Kesepakatan

2258 Words
Angin bawakan aku cintanya Karena aku benar menginginkan dirinya Untuk bersama selamanya . Menjadikannya satu dihatiku Entah itu mungkin atau tidak Namun rasa ini begitu menggebu Caranya memperlakukan mereka sangat indah Indah ... dan sangat mustahil untuk digapai Terlalu manis saat memikirkannya Andai saja itu terjadi dan Tuhan merestui Mendambakanmu seseorang yang aku inginkan Untuk bisa hidup bersamaku **** Ini adalah untaian kata yang kemarin akhirnya membuat Cyra benar-benar hancur dan membawanya pada titik terendah. seakan dunia tak ada yang membelanya dan orang tak ada yang percaya dengan apa yang dia tulis saat itu juga sang Nenek turut berpulang karena keegoisannya yang tak ingin mengubah sajak-sajak yang dia buat. **** Hanandjoeddin Airport pukul 10.00 Pagi. Cyra sudah ada diruang tunggu tempat ini, bersama Mia yang akan membawanya ke Lampung. Cyra menutupi mata bengkak itu dengan kacamata hitam miliknya dan Mia sang sahabat masih merangkulnya, karena jelas beban Cyra sangat besar kali ini. Namun di tengah kedamaian yang mulai meliputi hati Cyra beberapa orang datang mendekatinya. "Nona Cyra, Aku mohon ikutlah bersama kami." Ucap laki-laki yang berdiri dihadapan mereka, saat ini Mia terkejut dengan apa yang disaksikannya. Mia berpikir kalau ini pasti orang yang dimaksud oleh Cyra. Orang-orang suruhan Varen, laki-laki yang dengan teganya menghancurkan kehidupan sahabatnya. "Mau apa kalian?" Tanya Mia datar. "Maaf Nona tapi kami perlu bicara dengan Nona Cyra." Ucapnya pada Mia dengan sesopan mungkin. "Siapa yang menyuruh kalian?" Tanya Mia lagi dengan nada yang sangat ketus. "Maaf tapi kami harus membawa Nona Cyra kembali." Ucapnya lagi. "Cyra ada bersamaku, katakan pada orang sombong itu, ah ... Varen kan namanya?" Mia tersenyum sinis memandang laki-laki yang berperawakan besar itu, "katakan pada laki-laki sombong itu dia tak berhak menentukan jalan hidup orang lain." sambung Mia lagi. "Malken terima kasih, tapi aku mohon padamu gunakan sedikit hatimu untuk melepaskanku." tiba-tiba Cyra berkata tegas dengan suara perlahan pada Malken dan membuat laki-laki ini tertunduk. "Aku menggunakan hatiku Nona karena itu aku harus membawamu kembali, karena jika kau pergi dari tempat ini maka akan ada hal yang berat menimpamu." dia mulai menawarkan pilihan pada Cyra. Cyra terlihat menghela nafas pasrah sedangkan Mia sangat jengkel sekali, kalau ada laki-laki itu dihadapannya akan dia hajar sekarang juga. "Malken, aku akan menenangkan diri terlebih dahulu, aku tahu bahwa bosmu itu tak akan membuatku tenang barang sedetikpun tapi kau harus tahu bahwa aku juga bisa membalikkan semua keadaan, katakan padanya aku selama ini diam bukan kerena aku takut, tapi aku hanya menahan diriku untuk tidak bertindak buruk pada orang lain." Ucapnya lagi pada Malken. "Tapi Nona jika aku tak membawamu sekarang ..." "Maka kau akan dipecat dari pekerjaanmu?" sambung Cyra langsung. "Aku akan menemuinya, dia bisa menghubungiku kapan saja setelah satu minggu dari sekarang dan kupikir aku tak harus memberikan nomerku karena kau pasti sudah tahu nomer yang kupakai. Aku tak akan lari aku hanya perlu istirahat sejenak." Ucap Cyra lagi dengan suara yang sengau karena terlalu banyak menangis semalaman dan membuat hidungnya mampet. "Baiklah." Jawabnya lemah, dia percaya dengan apa yang dikatakan oleh Cyra ini kemudian dia berbalik badan dan berjalan gontai keluar. Mia menatap Cyra dengan mengerutkan keningnya mencoba menyelami pikiran sahabatnya ini. "Kau yakin dengan ucapanmu barusan Ra?" tanya wanita ini mencoba mencari kebenaran diwajah Cyra. "Menurutmu?" Tanya Cyra dengan memberikan jawaban yang pasti dia saat ini sedang mengeluarkan ilmu lakonnya. "Tak salah dulu kau menjadi pemeran wanita terbaik saat mewakili sekolah lomba pentas drama, harusnya kau bisa jadi artis saja." Ucap Mia sambil terkekeh. "Mia, kita tak bisa mempercayai orang begitu saja. Dia sedang mengajakku bermain, maka aku akan mempermainkannya juga, bukankah ini cukup adil dan berjalan fair?" Cyra berkata dengan tenang pada Mia. "Kau memang wanita perkasa, kalau aku jadi kau, mungkin aku sudah bunuh diri." Mia berkata sambil menggigit roti yang dia bawa. "Yeah, aku sudah dilatih untuk selalu berperang. Lihat saja dia, dia tak tahu berurusan dengan siapa." Cyra lalu menyandarkan kepalanya dikursi dan memejamkan matanya, menunggu penerbangan yang akan membawanya ke kehidupan yang baru. *** "Apa kau bilang?! Kau kehilangan jejak wanita itu?" Varen merasa sangat kesal saat mendengar apa yang dikatakan oleh Malken. "Apa kau sebodoh itu? Berhasil dikecoh oleh wanita yang lemah? Katakan yang sejujurnya Malken, kau tak sebodoh itu bisa melepaskan targetmu. Apa yang dia katakan padamu?" Varen menatap tajam pada Malken. Malken sangat paham pasti kebohongannya ini bisa diungkap oleh Varen, walaupun dari awal dia yakin kalau dia bisa memanipulasi keadaan. Sekarang dia bahkan tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. "Katakan Malken apa yang dikatakan wanita itu sampai dia berhasil membujukmu untuk berbohong padaku!" "Tuan, apa kau tak berpikir kalau dia bukan pelakunya?" Malken sangat tau dengan resiko yang dia ucapkan barusan akan membuat Varen mungkin akan menendangnya keluar dari tempat ini atau bahkan bisa memecatnya karena membuat seseorang yang bernama Rany Arago itu terlihat seperti seorang pembohong. "Katakan sekali lagi Malken, kau bisa mengubah pernyataanmu barusan." Varen menatapnya dengan pandangan tajam seolah ingin memberikan kesempatan hidup kedua pada Malken. "Saya ... saya menemukan banyak kejanggalan dijurnal yang maaf ... Nona Rany buat itu." Ucapnya lagi. "Maksudmu? Kau jangan terpengaruh dengan ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh Farras! Anak itu memang selalu ingin mencari keributan denganku." geram sekali Varen mendengar ada orang yang memojokkan Rany. "Hanya ada satu cara untuk membuktikan dia penjiplaknya atau bukan." Malken ingin memberikan idenya. "Kau jangan berpikiran gila. Rany bukan orang seperti itu. Dia wanita yang baik dan sangat perhatian serta bersikap lembut. Aku juga pernah melihatnya membuat puisi saat itu." Dia mencoba membela Rany. "Kenapa tak kita coba saja cara yang diberikan oleh asistenmu itu?" Suara Farras terdengar memekakkan telinga milik Varen. "Kau tak usah ikut campur!" Ucapnya pedas pada adiknya itu, jika mengingat kejadian malam kemarin rasanya dia benar-benar ingin membunuh laki-laki itu, untungnya dia masih bisa menahan rasa amarah memuncaknya itu. "Kenapa? Kau takut nanti bukti akan mengarahkan pada plagiat sesungguhnya?" pernyataan ini membuat Varen makin kesal melihat adik laki-lakinya ini. "Baiklah, katakan bagaimana caranya? Jika sampai wanita itu terbukti yang menjiplaknya, tak akan pernah ada ampun untuk wanita itu dan kalian ... kalian yang berkeras mengatakan kalau Ranyku bersalah tunggu saja." Dia menunjuk pada kedua orang ini. "Kau ini makin lama makin seperti monster Varen. Ah ... bukan ... bukan ... kau bukan monster tapi I-b-l-i-s." Farras terkesan memancing emosi Varen sedangkan Malken, dia khawatir laki-laki ini membuat Varen mengeluarkan amuknya. Varen menatapnya dengan sangat tajam disana dia terlihat menahan amarahnya yang makin menyala-nyala. "Malken katakan padaku bagaimana caranya." ucapnya perlahan tapi penuh penekanan dengan matanya tak lepas dari Farras yang saat ini terlihat sangat santai sambil duduk disandaran sofa dengan tangannya melipat didepan d**a. "Bukankah puisi yang ada dijurnal Nona Rany ada banyak? bagaimana kalau kita minta wanita itu untuk menunjukkan salah satu karyanya yang lain dalam belasan tahun yang lalu? Lalu kita samakan dengan yang ada di jurnal milik mendiang Nona Rany jika ..." "Jika ada yang sama artinya Rany yang menjiplaknya?" potong Varen cepat lalu disambut dengan anggukan dari Malken lalu dia segera menunduk setelah mengatakannya. "Tapi bagaimana jika sebenarnya saat itu jurnal Rany pernah terjatuh dan dibaca oleh wanita sialan itu?" Varen mulai mencari kemungkinan yang sepertinya tak masuk akal ini. "Kenapa kau harus mengambil opsi seperti itu?" Farras berkata dingin. "Karena Rany sebelum ajal menjemputnya dia sedang liburan ketempat ini dan ... dan jangan sampai kau lupakan bahwa Rany dulunya memang berasal dari tempat ini dan ..." "Siapa tahu mereka bertemu tak sengaja dan salah satu dari mereka mengcopy dari penulis yang asli?" sambung Farras cepat. "Tapi setiap sajak selalu ada makna, mungkin Cyra mengetahuinya." kali ini Malken menyela ucapan mereka. "Tapi ..." lagi-lagi Varen berusaha untuk terus menyangkal dan memberikan tuduhan itu pada Cyra. "Kita coba saja dulu. Nanti baru liat eksekusi dilapangan. Bukankah itu yang selalu kau pegang teguh dalam urusan bisnismu?" Farras mengingatkan Varen tentang hal itu. "Kau memang membuatku sangat kesal Farras!" Umpatnya. "Aku hanya mengingatkan saja, selama ini kau selalu bisa mengatasi banyak masalah Kakakku tersayang, kali ini apa kau yakin akan dibodohi oleh dua wanita? Apalagi salah satunya sudah gak bernyawa lagi." Ucapan Farras ini langsung mendapatkan tinju keras di wajahnya itu, sejujurnya saat mengatakan hal itu ingin rasanya Farras membeberkan kecurigaannya. "Aaaarggghh!" teriaknya sambil terhuyung jatuh lalu Varen masih mendekatinya dan ingin kembali menghajarnya tapi Malken dengan cepat mencegah laki-laki ini. "Kau berani sekali lagi membuat ucapan yang kurang ajar seperti ini ..." Jelas sekali wajah Varen mengeluarkan rasa marahnya. "Kau harus belajar menerima semuanya Varen! Tak semua yang kau inginkan akan menjadi seperti yang kau mau." Farras lalu berdiri dari tempatnya kemudian mengelap darah yang terasa asin keluar dari sudut bibirnya. "Varen, kita akan buktikan bahwa Ileana itu tak melakukannya." Sambung Farras lagi. "Baik! Buktikan padaku! Seret wanita itu, jika dia menghilang artinya dia adalah penjiplaknya!" Varen berkata dengan sangat percaya diri kemudian meninggalkan dua laki-laki ini disana. Farras menghela nafas melihat kepergian Kakaknya, dia masih harus menyimpan keraguannya tentang keberaan Rany yang mungkin masih ada, setidaknya fakta itu yang dia dapatkan baru-baru ini. "Malken, dimana Cyra sebenarnya?" Tanya Farras saat Varen sudah menghilang dari tempat ini. "Dia ... ada di bandara penerbangan menuju Lampung, transit Jakarta." Jawabnya. "Kau sudah menyuruh seseorang untuk mengikutinya?" Tanya Farras lagi. "Ya ... sekarang mungkin pesawatnya sudah lepas landas, di Jakarta sudah ada seseorang yang akan bertugas mengikutinya." jawabnya lagi. "Baiklah terima kasih informasimu itu." Ucapnya lagi lalu buru-buru melangkah keluar. "Redy, cepat kau ikuti Cyra, aku yakin dia memiliki rencana lain." ucapnya di telpon lalu berjalan keluar dengan cepat. "Baik Tuan." Jawabnya cepat. *** Saat ini Cyra merasa sangat tidak nyaman, entah kenapa dia sangat gelisah dan gelagat ini ditangkap oleh Mia. Mereka sedang jalan dari ruang tunggu menuju pesawat. "Kau kenapa? Kalau merasa tak nyaman bukankah lebih baik kau tinggal saja dulu? Aku yakin kalau kau memikirkan ini tidak dengan matang Cyra." Mia berkata pada Cyra dengan tenang. "Aku ..." entah kenapa saat dipenghujung jalan yang diyakininya dia malah sangat ragu. "Kau pikirkan baik-baik, Aku selalu mendukung apapun keputusanmu itu." Ucapnya lagi. "Aku sepertinya harus menyelesaikan urusanku dengan orang itu ." Ucapan ini sangat tak berimbang dengan tingkat kepercayaan dirinya tatkala Malken menghampirinya diruang tunggu tadi. Dia yang mengatakan dengan sangat yakin kalau dia bukan lawan yang mudah, tapi nyatanya? "Cyra, aku yakin apapun keputusanmu itu yang terbaik. Aku akan selalu menunggumu ditempatku. Jika ada apa-apa kau harus menghubungiku." Ucap Mia lagi. "Terima kasih Mia." Lalu Cyra membalikkan badannya dan berjalan kembali ke arah Ruang tunggu penumpang. Mia sadar bahwa saat ini sahabatnya memerlukan ruang untuk sendiri dan berpikir jernih agar kedepannya dia tak menyesalinya. "Kau simpan saja dulu pakaianku, Aku akan menyelesaikan masalahku secepat mungkin." teriaknya pada Mia lalu melambaikan tangannya. *** Cyra mencari tempat yang nyaman untuk berpikir dan meluapkan segala keresahannya, laut, yah laut memang tempat yang harus dia kunjungi saat ini. Baru saja dia sampai disalah satu Pantai yang sepi, yang sangat jarang dilalui oleh orang-orang, dia malah melihat sosok yang sangat dia kenal. Laki-laki itu menghadapkan wajahnya ke atas, persis seperti yang sering dia lakukan, lalu entah kenapa dia melihat Varen seperti melihat dirinya sendiri, apa sebenarnya yang ada dalam pikiran laki-laki itu? Apa yang dia sedihkan, sementara dia bahkan menekan Cyra dengan segala kekuatannya agar Cyra mengakui apa yang tak dia lakukan. Tangannya menggepal keras dan urat-urat tangan itu terlihat jelas, dia yang hanya menggunakan kaos oblong lengan pendek warnah putih dan celana jeans biru tua panjang tanpa menggulungnya keatas dibiarkan tersapu ombak. "Kau ... kau harusnya menyesali semua perbuatanmu itu Varen." Ucap Cyra dan itu membuat Varen sangat terkejut dengan kehadiran wanita ini, bukankah Malken mengatakan kalau dia saat ini kemungkinan sudah ada di Jakarta, lalu kenapa dia tiba-tiba dengan sangat percaya diri berkata padanya tentang perbuatan? "Varen, aku akan membuktikan padamu kalau aku tak pernah mengambil karya orang lain." Ucap Cyra sambil menatap lurus kedepan melihat laut yang seakan tanpa batas. "Buktikan saja." Varen menjawab datar lalu melihat ke arah Cyra yang saat ini mengambil start sejajar dengannya. Wanita ini menggunakan kacamata hitam dan membiarkan surai kecoklatan miliknya diterbangkan angin laut yang deras. "Sebagai gantinya, jika aku berhasil membuktikan kalau aku adalah pembuatnya, Penjiplak itu harus minta maaf padaku secara terbuka dan kau ... kau harus minta maaf padaku secara terbuka karena secara tak langsung kau adalah pembunuh nenekku." Ucapnya penuh penekanan. "Apa kau bilang?!" Varen sepertinya tak terima dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Cyra. "Jika saja identitasku tak kau buka ke publik, bukan tak mungkin hidupku jauh lebih nyaman karena tak ada terror yang dikirimkan ke rumah dan membuat Nenekku harus masuk rumah sakit karena keterkejutannya serta dia belum sempat mendengarkan cerita utuh yang aku miliiki." Jelas Cyra padanya. "Aku akan buktikan kalau aku bukan orang yang menyebarkan identitasmu itu." Ucap Varen lagi. "Kalau begitu mari kita buat kesepakatan seperti yang kau tawarkan padaku." Kali ini Cyra membalikkan badannya dan menatap lurus ke arah Varen, walau matanya tertutup lensa gelap, tapi jelas Varen tahu kalau saat ini Cyra sedang menatap tajam dirinya. "Baiklah! kita buat kesepakatannya, jika terbukti kau plagiatnya kau harus siap diseret ke meja hijau." Varen berkata dengan sangat tegas. Sorot matanya tak main-main, desiran darah Cyra terasa melaju deras. "Karena aku tak memiliki banyak kekuasaan sepertimu, jika aku menuntutmu juga percuma karena kau memiliki banyak pengacara yang akan kau sewa, maka tuntutanku cuma satu. Jika kau tak berhasil membuktikannya maka kau harus hidup bersama dengan semua rasa bersalahmu itu, kau tak akan kubiarkan untuk bahagia sedikitpun." Ucap Cyra lagi. "Baiklah." Lalu Varen menjulurkan tangannya. Jabatan tangan itu terjadi, kali pertama Cyra menyentuh fisik laki-laki itu dengan cara normal karena sebelumnya dia pernah menampar keras Varen. "Deal." Jawab Cyra. Ini adalah kesepakatan dua insan yang tercipta dengan alam menjadi saksi bisunya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD