Prolog

494 Words
Malam itu, langit tidak menurunkan bintang. Hanya obor-obor kecil yang bergetar di tangan warga desa, menyalakan cahaya temaram di tengah lapangan tanah. Angin membawa aroma anyir dari kain basah yang terbakar, bercampur debu dan keringat. Di tengah lingkaran, seorang perempuan berdiri dengan tangan terikat. Wajahnya pucat, rambutnya yang hitam tergerai berantakan menutupi sebagian pipinya yang memar. Meski tubuhnya lemah, sorot matanya tetap menyala—seakan masih menggenggam sisa harga diri yang belum habis direnggut fitnah. "Dia menodai kehormatan keluarga! Dia perempuan pembawa aib!" suara lantang seorang wanita tua menggema. Itu suara ibu mertuanya—perempuan yang juga ikut termakan fitnah. Bisik-bisik warga bercampur dengan teriakan fitnah. Tak seorang pun mendengar bantahannya, bahkan tak ada yang mau melihat mata teduhnya yang masih mencoba bicara. Lalu, seorang lelaki maju ke depan. Suaminya—Arya. Ia mengenakan kain batik rapi, wajahnya kaku tanpa emosi. Dialah orang yang seharusnya melindungi, tetapi malam itu justru menjadi hakim yang paling kejam. Dengan tangan dingin, ia mengangkat sebuah batu sebesar kepalan tangan. Warga menahan napas. “Sebagai kepala keluarga dan sebagai lelaki yang paling tersakiti,” suaranya datar, “akulah yang harus melempar batu pertama.” Bruk! Batu itu menghantam bahu sang istri. Tubuhnya terguncang, lututnya hampir goyah. Tapi matanya tetap menatap lurus—kepada suaminya, kepada pengkhianat yang pernah ia cintai setulus hati. Air mata mengalir, bukan karena sakit, melainkan karena luka yang tak kasat mata. Ia dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung jiwa. Setelah itu, batu-batu lain pun melayang. Dari tangan warga, dari kebencian yang dibakar fitnah. Dentuman keras memenuhi malam, bercampur isak yang teredam. Suara jeritnya, tangisnya, teredam oleh suara bising teriakan warga yang terbakar amarah oleh fitnah. Tidak ada yang peduli dengan airmatanya yang berjatuhan, dengan darah yang mulai mengucur dari tubuhnya. “KIRANA….” Sebuah teriakan terdengar sayu, tapi nyaris hilang ditengah kebisingan. Itu Adalah teriakan dari Nilam—ibunda Kirana. Satu-satunya orang yang tidak percaya dengan fitnah itu. Sementara Ayahnya, hanya bisa menahan malu dan membiarkan hukuman itu terjadi, walau sebenarnya ia punya kuasa untuk mengatasi. “Bawa ibu ke rumah, sekarang!” perintah pria tua yang tidak lain Adalah ayah kandung Kirana, orang paling terpandang dan berkuasa di sana. Walau hatinya remuk, ia tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa membalikkan badan dan pergi dari tempat itu, memaksa pesuruhnya membawa Nilam ke rumah mereka. Sayup, Kirana bisa melihat kepergian ke dua orang tuanya dari sana. Hatinya pilu, remuk dan sakit. Orang tua yang seharusnya melindungi, hanya bisa mengikuti alur yang seharusnya tidak pernah terjadi. Sampai akhirnya, tubuh perempuan itu roboh. Darah membasahi tanah, obor-obor redup dalam kabut debu. Bibirnya bergetar pelan, menyebut nama Tuhan—dan satu doa lirih meluncur bersama napas terakhir: “Jika ada kesempatan kedua, aku takkan jatuh ke perangkap yang sama.” Sebelum benar-benar menutup mata, Kirana bisa melihat dengan jelas senyum sinis penuh kemenangan dari bibir lelaki yang selama ini sangat ia cintai—Arya. Dan malam itu, bumi menelan air mata seorang perempuan yang tak pernah bersalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD