First Night

1157 Words
Malam itu Akira menginap di hotel bersama Albert. Akira merasa gugup tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di antara mereka berdua. Albert memesan makan malam dan meminta di antar ke kamar. Laki-laki itu menyuapi Akira dengan manisnya. Akira sempat merasa terlena. Namun berbeda dengan apa yang dirasakan Albert. Baginya tak ada satu pun dari momen itu yang terasa berkesan. Dia hanya sedang menikmati perannya dalam bersandiwara. Seperti seorang aktor yang menjalan aktingnya dengan begitu sempurna. Dia ingin membuat Akira menjadi lemah sehingga dapat dihancurkan dengan lebih mudah. “Kamu harus makan yang banyak. Tubuhmu pasti butuh lebih banyak energi selama masa kehamilan,” ucap Albert sembari menyuapkan sesendok nasi ke mulut Akira. “Terima kasih banyak untuk semua perhatian yang kamu berikan padaku,” kata Akira sembari memandangi wajah Albert. Seperti tak menyangka jika dirinya kini sudah bersuami. “Eh, tidak perlu ada kata terima kasih,” ujar Albert sembari menempelkan jari telunjuknya ke mulut Akira. “Sekarang aku sudah menjadi suamimu, Akira. Sudah menjadi tanggung jawabku untuk selalu menjaga dan memperhatikanmu,” ungkap Albert lagi-lagi membuat wajah Akira bersemu malu. Akira tidak menyangka jika Albert bisa bersikap semanis itu. “Sudah jangan terus memandangiku seperti itu. Segera habiskan makananmu lalu istirahat. Aku tahu kamu pasti lelah hari ini,” ujar laki-laki itu dan kembali menyuapi Akira. Setelah makan malam tandas, Akira beranjak menuju kamar mandi berniat untuk mengganti baju. Albert sudah menyiapkan keperluannya dengan baik. Bahkan baju tidur untuk Akira kenakan juga sudah tersedia. Saat keluar dari kamar mandi, Akira dibuat kaget dengan sikap Albert yang tiba-tiba menggendongnya ketika dia baru muncul dari balik pintu. Akira merasa salah tingkah berada begitu dekat dalam dekapan Albert. Dia hanya bisa memandangi wajah itu dengan lekat. Albert berjalan membawa Akira menuju tempat tidur. Dia kemudian merebahkan tubuh Akira di sana. Membelai lembut rambut Akira yang tergerai bebas. “Istirahatlah yang cukup,” kata Albert. Laki-laki kemudian menggerakkan tangannya ke arah perut Akira yang belum membesar. “Sayang, baik-baik di sana. Kamu juga harus kuat seperti mamamu ya. Kami begitu bahagia menanti kehadiranmu,” ujar Albert seolah mengajak bayinya berbicara. Setetes air mengalir dari sudut mata Akira. Dia terharu melihat sikap yang ditunjukkan Albert. Di matanya, Albert terlihat begitu tulus. “Mungkin aku harus bersyukur memiliki suami seperti Albert. Dia benar-benar bersikap layaknya seorang ayah meski janin yang sedang aku kandung ini bukan anaknya. Apakah mungkin dengan semua sikap baik Albert itu akan membuatku bisa lebih mudah jatuh cinta padanya?” tanya Akira dalam hati. Albert tersenyum dan menutupi tubuh Akira dengan selimut. Dia pun beranjak setelah sempat mengucapkan selamat malam. “Kamu mau ke mana?” tanya Akira karena Albert seperti hendak pergi. “Aku masih ada sedikit urusan di luar. Kamu istirahat duluan ya,” pinta Albert. “Baiklah. Hati-hati dan segera kembali,” pesan Akira. Albert pun pergi membiarkan istrinya beristirahat seorang diri di malam pertama setelah pernikahan mereka. Albert berjalan dengan sedikit tergesa. Dia keluar dari hotel itu menuju halaman samping yang digunakan sebagai tempat parkir. Suasana cukup sepi hingga tak ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya. Seorang laki-laki sudah menunggu di sana. Orang itu tak lain adalah Levin. Sudah sejak tadi Levin berusaha menghubungi Albert. Hari itu dia kebingungan karena Albert tidak datang ke kantor tanpa mengabari sebelumnya. Menghubungi Albert lewat telepon tak juga terjawab setelah beberapa kali. Saat mencari ke rumahnya, Levin bertemu dengan Bibi Lastri, pembantu di rumah Albert, yang mengatakan bahwa tuannya itu sedang melangsungkan pernikahan. Bahkan dari pembantu itu pula Levin mengetahui lokasi hotel tempat Albert berada. Terakhir kali sempat dihubungi, Albert juga menyebutkan alamat hotel yang sama. Levin segera meluncur ke sana untuk bertanya secara langsung kebenarannya. Dia begitu terkejut karena Albert menikahi Akira tanpa memberitahu siapa pun termasuk dia sebagai teman dekatnya. “Ada apa kamu mencariku sampai ke sini?” tanya Albert saat sudah berhadapan langsung dengan Levin. “Seharusnya aku yang bertanya ada apa denganmu. Kau sudah gila? Kenapa kamu justru menikahi Akira? Setelah dia berhenti bekerja di kantor aku pikir semuanya akan selesai. Ternyata kamu justru semakin memperburuk keadaan. Kamu mengatakan tidak ingin hidupmu terlibat jauh dengan Akira. Tapi sekarang kamu justru menikahinya. Apa yang sebenarnya tidak aku mengerti di sini?” oceh Levin panjang lebar. “Berisik sekali. Hentikan ocehanmu itu. Telingaku sakit mendengarnya,” ujar Albert. Dia hanya bersikap santai dengan semua perkataan Levin. Temannya itu sudah sering memberinya ceramah seperti saat ketika dia menculik Akira malam itu. “Hei, aku terkejut mendengar kabarnya. Kamu sungguh menikahi Akira? Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang rencana ini?” “Memangnya kamu ibuku sehingga aku harus selalu memberitahumu?” kata Albert ketus. Sikap seperti itu sudah tidak aneh bagi seorang Levin. “Jadi kenapa kamu menikahi gadis itu? Apakah kamu sudah terbawa perasaan padanya?” tanya Levin menunggu jawaban dengan cemas. “Bodoh! Tentu saja itu tidak mungkin terjadi. Aku menikahi Akira hanya karena ingin mendapatkan anakku saja. Setelah bayi itu lahir nanti, aku tidak peduli lagi pada ibunya. Bagaimana pun juga anak itu adalah darah dagingku.” “Tapi kalau hanya menginginkan seorang anak, kamu bisa membayar perempuan-perempuan lain di luar sana untuk tidur denganmu dan melahirkan anak.” “Aku tidak mau punya anak yang lahir dari perempuan-perempuan bayaran yang menjijikkan seperti itu,” bantah Albert. “Lalu kamu lebih memilih punya anak dari perempuan yang kamu anggap sebagai musuh?” “Sudahlah. Tidak perlu mempermasalahkan semua ini,” ujar Albert berusaha mengakhiri perdebatan mereka. “Aku hanya takut seiring berjalannya waktu kamu akan memiliki perasaan yang berbeda pada Akira. Jatuh cinta itu melemahkan seseorang, Al. Aku yakin setelah jatuh cinta, kamu tidak akan bisa lagi untuk balas dendam. Cinta dan balas dendam adalah dua hal yang tidak bisa berjalan beriringan. Kamu hanya bisa memilih salah satu. Mencintai dan melupakan balas dendammu atau justru sebaliknya,” jelas Levin memberi nasihat. “Kau terlalu serius menanggapi semua ini, Levin. Anggaplah pernikahan ini hanyalah sebuah permainan dan aku akan keluar sebagai pemenang. Tidak perlu terlalu khawatir,” respon Albert tak mengindahkan perkataan temannya. Levin hanya bisa berdecak heran. Terkadang memang sulit berbicara dengan Albert yang keras kepala. Kalau sudah seperti, segala nasihat pun tidak akan berpengaruh meski dia mengatakannya sampai berbusa. “Ya sudah. Tidak apa-apa jika kamu tidak mau mendengarkan nasihatku. Aku harap kamu terus berhati-hati dengan perasaanmu sendiri,” kata Levin akhirnya menyerah. Albert tersenyum dan menepuk pundak Levin. Albert tahu Levin tidak akan bisa mengalahkan dirinya jika mereka sedang berdebat. “Baiklah kalau begitu. Aku akan kembali ke kamar dulu. Kasihan istriku menunggu,” ujar Albert dengan senyum smirknya. “Ya. Teruskan saja. Nikmatilah malam pertama kalian berdua sebagai suami istri,” timpal Levin setengah menyindir. “Sayangnya aku tidak bisa melakukan hal itu pada istriku sekarang karena dia sedang hamil muda,” jawab Albert meneruskan bercandanya. Seakan dia serius akan melakukan hal itu. “Kau benar-benar sudah tidak waras,” keluh Levin kemudian pergi dari tempat itu. Albert merasa puas setelah membuat Levin kesal. Dia pun kembali ke kamar setelah urusannya selesai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD