Benih dalam Rahim

1146 Words
Rasanya ingin berteriak sekeras mungkin. Bagaimana Akira tak terpukul dengan fakta kehamilan itu sedangkan dirinya bahkan tidak tahu siapa ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Dia merasa begitu bodoh karena tidak mengetahui laki-laki mana yang sudah merenggut hal paling berharga dari dirinya. Akira merasa tak berdaya dan hanya menangis sebagai pelampiasan perasaannya. Dia tidak peduli lagi sekalipun masih ada Albert di hadapannya. Akira tidak peduli jika Albert memperhatikan kondisinya sekarang. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti apa yang sedang dia rasakan dalam hati. Amarah dan kebencian yang justru tertuju pada diri sendiri. Sekarang Akira merasa tak punya gambaran masa depan. Hidupnya sudah benar-benar hancur. Impiannya sudah rata dengan tanah. Dia tidak tahu bagaimana akan melanjutkan hidup. Mungkinkah takdir menginginkannya menjadi seorang ibu dari anak tanpa ayah, menanggung kehamilan tanpa suami dan membesarkan anaknya sebagai seorang single parent. Hanya itu pilihan yang dia miliki. Akira tentu tidak mungkin mengambil langkah yang salah dengan menggugurkan calon bayi tak berdosa itu. Setelah kondisi Akira dinyatakan baik-baik saja, mereka pun pulang dari rumah sakit. Gadis itu tak banyak bicara. Sementara Albert juga kebingungan harus menunjukkan sikap seperti apa. “Di mana alamat rumahmu?” tanya Albert setelah mereka masuk ke dalam mobil. “Untuk apa, Pak?” “Saya merasa dalam kondisi seperti ini lebih baik kamu pulang ke rumah saja. Tidak perlu ikut kembali ke kantor dulu,” kata Albert. “Tapi bagaimana dengan jam kerjanya?” tanya Akira. “Tidak perlu pikirkan itu. Kami akan mengantar sampai ke rumahmu.” Setelah menyebutkan alamat rumahnya, Albert pun memerintahkan sang sopir untuk mengantar mereka ke sana. Akira juga tidak menolak keputusan Albert itu. Dia memang membutuhkan waktu untuk sendiri dulu. Selama perjalanan pulang pikirannya terus berkelana memikirkan langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Bagaimana nasib pekerjaannya karena kini bahkan atasannya sudah tahu kalau dia sedang hamil. Akira tidak tahu apa yang dipikirkan Albert tentang dirinya. Namun pasti bukan penilaian baik yang terlintas dalam pikiran laki-laki itu setelah mengetahui Akira hamil tanpa menikah. Setidaknya itulah dugaan Akira. Dia terus menahan tangis selama di mobil. Mobil itu berhenti di jalan raya depan rumah Akira. Akira segera turun dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu mobil Albert kembali melaju untuk ke arah kantor. Untuk sementara itu Albert merasa cukup tenang. Albert sengaja menyuruh Akira pulang lebih awal. Dia harus menetralkan kebingungannya sendiri setelah mengetahui berita kehamilan itu. Bagaimana ia tidak panik jika tahu tiba-tiba dirinya akan menjadi seorang ayah dari bayi hasil hubungan one night stand. Padahal semua itu hanya ia niatkan sebagai upaya balas dendam. Baru tiba di kantor, Albert tak sengaja bertemu dengan Levin saat keluar dari lift. Sebagai orang terdekat, Levin tentu bisa melihat jelas kegusaran yang sedang dirasakan Albert. Apa lagi kedatangannya yang hanya seorang diri membuat Levin semakin bertanya-tanya. “Ada apa denganmu?” tanya Levin dengan nada bicara santai. Dia tahu dalam keadaan ini harus memposisikan diri sebagai teman. “Dan di mana Akira? Bukankah tadi kalian pergi bersama?” lanjutnya. “Dia sudah pulang ke rumahnya,” jawab Albert singkat. “Tidak seperti biasanya. Dalam rangka apa kamu membiarkan karyawanmu pulang lebih awal?” kata Levin mempertanyakan sikap Albert yang tak biasa. “Ada hal besar yang telah terjadi, Levin. Tapi aku tidak bisa menceritakannya di sini,” kata Albert sembari melirik kanan kiri. Levin pun mengerti bahwa pembicaraan itu pasti ada hubungannya dengan rahasia yang mereka simpan. Setelah mendapat isyarat dari Albert, dia pun mengekor temannya itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. “Jadi katakan padaku, hal besar apa yang kau maksud?” tanya Levin setelah mereka hanya berdua di ruang tertutup. “Aku sendiri tidak bisa percaya hal ini. Aku akan menjadi seorang ayah,” ucap Albert sembari mengusap keningnya. “Apa? Kamu akan menjadi seorang ayah? Jangan bercanda, Al. Kau bahkan belum menikah,” ujar Levin sembari menertawakan temannya itu. “Seharusnya kamu yang tidak bercanda dalam hal ini. Aku serius. Akira sedang hamil.” Tutur Albert sontak membuat tawa Levin langsung terhenti seketika. Ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih serius. “Akira sedang mengandung anakmu?” ujar Levin memastikan. “Ya begitulah. Tapi dia tetap tidak tahu kalau aku pelakunya.” “Ini gila, kawan. Kamu baru melakukannya sekali dan langsung membuat hamil anak orang. Kau memang luar biasa. Tapi kau juga ceroboh karena tidak menggunakan alat pencegah,” gumam Levin sembari menepuk-nepuk pundak Albert. Tentu saja tangan itu langsung ditepis oleh Albert. “Kenapa kau malah menyindirku tentang hal itu. Sekarang lebih baik kamu membantuku berpikir apa yang akan aku lakukan pada Akira selanjutnya,” kata Albert kesal. Levin tak kalah dibuat bingung dengan permasalahan itu. Apalagi Albert juga mengatakan tidak ingin terikat lebih jauh denga kehidupan Akira. Padahal mau tidak mau, kehadiran anak itu sudah menjadi seutas benang akan terus menghubungkan mereka berdua. Kecuali jika Albert begitu sampai hati untuk mengabaikan akibat perbuatannya dan menelantarkan darah dagingnya sendiri. Itu tentu mudah dia lakukan sebab rahasia tentang kejahatannya pada Akira masih tersimpan rapi. Dia tidak perlu mengakui apa pun dan membiarkan Akira yang menanggung dan mengurus anak itu seorang diri. Tapi tentu saja ia tidak berpikir setega itu. Sekarang dia berada dalam posisi sulit. Menyakiti Akira sama saja menyakiti calon anaknya sendiri. Meski begitu, Albert tidak bisa berhenti. Balas dendamnya pada Akira belum tuntas. Ia belum merasa puas menyakiti gadis itu demi membalas sakit hati sang ibu. Bahkan setelah melihat tangisannya di rumah sakit, itu pun tak mampu mengetuk hati Albert untuk menyudahi semuanya. Albert memikirkan cara lain untuk balas dendam. Dia tidak akan bisa lagi menyusahkan Akira dengan pekerjaan-pekerjaan berat yang dapat membahayakan kesehatan janinnya. Bagaimana pun juga sasarannya adalah Akira dan ibunya, bukan janin itu. Sekarang dia harus lebih berhati-hati dalam bertindak. Balas dendamnya tidak boleh sampai menyakiti calon anak dalam rahim Akira. “Baiklah, Akira. Mulai sekarang kita akan bermain secara halus,” gumam Albert sembari tersenyum licik. “Apa yang kau katakan?” tanya Levin melihat ekspresi Albert seperti sedang menerawang. “Kamu sudah menemukan jalan keluar atas permasalahanmu dengan Akira?” tanyanya lagi. “Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” kata Albert menyeringai. “Apa?” “Lihat saja nanti,” jawab Albert singkat dan mengandung rahasia. Membuat Levin penasaran dengan apa yang direncanakan Albert selanjutnya. Sejujurnya Levin tidak begitu suka jika Albert sudah bermain teka-teki seperti itu. Pasalnya, terkadang Albert akan melakukan sesuatu tanpa pertimbangan panjang yang pada akhirnya dapat merugikan dirinya sendiri. Seperti saat merusak diri Akira malam itu. Waktu itu Levin sempat menyatakan tidak setuju dengan rencana Albert untuk menjebak Akira dan merenggut kehormatannya. Tapi terkadang memang sangat sulit membelokkan Albert dari apa yang sudah menjadi ambisinya. Albert memutuskan tindakan itu tanpa memberitahu Levin terlebih dahulu. Bukan Levin ingin terlalu ikut campur dalam kehidupan Albert, tapi sejujurnya hal seperti itulah yang Levin khawatirkan sejak awal. Sekarang ketakutannya menjadi kenyataan bahwa Albert bisa saja terjebak sendiri dalam upaya balas dendamnya. Apalagi ditambah dengan kehadiran benih dalam rahim gadis yang sudah dinodainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD