Chapter 40 : Batu Melayang II

1173 Words
Keesokan harinya, di waktu siang, Zidan kembali memimpin para penduduk untuk bergerak menuju ke arah barat. Perjalanan mereka kali ini, begitu tenang, tidak ada hambatan apa pun, bahkan, ketika mereka istirahat siang sebelumnya, Kenzie berkata pada Zidan kalau tidak ada tanda-tanda kehadiran para siluman di sekitar. Kondisi seperti ini, membuat Zidan dapat sedikit tenang, tetapi tetap tidak menurunkan kewaspadaannya. Situasi seperti ini membuat Zidan cukup santai dan mengistirahatkan pikirannya sejenak dari hal-hal buruk, sehingga dia dapat lebih fokus memikirkan ke mana mereka akan tinggal setelah ini. Lalu, dia juga bertanya-tanya, apa rencana Kenzie dan yang lainnya setelah ini. Zidan sebenarnya ingin ikut mengembara dengan Kenzie juga, tetapi dia sadar kalau dirinya memiliki hal lain yang harus dikerjakan, yakni melindungi para penduduk ini dari para siluman yang tidak memiliki hati atau pun sedikit empati untuk berbelas kasihan. Tahu kalau apa yang ingin dilakukannya sangat sulit untuk direalisasikan, Zidan hanya dapat mengembuskan napas. Mendadak saja, satu bola api melesat, menabrak sebuah batu yang hampir saja membuat kepala Zidan pecah. Suara ledakan yang cukup kuat langsung membuat Zidan keluar dari lamunan, lalu melirik ke sekitar. Tanpa pikir panjang, ia menghentikan para penduduk dan menyuruh mereka semua untuk tenang. Tak lama berselang, Vani datang mendekati Zidan. “Apa yang baru saja itu?” tanya Zidan, bingung, kepada Vani yang baru saja tiba di sebelahnya. Vani fokus memerhatikan sekitar, lalu membuat bola-bola api yang melayang di sekitarnya. “Kupikir, ini pastilah salah satu dari beberapa tempat ‘terdistorsi’ seperti yang kudengar dari beberapa orang. Aku tidak tahu detilnya, tetapi tempat ini cukup berbahaya ....” Segera Zidan memerhatikan sekitar, tetapi mendadak satu batu lagi melesat dengan begitu cepat ke arahnya. Beruntung, Vani dengan cepat menahan batu tersebut dengan bola api miliknya. Namun, kali ini begitu banyak batu melesat ke arah para penduduk, membuat Vani harus mengerahkan cukup banyak kekuatan untuk menahan semua batu tersebut menggunakan bola apinya. *** Beberapa saat sebelumnya, Kenzie masih tenang berjalan sembari memerhatikan tempat di sekitar. Ia merasa sedikit aneh tentang tempat yang sekarang ia datangi, tetapi ia tidak tahu keanehan apa yang ia rasakan ini, sama seperti biasanya. Bedanya, kali ini Kenzie tidak dapat mengansumsikan hal aneh ini adalah serangan dari para siluman, karena firasatnya mengatakan hal lain yang akan terjadi, bukan serangan siluman. Tepat ketika ia mulai memikirkan semuanya secara mendalam, mendadak ia merasakan sesuatu dan langsung menarik pedangnya. Ia dengan cermat membelah batu yang cukup besar, yang melesat cepat ke arahnya itu. Namun, batu yang menyerang itu tidak hanya satu, melainkan ada beberapa batu lagi yang menyerang Kenzie dari belakang. Segera Kenzie berbalik, menebas setiap batu melayang yang melesat cepat ke arahnya itu. Beberapa saat kemudian, ia melihat beberapa bola api yang melesat dan menghancurkan setiap batu melayang yang datang. Mengamati situasi yang terjadi, Kenzie pun berteriak kencang pada Zidan, “Zidan! Arahkan para penduduk untuk tetap bergerak!” Zidan yang mendengar seruan itu, langsung sadar akan sesuatu hal dan langsung menanggapi dengan memerintahkan para penduduk untuk kembali berjalan. “Serahkan saja padaku!” jawab Zidan, lantang. “Vani, sebisa mungkin untuk menahan setiap batu yang datang sembari berjalan bersama dengan para penduduk!” Kenzie kembali berseru. “Baik!” Vani langsung melaksanakan apa yang Kenzie suruh tadi. “Bagus ....” Dengan tenang, Kenzie berjalan mundur sembari terus menangkis tiap batu yang melesat lurus ke hadapannya. “Serahkan saja batu-batu yang ada di belakang ini padaku.” *** Melihat situasi yang begitu memberatkan mereka ini, Vani segera melirik Zidan, mengatakan sesuatu dengan tatapan matanya, karena ia terlalu sulit mengambil waktu untuk berbicara ketika serangan demi serangan harus terus ditangkis oleh mereka. Meski hanya dengan lirikan mata itu, Zidan dapat mengerti apa yang hendak dikatakan oleh Vani. Tanpa ragu, pemuda itu berteriak kencang, “Percepat langkah kalian semua! Kalau bisa berlari! Kita harus segera keluar dari sini, jangan bergerak pelan seperti siput!” Para penduduk yang tadinya berjalan pelan, langsung tersentak mendengar ucapan Zidan yang memang sedikit kasar itu. Namun, mereka tidak mau protes dan langsung berlari seperti yang diperintahkan oleh Zidan. Mereka semua sadar kalau sekarang mereka hanyalah beban, jadi tidak boleh memberontak demi kebaikan mereka sendiri juga, bukan kebaikan Zidan, Kenzie, Vani dan Kyra saja. Ketika para penduduk mulai berlari, Vani juga ikut berlari, masih terus menghalangi setiap batu melayang yang datang menyerang mereka dari segala arah. Pergerakan cepat ini membuat Vani dapat menghemat beberapa ‘Mana’ yang digunakan untuk terus bertahan. Dengan adanya simpanan ‘Mana’, maka kemungkinan terburuk masih bisa dicegah, walau tidak sempurna. Tindakan seperti ini, membuat Kenzie yang berlari di barisan paling belakang, tersenyum tipis, lalu bergumam pelan, “Ternyata kalian berdua cukup peka pada keadaan. Dengan gerakan yang cepat seperti ini, memang akan menguras tenaga lebih banyak, tetapi keuntungannya dapat menghindari kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.” Kenzie pun semakin bersemangat menebas setiap batu yang datang, dan ia menganggap ini sebagai sebuah latihan untuk meningkatkan refleksnya dalam menangkis serangan yang bergerak dengan cepat. Memang inilah Kenzie, selalu berlatih di setiap situasi kalau memang memungkinkan. *** Kala mentari sudah hampir terbenam, akhirnya mereka semua tiba di daerah yang tidak diserang oleh batu melayang. Namun, tempat mereka berada sekarang adalah sebuah lapangan yang cukup luas dan dikelilingi oleh hutan lebat. Meski begitu, karena tenaga mereka habis, mereka semua malah beristirahat di sini. Vani dan Kenzie seketika berbaring di atas rumput yang sedikit tebal ini, sebab mereka berdualah yang paling lelah sekarang. Melihat itu, Kyra segera datang dan memberikan mereka air untuk diminum. Beruntungnya lagi, malam ini mereka tidak perlu berburu, sebab masih ada beberapa daging sisa siang tadi yang masih belum dimasak. “Memang Kyra orang yang paling perhatian di sini. Apa kau setuju, Vani?” tanya Kenzie, sengaja ingin memberikan sedikit pujian pada Kyra. Vani yang tahu apa maksud Kenzie bertanya seperti itu pada dirinya, langsung menganggukkan kepala pelan, berkata, “Yeah, Kyra adalah orang yang paling perhatian di sini. Kurasa dia yang paling berjasa bagi kita.” “Kalian berdua terlalu memuji ....” Kyra sedikit malu karena mendapat pujian. Namun, yang tidak dia tahu adalah, Kenzie dan Vani memang tulus memberikannya pujian. “Kalau begitu, aku akan membantu para penduduk menyiapkan makan malam kita.” Kyra pun segera pergi meninggalkan Kenzie dan Vani bersama. Sejenak, Vani melirik Kenzie. “Tidak kusangka kalau kau akan memujinya seperti itu. Apakah kau memiliki tujuan khusus ketika melakukannya?” Kenzie menggelengkan kepala beberapa kali. “Tidak ada. Mungkin kau saja yang terlalu banyak berpikir. Aku memujinya dengan tulus, bukan karena ada tujuan khusus. Lagi pula, kalau pun ada tujuan khusus, itu adalah agar Kyra tidak merendahkan dirinya lagi dari kita.” Ucapan Kenzie yang serius itu, membuat Vani kembali menatap angkasa yang perlahan gelap karena mentari yang hampir tenggelam di ufuk barat. “Terserah apa katamu saja sih. Tapi, aku rasa aku tidak membenci tujuan khususmu itu. Itu lebih terkesan seperti kau sangat peduli padanya.” “Bagaimana mungkin aku tidak peduli padanya? Dia tampak tak lagi memiliki seseorang untuk dijadikan sandaran, jadi aku mencoba meminjamkan bahuku padanya agar dia dapat bersandar sejenak, sampai akhirnya dia mendapatkan tempat sandarannya yang akan terus menjadi tempatnya bersandar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD