Chapter 3 : p*********n

1082 Words
Kelelahan karena terus berteriak tanpa arti, perlahan Kenzie kehabisan suara. Keringat bercucuran membasuh habis tubuhnya, sedangkan kepalanya tertunduk. Rasa sakit menjalar ke sekujur tubuh akibat upaya memberontak, warga sekitar yang melihat kekejian yang dilakukan oleh para siluman, semakin gentar. Di lain pihak, para siluman malah senang serta bersorak melihat penderitaan Kenzie. Mereka merasa kalau mereka adalah sosok paling mulia, sehingga harus dihormati dan ditakuti. Jika berani memberontak seperti Kenzie dan ibunya, harus rela kehilangan nyawa. “Bocah, apa kau sudah tidak punya tenaga lagi untuk berteriak?” ucap siluman wanita—yang memenggal kepala Sisi—dengan senyum licik. “Ayo, berteriaklah sekencang mungkin!” “Hahaha! Berteriaklah lagi, manusia bodoh!” “Tunjukkan pada kami kejantananmu! Hahaha!” Para siluman mulai bersorak, sementara para manusia kian merasa diintimidasi. Namun, inilah situasi sekarang, yang lemah semakin lemah, dan yang kuat semakin berkuasa. “Komandan Vinri, mau kita apakan anak manusia ini?” Tiba-tiba seorang siluman bertubuh kekar menghadap siluman wanita berekor sembilan tadi—Vinri—untuk menanyakan hukuman bagi Kenzie. Vinri mengusap pedangnya dengan kain, lalu menyarungkannya kembali. Dia mengabaikan siluman di depannya, dan mendekati Kenzie, sambil menghunuskan pedangnya pada pemuda itu. “Waktu bermain sudah selesai. Setelah ibumu, aku akan membunuhmu juga dengan pedangku, agar kalian dapat kembali bersama!” Vinri menebaskan pedangnya secara horizontal ke leher Kenzie, tetapi cahaya keemasan mendadak muncul dari pemuda itu, menghalau serangan Vinri. “Apa?” Vinri pun melompat mundur. Dari raut wajahnya sudah jelas terbaca kalau dia begitu terkejut oleh kejadian ini. “Bagaimana bisa?” “Lihat! Pemuda itu mengeluarkan cahaya dari tubuhnya dan memutuskan rantai yang mengikatnya!” Seorang siluman lantas berteriak. Kenzie melayang-layang di udara. Kedua matanya terbuka lebar, dan pupilnya yang berwarna keemasan itu kini memancarkan cahaya layaknya sebuah pelita. Bukan hanya itu, di sekujur tubuhnya juga muncul garis-garis berwarna kuning yang memancarkan cahaya. Penampilannya sekarang sungguh berbeda dari sebelumnya. “Ha!!!” Kenzie berteriak sambil melepaskan energi dari dalam tubuhnya. Seketika gelombang udara meratakan semua bagunan di desa ini. “Lari! Monster sedang mengamuk!” Baik para siluman maupun manusia langsung berlarian ke sana sini karena panik. Tentu mereka menjadi panik karena dikejutkan, tetapi Vinri tetap berdiri tegak walau keadaan sudah mendesak. “Pengecut! Apa yang kalian takutkan dari semut kecil ini?” Vinri berteriak, tetapi tidak ada yang mengindahkan perkataannya. “Biar aku tunjukkan kekuatanku padanya!” Tanpa rasa takut, Vinri segera mendekat, hendak menebas Kenzie secara vertikal. Bukannya berhasil, pedang Vinri malah patah menjadi dua bagian akibat menghantam tinjuan Kenzie. Sekali lagi Vinri mundur, sedangkan Kenzie masih melayang di tempatnya tanpa mau berpindah tempat. Ekspresi Kenzie yang datar membuat Vinri kian geram, untuk itu dia memekarkan ke-sembilan ekornya, lalu menatap tajam Kenzie. Siluman wanita itu memamerkan taring panjangnya, serta matanya yang menyala-nyala bagai api berwarna merah. “Grrr ....” Cakar di tangan dan kaki Vinri memanjang, lalu tubuhnya pun memancarkan cahaya yang menyilaukan mata. “Ha!!!” Gelombang udara yang kuat menghantam Kenzie, tetapi pemuda tersebut hanya bergeming. Vinri melompat, menyerang Kenzie menggunakan cakar pada tangannya, tetapi Kenzie menepis semua itu memakai pukulan tangan. Keduanya pun mulai saling menyerang satu sama lain, tidak ada yang mau mengalah. Kenzie mundur, menjaga jaraknya sejenak. Mulutnya perlahan terbuka, dan kedua tangannya ia rentangkan. “Ha ....” Di depan Kenzie mendadak muncul sebuah bola bercahaya emas besar. Tanpa berlama-lama, Kenzie melemparkan bola tersebut pada Vinri. Walau dalam keadaan terdesak, Vinri juga menyerang menggunakan bola angin besar yang berputar tak karuan, tetapi tetap memiliki inti. Hantaman keras dua serangan itupun sontak menghancurkan desa. Para manusia juga siluman yang ada di sana pun turut menjadi korban dari serangan ini. Debu berterbangan menutup penglihatan. Namun, dalam gumpalan debu tersebut Kenzie melesat, lalu menghantarkan pukulan keras pada Vinri. Vinri bereaksi, menahan serangan tersebut menggunakan kedua tangan, tetapi kedua tangannya itu remuk seketika karena tak mampu menjadi tameng. “Agrh!” Vinri memuntahkan darah, dadanya terluka cukup berat karena pukulan telak Kenzie. Vinri mendarat, jatuh bersujud di tanah. Napasnya tersendat, dan sekujur tubuhnya merasakan sakit luar biasa. Tanpa ampun sedikit pun, Kenzie menendang kepala siluman wanita tersebut sampai melayang jauh dari tubuhnya. “Mata untuk mata, kepala untuk kepala ....” Sesaat kemudian, Kenzie jatuh bersujud di tanah. Napasnya terengah, mulutnya memuntahkan darah segar bersamaan dengan memudarnya cahaya serta tato dari tubuhnya. Kali ini Kenzie sadar kalau ada kekuatan besar di tubuhnya, yang mendadak meledak. Kenzie masih tak percaya akan hal ini, sebab sebelumnya ia merasa sangat putus asa, tidak dapat melihat adanya harapan di matanya. Namun, kini ia memandang dengan heran kedua tangannya sendiri. “Apa yang sebenarnya tengah terjadi?” Kenzie bertanya pada dirinya. “Apakah aku sedang bermimpi lagi?” Tangannya secara refleks menyangga kepalanya yang terasa sakit. Debu pun perlahan menghilang dari pandangan, lenyap terbawa angin. Di saat itu pula, kedua tangan Kenzie melemas, tak bertenanga, mulutnya sedikit terbuka, dan matanya terbelalak lebar kala melihat sebuah kenyataan mengerikan. Kepalanya tertunduk, Kenzie sekali lagi memandang kedua telapak tangannya dengan frustasi. “Apa yang telah kulakukan ...?” Ia kemudian mengalihkan perhatian pada mayat siluman wanita di depannya. Melihat itu, ia tidak bereaksi apa-apa, karena kebenciannya pada siluman ini sangatlah besar. “Karena kau aku melakukan ini!” Kenzie lantas memukul mayat tersebut sekuat tenaga, tetapi tangannya malah terasa begitu sakit saat melakukannya. “Argh ....” Kenzie sedikit menjerit, lalu bangkit berdiri. Air matanya menetes kala melihat desanya kini rata dengan tanah akibat perbuatannya sendiri. Namun, ia tak berlama-lama lagi di sana, karena tahu pasukan siluman pasti datang ketika tahu apa yang terjadi. Walaupun berat, dan sekujur tubuh masih terasa sakit, Kenzie memaksakan dirinya berlari ke utara, menuju hutan belantara. Akan tetapi, ia tidak akan kembali ke gua, melainkan ke arah lain, sebuah tempat yang pernah ia gunakan untuk merenung serta menyendiri. Di perbatasan desa, ia melihat hamparan mayat, membuat hatinya kian sesak. Kendati demikian, ia harus menerima kenyataan mengerikan tersebut. Hingga sampailah Kenzie di tempat tujuan. Ia duduk bersandar di sebatang pohon sambil menatap kosong ke depan. Ia pun mengambil batu kerikil, lalu melemparkannya ke sungai di depannya. Kini ia sungguh frustasi, tak tahu harus berbuat apa lagi. “Sebenarnya, apa yang terjadi padaku?” kata Kenzie, pelan, sembari menengadah, menatap langit berbintang. “Jikalau ini mimpi, cepat bangunkan aku ....” Air matanya terus saja menetes membasuh kedua pipinya. Sekujur tubuh Kenzie lemas, tak dapat lagi melakukan apa-apa. Ia pun sudah tak mau peduli kalau para siluman menangkap dan membunuhnya, sebab hari ini ia kehilangan semuanya. Ibunya tewas, desa hancur, dan penduduk desa juga telah tewas tanpa sisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD