Pagi ini kota Jakarta sangat cerah. Secerah hati Nada yang sudah empat hari begitu dimanja oleh sang ibu. Selama sang ibu ada di rumah, Nada tidak pernah membeli makanan siap saji. Ia bahkan tidak pernah makan di luar, karena baginya masakan Damini adalah masakan terenak di dunia.
“Kamu yakin bawa bekal lagi ke kantor?” tanya Damini ragu. Sudah dua hari Nada minta dibawakan bekal ke kantor dan kali ini ia memintanya lagi.
Nada mengangguk lembut. “Apa salahnya? Memang ada larangan karyawan bawa bekal ke kantor? Banyak juga kok yang bawa bekal. Lumayan uangnya bisa buat ditabung.”
“Tapi kamu itu asisten manajer dan orang kepercayaannya bos besar. Malu lah bawa bekal terus setiap hari. Mana bekalnya sambal terasi, sayur asem sama ikan asin begini. Padahal ibu mau masakin daging enak buat kamu. Tapi kamunya malah minta ikan asin cabe hijau.” Bibir Damini sedikit mengerucut. Berat ia memberikan bekal itu pada sang anak.
“Lho, memangnya asisten manajer nggak boleh makan ikan asin? Bosnya kadang ada yang suka semur jengkol, ikan asin panggang dan lalapan mentah. Lalu salahnya di mana, Ibu?” Nada mencubit lembut pipi sang ibu. Senyumannya benar-benar tulus, membuat hati Damini merekah pagi ini.
“Salahnya itu di kamu. Ngeyel, nggak mau dibilangin. Nanti kamu malah dibuli lagi, dikatain anak kampung sama karyawan yang lain. Atau nanti kamu dikatain pelit sama diri sendiri.”
“Eh, jangan salah. Justru lauk kayak gini modalnya lebih mahal dari ayam atau ikan. Kadang harganya bisa selangit kalau disajikan di restoran besar. Makanan kampung itu punya sensasi kenikmatan tersendiri. Apalagi kalau yang masak ibu sendiri.” Nada tiba-tiba memeluk Damini dengan hangat. Ia mendaratkan bibir cantiknya di pipi sang ibu hingga meninggalkan bekas merah di pipi Damini.
“Kamu itu, Nduk. Dari dulu sangat pandai membuat ibumu ini bangga. Sudahlah cantik, punya pekerjaan bagus, tapi tetap saja rendah hati dan sederhana. Ibu benar-benar bangga sama kamu, Nak.” Damini seketika tersadar ketika matanya menoleh ke arah jam dinding. Ia lalu melepaskan pelukan Nada.
“Sudah ah, kamu pergi kerja sekarang. Ini bekalnya dan habiskan. Jangan drama lagi, nanti bisa terlambat.” Damini memberikan tas bekal pada Nada.
Nada menerima. Ia raih tangan kanan sang ibu, ia cium lalu pamit. “Bu, makasih ya sudah siapkan bekal buat Nada. Doain Nada agar selalu lancar dalam urusan apa pun. Dijauhkan dari marabahaya dan orang-orang yang berniat jahat pada Nada.”
“Aamiin… Ibu percaya, Allah pasti akan selalu melindungi kamu. Kamu hati-hati di jalan dan jangan lupa baca doa.”
“Iya, Bu. Nada pamit ya… Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumussalam….”
Akhirnya, Nada pun menghilang dari balik daun pintu unit apartemennya.
***
BRAKK!!
Sebuah dokumen terlempar ke meja Nada dengan keras. Nada yang baru saja memeriksa pekerjaan di layar komputer, terperanjat, lalu menoleh ke arah seseorang yang baru saja melempar dokumen itu.
Nada masih diam, bersikap santai. Namun wajahnya tegas dan tatapan matanya tajam.
Seorang wanita berdiri, bersedekap di depan Nada. Bibirnya tersenyum sinis, seolah ia mengejek Nada dan membuktikan kemenangannya.
“Tamat riwayatmu sekarang,” ucap Luna—wanita yang baru saja melempar dokumen itu ke meja Nada.
Nada masih tenang, tidak membalas perlakuan kasar Luna. Ia ambil dokumen itu lalu ia baca dengan cepat. Tidak ada kecemasan di matanya, justru bibirnya tersenyum penuh percaya diri.
Nada berdiri, mendekap dokumen itu. “Aku akan temui pak Surya. Aku bisa jelaskan semuanya.”
“Apa yang akan kamu jelaskan? Semuanya sudah jelas. Namamu ada di sana. Kamu membuat perusahaan kehilangan proyek besar. Kesalahan kamu juga berpotensi membuat citra perusahaan buruk bahkan rusak.” Luna mencoba menahan langkah kaki Nada.
Nada berdiri elegan, ia masih tenang. Ia putar tubuhnya dan ia tantang pandangan mata Luna yang berapi-api. Walau Nada menantang, tapi sorot matanya lembut, licik dan seakan tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa yang ingin kamu katakan? Apa kamu berusaha membela diri? Aku rasa kamu tidak akan bisa, Nada. Sebaiknya kamu terima saja kenyataan kalau kamu sudah kalah dan waktumu sudah habis di sini,” ucap Luna.
Nada tersenyum kecil. “Kenapa kamu yang terlihat takut, Luna? Aku biasa saja. Kamu bisa lihat ketenangan di mata akukan? Atau jangan-jangan semua ini ulahmu? Kenapa kamu yang terlihat panik, Luna?”
Luna melepaskan kedua tangannya dari dadanya. Sikapnya memang kontras dengan sikap Nada.
“Jangan terlalu percaya diri, Nada. Kita lihat saja, kamu akan benar-benar berakhir di sini dan akan kembali menjadi gembel di kampungmu.” Luna menghentakkan kakinya. Bunyi hak sepatunya terdengar keras meninggalkan Nada di ruangan itu.
Nada tersenyum tipis. Ia pun melangkah keluar dengan langkah anggun. Di tangannya, masih terselip map yang baru saja dilemparkan Luna ke meja.
Ketika Nada baru sampai di pintu ruangannya, suara Zevan seketika menghentikan langkah kakinya.
“Nada, aku lihat Luna baru keluar dari sini. Apa ada masalah?”
Nada memberikan map itu pada Zevan tanpa mengucap sepatah kata pun.
Zevan menerima, membaca lalu mengernyitkan kening.
“Aku tidak percaya kalau kamu yang sudah melakukannya,” ucap Zevan.
“Aku pun tidak,” sambung Nada.
Zevan memberikan kembali map itu pada Nada. “Lalu kamu mau ke mana?”
Dengan tenang Nada menjawab. “Ke ruangannya pak Arfa. Kalau beliau tidak bisa mengatasi, maka aku akan langsung sampaikan ini pada pak Surya. Aku tahu, pasti ada yang menjebakku di sini. Lagi pula, apa untungnya bagiku membocorkan data perusahaan pada kompetitor? Aku di sini membawa nama baik prof. Mahendra Wiratama. Jika aku bunuh diri, maka sama saja aku ikut membunuh prof. Mahendra. Semua orang tahu betapa besar reputasi dan pengaruh Prof Mahendra di dunia pendidikan.”
Zevan mengangguk. Ia semakin mengagumi kecerdasan Nada dan juga sikap tenang Nada menghadapi masalah yang baru saja dihadapkan padanya.
“Apa kamu tahu siapa orang yang sudah menjebak?” tanya Zevan penasaran.
Nada tersenyum. “Saya tidak bisa mengatakan apa pun sebelum ada buktinya. Tapi yang pasti, bukan saya yang melakukannya. Jadi untuk apa saya takut? Pak, saya permisi dulu. Saya mau ke ruangannya pak Arfa.”
Baru saja Nada hendak melangkah, Zevan langsung menyambar lengan kanan Nada.
“Nada, aku percaya sepenuhnya padamu. Kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi aku. Aku akan bantu kamu mencari tahu, siapa dalang di balik semua ini.”
Nada memperhatikan tangannya, menggerakkan tangan itu sedikit membuat Zevan tersadar lalu melepaskan genggamannya dari lengan Nada.
“Terima kasih atas perhatiannya, Pak. Saya tersanjung dengan semua itu. Percayalah, tidak ada kejahatan yang abadi di dunia ini. Dulu aku mungkin pernah kalah, tapi aku pastikan hal bodoh itu tidak akan terulang lagi.”
Zevan mengangguk lembut. Walau ia tidak paham kemana arah dari ujung kalimat Nada, tapi pria itu percaya Nada bisa mengatasi semuanya.
Sementara tanpa mereka berdua ketahui, tidak jauh dari sana, sepasang mata memperhatikan keduanya dengan tatapan tidak senang. Seorang pria, berpakaian rapi yang menyaksikan momen itu dengan d**a mendidih saat ini.