Chapter 18 : Seseorang

1133 Words
Terus berjalan menyusuri ngarai, sejenak Kenzie berhenti, menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh. Ia menempelkan tangan kanannya ke tebing ngarai, sementara Kyra sontak menyangga pemuda itu. “Bertahanlah, Kenzie ...,” ucap Kyra, khawatir. “Aku tak apa, Kyra,” jawab Kenzie, sembari menyeimbangkan tubuh. Tiba-tiba, saat Kenzie menekan-nekan tebing di sebelahnya, ia merasakan keanehan. Ia pun tidak beranjak dari sana, lalu mengetuk dinding tersebut. “Ke mana kita akan pergi sekarang?” Vani bertanya. “Ssstt ....” Kenzie memerintahkan Vani untuk diam. “Sepertinya ini adalah pintu.” “Sungguh?” Serentak Kyra dan Vani terkejut. Kenzie mengetuk dinding itu lagi, dan terdengar suara seperti pintu yang sedang diketuk. “Tidak salah lagi!” Mendengar suara tersebut, Kenzie tentu menjadi sangat yakin dengan pemikirannya tadi. “Cepat buka pintu itu!” Langsung saja Vani mendesak. Kenzie perlahan-lahan mendorong pintu itu, tetapi ternyata tak dapat dibuka. Agar dapat membukanya, tanpa ragu ia mengeluarkan pedang. Namun, mendadak pintu tersebut terbuka, lalu keluar seorang pemuda bermata biru, rambut biru panjang, tingginya sedikit lebih pendek dari Kenzie. Sontak Kenzie menghunuskan pedangnya ke depan karena terkejut. Akan tetapi, tiba-tiba saja, tanpa Kenzie sadari, pemuda tadi telah berada di belakangnya sambil menghunuskan pedang pendek ke lehernya. “Jangan bergerak! Atau pedang ini akan memotong lehermu!” ucap si pemuda, tenang. Tentu saja ini membuat Kenzie, Kyra, dan Vani langsung terdiam mematung. Kenzie sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi, sebab sebuah pedang pendek terarah tepat ke lehernya. Ia bahkan sampai berkeringat dingin. “Sa ... santailah, Bung ....” Vani mengangkat kedua tangan, berkata dengan pelan. Pemuda berambut panjang tadi lantas mengalihkan pandangannya ke arah Vani. Wajahnya begitu datar, tidak memperlihatkan ekspresi apa pun. “Siapa kalian? Apa urusan kalian kemari?” tanyanya. “Kami dikejar oleh para siluman, lalu berakhir di sini,” Kenzie menjawab. “Aku secara tidak sengaja menemukan pintu ini, dan ingin bersembunyi di sini.” Setelah sejenak melirik Kenzie, Kyra, dan Vani secara bergantian, pemuda tadi menurunkan pedangnya, kemudian berdiri di depan Kenzie. “Baiklah, sepertinya kalian juga manusia. Ikutlah denganku, kalian akan aman bersama dengan kami.” Pemuda itu pun masuk ke dalam lorong. “Kami?” Meski kebingungan, tetap saja Kenzie mengikuti pemuda tadi masuk ke dalam lorong, bersama dengan Kyra dan Vani. Setelah masuk, Kenzie berhenti sejenak, menunggu pemuda tadi—yang kini tengah menutup pintu. Usai pintu ditutup, mendadak obor-obor di dinding menyala, menerangi tempat ini. “Sekarang katakan, siapa kalian?” tanya si pemuda. “Aku Kenzie,” Kenzie menjawab, kemudian menunjuk dua temannya secara bergantian, “Dia Kyra, dan dia adalah Vani.” “Aku Kyra.” “Panggil saja aku Vani.” Ekspresi wajah si pemuda masih tetap saja datar. “Baiklah. Aku adalah Zidan.” “Senang bertemu denganmu, Zidan ....” Sebelum Kenzie dapat berjabat tangan dengan Zidan, kondisinya tiba-tiba memburuk, dan ia pun jatuh tak sadarkan diri. “Kenzie?!” Sontak Kyra menangkap Kenzie sebelum jatuh ke tanah. Bukan hanya Kenzie, tetapi Vani juga seketika ambruk, jatuh berlutut di tanah. Keringat mengucur deras membasuh habis sekujur tubuh gadis tersebut. “Haah ... haah ... tampaknya kekuatanku benar-benar sudah habis,” ucap Vani. “Bertahanlah, Vani ....” Kyra lantas memalingkan pandangannya ke arah Vani. Tidak terlalu peduli dengan keadaan, Zidan berjalan santai, kemudian berjalan menyusuri lorong, hendak mencari bantuan. “Tunggulah di sini. Aku akan mencari pertolongan,” kata Zidan sembari terus berjalan. Beberapa saat kemudian, Zidan kembali bersama dengan dua gadis muda kembar yang membawa tas kecil. Atas perintah Zidan, kedua gadis itu masing-masing duduk di sebelah Vani dan Kenzie. Mereka lantas membuka tas mereka, mengeluarkan kertas yang sudah digambari lingkaran sihir berwarna hijau. “Pulihkan mereka, Ceri, Cira,” ucap Zidan, memerintah kedua gadis yang ia bawa tadi. “Hm!” Serentak kedua gadis itu mengangguk, lalu menempelkan kertas di tangan mereka ke kening Vani dan Kenzie. Cahaya hijau lantas menyelimuti kedua orang itu, tetapi Ceri dan Cira tidak langsung meninggalkan mereka, melainkan mengecek denyut nadi mereka. Zidan terus memerhatikan dengan saksama, ia terlihat sangat hati-hati dan tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Bola mata birunya menerawang sekitar, sejenak ia terfokus pada Kyra, tetapi sesaat kemudian pandangannya teralih ke arah lain. Ia memandang langit-langit, lalu melirik Ceri dan Cira secara bergantian. Tak lama berselang, cahaya hijau yang menyelimuti tubuh Kenzie dan Vani memudar. Ceri dan Cira pun mengusap keringat di kening, kemudian bangkit berdiri. “Laki-laki itu sudah tak apa. Dia akan sadar setelah istirahat selama beberapa waktu,” ucap Ceri pada Kyra. “Fiuh ... baguslah kalau begitu.” Akhirnya Kyra dapat bernapas lega. “Istirahatlah dengan baik, tenagamu pasti akan pulih segera,” kata Cira untuk menenangkan Vani. Vani tersenyum sesaat, kemudian menghela napas panjang. Tenaganya memang tengah pulih perlahan-lahan sekarang, tetapi tidak seketika pulih begitu saja. “Terima kasih ...,” ucap Vani, tulus. “Baiklah, karena kondisi kalian sudah tidak apa-apa, beristirahatlah sejenak di sini sampai Kenzie sadar. Setelah itu, aku akan menemui kalian lagi nanti.” Zidan lantas memalingkan pandangan ke arah Ceri. “Ceri, berikan mereka beberapa potong roti, kemudian kita pergi dari sini.” “Baik.” Tanpa basa-basi, langsung saja Ceri mengambil tiga potong roti di dalam tasnya, lalu memberikannya pada Kyra. “Ambillah.” “Oke, kita kembali ....” Zidan berbalik, hendak pergi dari sini. Namun, Cira menghentikannya. “Tuan, apakah kita akan membiarkan mereka di sini saja? Tidakkah kita bisa membawa mereka ke perkemahan bersama dengan kita?” kata Cira. “Tidak perlu terburu-buru. Di sini cukup aman, mereka akan baik-baik saja.” Sejenak Zidan melirik Kenzie dan Kyra. “Aku akan memastikannya sekali lagi setelah mereka benar-benar pulih, baru akan mengambil keputusan.” Kyra dan Vani hanya diam, tidak menanggapi agar mereka tak mendapatkan masalah baru. Sepertinya saat ini mereka diharuskan untuk menurut jika tetap ingin aman. Cira menundukkan kepala, tidak dapat membantah kata-kata Zidan. Demikian pula dengan Ceri, gadis itu hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. “Sudahlah, mari kita pergi dari sini.” Tanpa berlama-lama lagi, Zidan lanjut berjalan. “Tenang saja. Aku akan memastikan mereka aman dengan kedua mataku!” Akhirnya Ceri dan Cira berjalan di belakang Zidan tanpa mengatakan apa pun. Keduanya terus diam, karena tak tahu harus berkata apalagi. Dan mereka juga tahu, kalau Zidan pasti akan menepati kata-katanya. Oleh sebab itu, mereka bisa tenang sekarang ini. Selama berjalan di lorong, suasana begitu hening, hanya suara tapakan kaki yang terdengar oleh telinga. Zidan terus berjalan dengan perlahan, tentu saja ekspresi wajahnya tak pernah sekali pun berubah. Datar layaknya tembok. Saat sudah cukup jauh dari Kenzie dan teman-temannya, tiba-tiba Zidan berkata, “Apa kalian tahu kenapa aku tidak mengizinkan mereka ikut dengan kita?” Ceri dan Cira saling bertukar pandang, kemudian menjawab bersamaan, “Tidak tahu, Tuan.” “Sudahlah kalau tidak tahu.” Tanpa menambah keterangan apa pun lagi, Zidan lanjut berjalan ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD