TUJUH

1016 Words
Meta terdiam di depan pintu ruang rawat inap Yanti – pemilik sekaligus pengasuh panti asuhan tempat Meta di rawat semenjak kecil. Ia terus saja meremas jemarinya, gentar melangkah, tak kuasa menahan rasa takut akan banyak hal yang harus ia hadapi begitu ia membuka pintu di hadapannya. "Ta..." panggil Ian pelan. Meta memalingkan wajahnya, menatap Ian, mencari sedikit saja ketenangan dari sorot hangat pemuda yang menempati hatinya. Ia meniadakan jarak dengan Ian, menyandarkan keningnya di d**a Ian. Ian tergugu, rasa kasih dan iba selalu saja menggerogoti relung asa kala bersama Meta. Ian mengangkat tangannya, merengkuh Meta dan menepuk pelan punggung perempuan yang disayanginya itu. "Mau keluar dulu nenangin diri?" tanya Ian. Meta menggeleng lemah. "Meta takut, Yan..." lirihnya. "Ada aku kan, aku temani." Meta menarik dirinya, menatap Ian kembali. Pemuda itu mengangkat kedua tangannya, mengusap lembut wajah Meta, menghapus air mata yang membasahi pipi Meta. "Udah dulu nangisnya, nanti Ibu makin sakit lihat kamu sedih." "Aku ga pernah ngabarin Ibu, Yan..." Ian terdiam. Selama ini, ia kira semua orang sengaja menyembunyikan keberadaan Meta. Berkali–kali ia bertanya ke Yanti dan anak–anak panti lainnya, tak satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan Meta. Hingga pada satu titik, setelah lelah mencari, akhirnya Ian pasrah, berpikir mungkin Meta memang tak pernah mencintainya, tak pernah ingin bersamanya. "Kalau kamu jelasin, Ibu pasti ngerti, Ta." Ucap Ian tulus. Ian tak tahu harus berkata apa lagi. Bahkan untuk bertanya apa yang terjadi saat mereka tak terpisah - pun Ian tak sanggup. Ian mengangguk. Tersenyum tulus. Memberikan dukungan sepenuh hati pada Meta. Meta memutar kembali tubuhnya, menghadap daun pintu. Ia mengetuk ragu pintu itu beberapa kali, hingga sahutan dari dalam pun terdengar. "Ibu..." "Ya Allah, anak Ibu... Meta..." Lirih Yanti, lemah. Yanti terisak, merentangkan kedua tangannya, menyambut Meta yang menghambur ke dalam pelukannya. "Maafin Meta, Bu..." Yanti tergugu, air mata terus mengalir dari kedua netranya. Rindu, ia begitu rindu pada perempuan yang sudah ia anggap putrinya sendiri. Berkali–kali ia berusaha mencarinya, tapi entah dimana, Meta seperti ditelan bumi. Hanya secarik surat yang Meta tinggalkan sebelum kepergiannya, meminta agar ia menjaga dirinya dan tak mencari putrinya itu. "Sudah, jangan menangis terus. Nanti kamu jadi jelek." Ucap Yanti. "Ibu maafin Meta?" "Iya, nak. Ibu percaya kamu punya alasan meninggalkan kami. Ibu hanya... hanya... rindu..." isak Yanti. Meta mencium tangan Yanti berkali–kali. Memohon ampun pada wanita yang sudah merawatnya itu. Beberapa saat, mereka hanya saling menatap, Yanti terus mengusap lembut helaian rambut Meta, sementara Meta tak melepaskan genggamannya di tangan Yanti. "Bu... Meta pergi karena Meta malu..." lirih Meta akhirnya. Yanti menatap pilu pada putrinya itu. "Apa yang terjadi, nak?" Meta menegakkan tubuhnya, menatap mata Yanti lekat. Yanti hanya bisa melihat kegetiran di netra Meta. "Meta harap Ibu bisa maafin Meta. Meta ga apa–apa kalau Ibu ga mau kenal Meta lagi. Tapi Meta harap Ibu bisa memaafkan Meta." "Ada apa ini, nak? Ibu ga ngerti." Ian menarik satu kursi yang ia pinjam dari bed ranap di samping Yanti, meletakkan kursi itu di samping kursi yang Meta duduki. Ian duduk di samping Meta, menarik satu tangan Meta dari genggaman Yanti dan menggenggamnya. Erat. "Dulu, Meta pacaran dengan Arman, Bu... Teman sekolah Meta juga. Awalnya hubungan kami baik–baik saja, hanya Arman beberapa kali keterlaluan mencumbu Meta, dan Meta ga suka. Sampai waktu ulang tahunnya, dia minta Meta datang ke rumahnya. Waktu itu juga ada beberapa orang teman Arman. Meta ga tau apa yang terjadi, saat Meta sadar, Meta ada di kamar Arman." Meta tak mampu menahan isaknya. Yanti menutup mulutnya, menahan isak yang juga menyembur dengan sendirinya. "Meta ketakutan, Bu... Meta masih ingin melanjutkan kuliah. Meta tau Meta bukan anak baik, tapi Meta ga mau hidup dalam kesulitan terus menerus. Dan jalan satu–satunya Meta harus punya pendidikan yang bagus. Tapi hari itu semua yang Meta lakukan rasanya ga ada gunanya. Meta marah sama Arman, Arman ga terima dan memutuskan Meta begitu saja. Meta takut Bu." Meta terus menangis. Ian merangkulnya, berusaha memberikan kekuatan sedikit saja pada Meta. "Ian... Ian udah sering bilang sama Meta jangan pacaran sama Arman. Tapi Meta ga mau dengar Ian. Meta marah sama Ian. Sebelumnya Meta suka sama Ian, tapi Ian seakan ga perduli dengan perasaan Meta. Setelah Meta pacaran dengan Arman, baru Ian perduli. Meta marah Bu, saat itu Meta marah sama Ian, makanya Meta ga mau dengar apapun yang Ian peringatkan." Ian menatap Meta, tak menyangka dengan pengakuan yang baru saja ia dengar. "Sampai akhirnya Meta sadar kalau haid Meta telat. Meta cek dan ternyata Meta hamil. Meta pergi ke rumah Arman, tapi ga sampai ngasih tau ke Arman. Karena begitu Meta sampai sana, yang Meta lihat, teman Meta sendiri Bu, nyaris telanjang di rumah Arman." Yanti benar–benar terdiam. Bahkan air mata yang sedari tadi mengalir seperti berhenti begitu saja. Digantikan dengan raut amarah di wajahnya. "Di mana anakmu sekarang?" tanyanya berusaha setenang mungkin. Kedua tangannya sudah mengepal erat, buku–bukunya turut memutih. "Pulang dari rumah Arman, Meta pergi ke rumah Ian, Meta kalut. Perut Meta waktu itu sakit luar biasa. Meta merasa ada yang mengalir di kedua kaki Meta, dan setelahnya Meta ga sadar. Waktu sadar, Meta sudah di rumah sakit. Meta keguguran, Bu." Yanti memejamkan matanya, menghirup nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Kenapa kamu ga bilang Ibu, Yan?" "Meta yang minta, Bu..." lirih Meta. "Meta yang mengancam Ian untuk ga bilang Ibu. Meta bilang, Meta yang akan cerita sendiri." Lanjut Meta lagi. "Mami dan Papi Ian tau?" Meta mengangguk. Yanti terisak kembali. Marah. Pedih. Terluka. Kecewa. "Karena Ibu habis marah sama kamu makanya kamu ga mau cerita ke Ibu?" Meta tergugu. Hanya terus menangis dan menunduk. "Maafin Ibu, nak. Ibu sadar Ibu kelewatan pagi itu. Harusnya Ibu ga melampiaskan amarah Ibu ke kamu." "Ibu ga salah. Meta tau beban Ibu terlalu banyak, mengurus banyak anak pasti ga mudah buat Ibu. Saat itu yang Meta pikir, Meta cuma ga mau bikin Ibu malu. Cepat atau lambat kalau Meta masih di sana, pasti akan ada kabar yang tercium." "Dan kamu memutuskan sendiri untuk pergi? Dimana kamu selama ini, nak? Apa lagi-lagi hanya Ibu yang tidak tau keberadaanmu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD