sudah duduk di tempat mereka masing-masing. *** Sesampainya di kamar, Salamah langsung menutup pintu kamarnya. Kamar yang hanya terdapat enam lemari milik penghuni yang lainnya. Kamar di lantai bawah nomor tiga, yang ditempati dia dan kelima santriwati lainnya. Tidak ada spring bed atau pun kipas angin di dalamnya. Bayangkan saja sebuah kamar berukuran dua kali tiga meter, dihuni enam orang dengan enam lemari plastik Napolly enam laci dan enam kasur lantai yang hanya dipasang di malam hari saja. Suasana kamar di pagi hari memang sepi karena sebagian banyak santriwati berada di sekolah, baik di Mts maupun di MA, sedangkan yang sudah lulus sekolah seperti Salamah, ada yang membantu di warung Bu Nyai atau pun di warung keluarga pesantren yang ada di lingkungan yayasan Al- Hikmah. Setelah dia mendapatkan posisi duduk paling nyaman, Salamah mulai membaca pesan yang di tulis Ahmad di buku biru yang dititipkan pada Mega. Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum calon istri ❤️❤️❤️ Kalau setelah kamu membaca ini, Aku disebut tukang rayu dan raja gombal pun aku terima,. Karena jujur, Aku bingung bagaimana cara menyampaikan rasa rindu ini, ponsel tak ada, ketemu pun tak mungkin berdua, Ya Allah segerakan lah waktu dimana aku bisa mengucap ijab kabul dan semua saksi berkata SAH, Aamiin. "Amin," gumam Salamah lirih, yang tanpa dia sadari mengaminkan do’a yang ditulis Ahmad. De, sering aku mencuri pandang ketika tanpa sengaja kita bertemu, Namun tak kuasa mengungkapkan rasa, tak kuasa untuk merajut asa, tak kuasa untuk berharap bersama, Aku cuma bisa mengagumimu dalam kalbu, Hingga di suatu petang, Aku diberi peluang untuk mendamba, Aku diberi kemungkinan merajut rasa yang ada. Dari cerita bunda Mega, akhirnya kumantapkan langkah, dan pucuk dicinta ulam pun tiba, Ayah dan Abah sudah saling mengenal, hingga aku putuskan bercerita, cerita tentang semua rasa yang dulu kuanggap tak akan ada, dengan Bismillah, ku utarakan tiap kata tanpa ragu, memilihmu sebagai pendampingku, sebagai penyempurna setengah diriku, Alhamdulillah keinginanku di terima Abah dan Amihmu, Hingga akhirnya, cincin lambang pengikatku terpatri di jarimu, De aku rindu, Rindu yang harusnya aku kubur dulu, Rindu namun belum di ijinkan bersatu, Di tiap malamku, senyum di wajahmu selalu menggoda percayalah dengan yakin aku katakana, Aku mencintaimu, dan berharap rasa ini segera terbalas, meski harus menunggu delapan puluh hari lebih untuk bisa memelukmu, Dari aku, yang selalu merindu George Ahmad Firmansyah
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD