(Lima)

1088 Words
Wisnu menatap bahu bergetar itu dengan mata nanar, dia bukanlah laki- laki yang jahat, namun amanah almarhum ibunya membuat semuanya menjadi sulit. Dia memaafkan wanita itu, tak berniat melaporkannya atau menjebloskannya ke dalam penjara, rasa tanggung jawab yang diperlihatkan wanita itu sudah cukup baginya. Ke mana pernikahan ini akan dibawa, tempat Raras bukan di sini. Mereka bagaikan bumi dan langit yang tidak mungkin bersatu. Wisnu begitu hafal dengan wajah Raras, wajah yang sering dia saksikan di televisi atau pun media cetak. Gadis itu masih menangis, mengusap lengannya sendiri, melipat tungkai panjangnya mencari kehangatan. Wisnu harus sedikit membuka suaranya, wanita itu bisa terserang demam jika dibiarkan terlalu lama tidur di atas lantai semen. "Ras," panggilnya membahana, suara berat yang begitu jantan. Raras menghentikan tangisnya, apa benar yang dia dengar? Beberapa hari saling mengenal baru kali ini Wisnu memanggilnya tanpa beban. Apakah suara tangisnya sangat mengganggu? Wisnu harus memahami bahwa dia terpaksa harus menginap di rumah lelaki itu, demi menghindari kecurigaan orang kampung. Raras berbalik, mengatupkan rahangnya, mata cantik itu membengkak beserta hidung yang memerah. Kondisinya tidak terlihat baik, dia masih memakai kebaya berlengan pendek yang digunakannya untuk akad nikah tadi. Wisnu mencoba menggeser badannya, menahan rasa sakit yang teramat sangat di kedua kakinya, begitu berat perjuangan untuk memindahkan kakinya sendiri. "Tidurlah di sini! kau bisa sakit jika bertahan di sana," ucap Wisnu, tak ada nada ketus di sana, tawaran itu terdengar tulus di telinga Raras. Raras bangun, beringsut perlahan ke sisi yang sudah disediakan Wisnu, merebahkan tubuhnya di samping pria itu. Ini benar-benar hangat, rasa menggigil langsung hilang digantikan rasa mengantuk yang tak bisa ditahan lagi, hitungan detik Raras langsung tertidur. Wisnu melirik gadis cantik itu, lalu menarik nafasnya. Gadis itu terlalu sempurna untuk menjadi istrinya, kulit halus mulus yang terawat sangat tidak cocok tidur di atas kasur tipis yang hanya dilengkapi selimut lusuh. Rumah reot ini, tidak memiliki ranjang atau pun selimut yang tebal, sementara suhu di malam hari sangat dingin, apalagi gadis itu sudah terbiasa hidup di kota dengan suhu yang panas, pasti dia akan merasa tak nyaman. Wisnu tau, wanita ini sangat baik, bahkan dia melakukan sesuatu melebihi dari apa yang seharusnya. Kenapa dia harus mengorbankan diri sejauh ini, bahkan Wisnu tidak berharap Raras harus menunaikan amanah ibunya, tapi gadis itu memaksakan diri. Wisnu kembali melirik wajah cantik itu, dia seperti bidadari yang diturunkan ke bumi, mata besar berbulu lentik, hidung mancung dipadukan dengan bibir merah padat dan kecil, dibingkai oleh wajah ovalnya yang putih seperti pualam. Tubuhnya sempurna, tinggi dan padat serta berlekuk indah, dia memiliki otot yang kuat dibalut kulit putih bersih. Wisnu memejamkan matanya, pernikahan ini hanya hitungan bulan, tak sewajarnya hatinya dibuka untuk sesuatu yang tidak akan didapatkannya dikemudian hari, dia laki-laki yang tak pernah terjamah cinta, dua puluh tujuh tahun hidupnya hanya dihabiskan untuk bekerja mencari sesuap nasi. Dulunya dia cukup pintar, tapi terpaksa putus sekolah di bangku SMP saat ayahnya meninggal setelah sakit yang dideritanya selama bertahun tahun. Hidup Wisnu tidak mudah, dia miskin, tak ada perempuan mana pun yang menawarkan diri untuk menjadi pendampingnya bahkan di usianya yang cukup untuk menikah. Wisnu tak percaya dengan hidupnya, kehilangan ibu diganti dengan mendapatkan istri. Wisnu tidak berani mengambil resiko untuk mengagumi Raras lebih jauh, dia tau betul ke mana muara pernikahan ini berakhir. Ucapan ayah Raras masih terngiang di kepalanya. "Kau kenal siapa kami?" Wisnu mengangguk lemah. "Aku tidak mengerti kenapa anak bodoh itu meminta sesuatu yang konyol dan tidak masuk akal, yang jelas, kau harus ingat siapa dirimu! jangan berpikir tentang sesuatu yang tak mungkin kau dapatkan, aku akan membayarmu...." Laki-laki tua itu menyodorkan amplop tebal di depan Wisnu. Wisnu menolak dan menyerahkan lagi amplop itu kepada ayah Raras. "Maaf, ambil lagi uang Anda, Pak! saya tidak membutuhkannya." Ayah Raras memandang tajam, berdehem, kemudian mengambil amplop itu kembali. "Aaya harus memperingatkanmu, pernikahan kalian hanya berlangsung sampai kau sembuh, setelah itu aku sendiri yang akan memisahkan kalian, Raras sudah punya calon yang kami persiapkan, yang pantas untuk bersanding dengannya." Wisnu menarik nafas, tentu saja dia akan mengingat semua peringatan itu, dia tidak pernah bermimpi terlalu tinggi, dia tak pernah mengharapkan sesuatu yang tak mungkin digapainya, seharusnya ayah Raras tidak perlu repot repot mengingatkannya. Wisnu agak kaget saat Raras merapatkan diri padanya, memeluknya untuk mencari kehangatan, hatinya berdebar halus, bagaimanapun... ini sentuhan paling intim yang pernah dialaminya dengan seorang perempuan. Wisnu tersenyum sekilas, wanita yang wajahnya wara-wiri di televisi sekarang tengah berada di pelukannya, semua itu cukup membuatnya tersanjung. *** Raras bangun lebih dulu, ini masih pukul empat pagi, dia benar-benar tidur nyenyak semalaman. Raras cukup senang saat Wisnu mulai menampakkan rasa bersahabat padanya dengan menawarkan kasur dan selimut yang sama. Ada hal yang membuat Raras malu, bagaimana bisa tangan tidak tau malunya melingkar erat di pinggang Wisnu, dia berharap kejadian memalukan itu tidak diketahui Wisnu. Raras bangun berlahan, merapikan selimut itu kembali, Wisnu masih tidur nyenyak, dia sama sekali tidak terganggu dengan gerakan Raras. Raras berjalan berlahan, mencoba mencari di mana kamar mandi di rumah ini. Baru saja Raras keluar kamar, pemandangan ruang tamu membuatnya terenyuh, Aryo dan Yono bergelung di atas tikar pandan dengan selimut kecil yang memiliki tambalan cukup banyak, mereka adalah anak yang pendiam seperti Wisnu. Aryo duduk di kelas tiga SMA dan Yono kelas dua. Sedangkan dua adik perempuan Wisnu yang lain tidur di kamar ke dua yang ukurannya lebih besar sedikit dari kamar Wisnu. Namanya Nela dan Mira, sama-sama duduk di bangku SMP kelas tiga, mereka kembar tapi tidak identik. Raras melanjutkan pencariannya, dia berjalan terus ke arah dapur, melihat gang kecil di sebelah kanan. Raras tersenyum, dugaannya benar, ini adalah kamar mandi darurat, ada keran kecil yang mengalirkan air ke drum bekas, ditutup oleh plastik terpal yang mulai lapuk. Raras menimbang-nimbang, bagaimana caranya dia untuk mandi di tempat ini. Bahkan kamar mandi darurat ini tidak memiliki daun pintu yang layak, hanya ditutup kain lusuh yang bisa ditarik. Ini masih jam empat pagi, semua orang tertidur lelap, pasti asik dengan mimpinya masing-masing. Raras berfikir keras, dia butuh mandi, bahkan keringat seharian kemaren masih menempel di tubuhnya. Di ruangan berbeda, Wisnu berusaha mengangkat dirinya sendiri tanpa kekuatan kakinya untuk naik ke kursi roda. Untung saja dia memiliki otot lengan yang kuat pengganti kakinya, walaupun sedikit kesusahan dia berhasil mengangkat tubuhnya yang berat. Satu yang dilupakan Wisnu, bahwa dia sudah memiliki istri, dia tidak curiga tidak mendapati Raras dalam kamarnya, kesadarannya belum pulih betul, dia masih menguap berkali-kali, tapi meninggalkan shalat malam hanya akan membuat dirinya menyesal sepanjang hari. Wisnu menata nafasnya di atas kursi roda, mengangkat badannya sendiri ternyata lebih berat dari pada mengangkat dua karung semen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD