Teman Tidur

1096 Words
Malam itu adalah malam kedua Albert dan Akira setelah pernikahan. Akira tak mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan tempat baru. Terlebih lagi para pekerja di rumah Albert juga bersikap baik padanya. Hampir semua kebutuhannya mereka layani. Akira masih merasa segan karena harus tinggal satu kamar dengan Albert. Tapi dia berusaha menepis perasaan itu karena menyadari statusnya sebagai istri. Meski canggung, Akira pun memposisikan diri di samping Albert yang sudah merebahkan diri lebih dulu. Rasa tidak nyaman itu membuat Akira kesulitan untuk memejamkan mata. “Kenapa kau belum tidur juga?” tanya Albert sembari melirik gadis di sampingnya. “Tidak apa-apa. Aku hanya tidak merasa mengantuk saja,” jawab Akira. “Hmm … baiklah. Bagaimana kalau kita merubah rencananya?” ujar Albert. “Maksudnya?” tanya Akira tak mengerti. Tanpa menjawab, Albert pun beranjak dari tidurnya. Sementara Akira hanya merasa kebingungan sendiri. Tak lama setelah itu, Albert kembali ke kamar dengan membawa dua buah cangkir di tangannya. Ia membuat kopi untuk dirinya sendiri. Sementara untuk Akira dia membuatkan s**u cokelat hangat. Albert memberikan salah satu cangkir itu pada Akira dan mengajaknya ikut ke balkon. Akira mengikuti Albert ke sana. Angin malam menyeruak menerbangkan helaian rambut Akira yang tergerai. Pemandangan malam bisa mereka saksikan dari balkon lantai tiga rumah itu. “Aku sering menghabiskan waktu di sini jika aku ingin menenangkan diri,” ujar Albert sembari meniupi kopi panas yang asapnya masih mengepul sempurna. “Pemandangan dari sini memang sangat bagus. Menyaksikan alam terbuka tanpa harus pergi ke mana-mana,” timpal Akira. “Jadi kau juga menyukai tempat ini?” tanya Albert. “Kenapa tidak?” ujar Akira sembari tersenyum. Obrolan-obrolan ringan terus mengalir antara mereka berdua malam itu. Tanpa terencana, Albert menceritakan tentang kisah persahabatannya dengan Levin. Sesekali hal-hal lucu dalam pertemanan mereka sukses membuat Akira tertawa. Setelah Albert bercerita panjang lebar, dia pun meminta Akira agar gantian bercerita. Saat itu Akira justru bercerita tentang seseorang yang sangat ia rindukan yaitu ibunya. Albert mendengarkan dengan kesan antusias meski sebenarnya ada bara dalam hati laki-laki itu yang memanas saat mendengar nama Sofia disebut. Akira sempat bercerita tentang fakta kehamilannya yang tidak diketahui oleh sang ibu. Ia bahkan menuturkan sengaja menyembunyikan semua itu dengan pindah tinggal di rumah Clarissa sebelum menikah dengan Albert. Akira membagi semua itu tanpa ditutup-tutupi karena menurutnya Albert sudah resmi menjadi suaminya sekarang. Sudah menjadi kelaziman hubungan suami istri untuk saling berbagi. “Aku beralasan bahwa aku dipindah tugaskan untuk bekerja di luar kota saat aku pindah ke rumah Clarissa. Mama tidak pernah tahu bahwa sebenarnya aku sudah berhenti. Selain itu aku juga tidak memberitahunya tentang pernikahan kita,” tutur Akira tertunduk lemah karena merasa bersalah. Tanpa terduga, Albert langsung merangkul pundak Akira dengan salah satu tangannya. “Aku bisa mengerti apa yang kamu khawatirkan. Tenang saja, Akira. Aku ada bersamamu. Kita akan menghadapi semuanya bersama-sama. Jika waktunya sudah tepat, kita berdua akan mendatangi ibumu dan meminta restunya atas pernikahan kita,” kata Albert berusaha menghibur sembari menatap dalam kedua mata gadis itu untuk meyakinkan. “Tapi bagaimana jika mama marah atau tidak setuju?” ungkap Akira menunjukkan kekhawatiran. “Hei, apa ibumu akan mengeluh jika mendapatkan menantu seperti aku?” kata Albert membanggakan diri membuat Akira tersenyum dan memutar bola mata malas mendengarnya. “Sudah. Tidak perlu mencemaskan hal itu. Kalau kamu sudah merasa lebih tenang sebaiknya kita masuk ke dalam. Menikmati angin malam terlalu lama juga tidak baik untuk kesehatanmu dan anak kita,” kata Albert mengajak Akira menyudahi kegiatan mereka. Akira mengangguk setuju dan berlalu lebih dulu. Sementara Albert memandang kepergian Akira dengan penuh kemarahan. Bukan tanpa sebab, tempat itu, balkon lantai tiga rumahnya itu adalah saksi bisu kematian Tiana. Tempat itu selalu mengingatkan Albert pada ibunya sekaligus mengobarkan kembali api dendam terhadap Sofia dan Akira. Albert kemudian menyusul Akira masuk ke dalam kamarnya. Ia menutup pintu kaca itu dan kembali merebahkan diri di salah satu sisi ranjang. Perasaannya masih bergejolak mengingat dendam yang sedang ia tahan. Semakin melihat Akira di sampingnya semakin membuat Albert terbakar emosi. Kini ia harus berpura-pura menjadikan musuh sebagai teman tidur. Albert berusaha sekuat tenaga untuk menahan perasaannya agar Akira tidak merasa curiga. Mereka pun perlahan terlelap dengan posisi tidur berdampingan. Hitungan jam terus bergerak menggulung malam menjadi semakin kelam. Pada dini hari, tepat ketika dinginnya udara terasa menusuk, Akira dibangunkan oleh teriakan Albert di sampingnya. “Mama jangan tinggalkan aku, Ma. Hanya mama satu-satunya keluarga yang aku miliki. Aku akan hidup dengan siapa jika mama pergi,” racau laki-laki itu masih dengan mata tertutup membuat Akira merasa heran. Gadis itu mendekat pada sisi Albert dan menyadari bahwa suaminya itu sedang mengigau. “Albert, kamu kenapa?” tanya Akira tak sadar dirinya berbicara dengan orang yang sedang lelap. “Tidak, Ma. Jangan lakukan itu. Albert tidak mau kehilangan mama,” teriak Albert bahkan mulai menangis sesenggukan dalam tidurnya. Akira menduga pasti Albert sedang mengalami mimpi buruk. Akira bisa melihat titik-titik keringat di kening Albert. “Sadarlah, Al” ujar Akira sembari mengguncang bahu Albert. “Tidak…,” teriak Albert dengan keras dan sontak terbangun dengan terengah-engah. Malam itu untuk pertama kalinya Akira melihat sisi lain Albert yang tampak kacau. Entah apa yang sebenarnya dialami oleh laki-laki itu. “Kamu kenapa, Al? Tenangkan diri dulu,” kata Akira dan dengan sigap mengambil segelas air di atas nakas. Akira memberikannya kepada Albert. Laki-laki itu menerimanya dan langsung meminum beberapa teguk. Ia juga mengusap keringat di keningnya. “Maaf jika aku membuat tidurmu terganggu,” ucap Albert setelah cukup merasa tenang. “Tidak apa. Justru aku khawatir apa yang sebenarnya terjadi padamu,” kata Akira bermaksud menyisipkan sebuah tanya. “Aku hanya bermimpi buruk tentang mendiang mamaku,” jawab Albert. Selama ini dia memang sering mengalami mimpi seperti itu. Tapi jika mimpi tentang Tiana terus mengganggunya, Albert khawatir suatu saat Akira akan curiga karena bukan tidak mungkin dia akan mengucapkan apa saja di luar kesadarannya jika sedang mengigau. “Tenangkan dirimu ya. Kita doakan saja agar mendiang mamamu bisa tenang di sana,” ucap Akira berusaha menenangkan Albert. Mereka bersandar pada kepala ranjang. Gadis itu kemudian mendekatkan dirinya ke arah Albert. Menangkup kepala sang suami dan meletakkan dalam dekapannya. Sesekali tangannya juga bergerak membelai rambut Albert. Memperlakukan diri seperti sedang menenangkan anak kecil. Untuk sesaat Albert menikmati kehangatan dekapan itu. Setidaknya cukup sebagai amunisi untuk membuatnya kembali tenang. Selama ini tidak ada seseorang yang akan merangkulnya seperti itu jika dia mengalami mimpi buruk. Biasanya Albert langsung bangun dan termenung di balkon kamarnya bahkan hingga pagi menjelang. Menghabiskan waktu mengingat semua kenangan tentang sang ibu. “Ternyata memiliki gadis ini sebagai teman tidur cukup ada gunanya juga,” batin Albert dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD