Sinar fajar di Seoul berwarna abu-abu baja. Cahaya itu menembus jendela setinggi langit-langit, membelah apartemen penthouse yang luas dan sunyi menjadi dua bagian—setengah terang, setengah bayangan. Di dalam keheningan yang nyaris absolut itu, Kwon Jin-hyuk terbangun. Bukan karena alarm. Ia tidak butuh alarm. Tubuhnya adalah mesin yang telah diprogram untuk memulai hari pada pukul 05:30 pagi. Tepat.
Ia duduk di tepi tempat tidurnya yang berukuran king-size, sprei berwarna arang tertata rapi seolah tak pernah tersentuh. Matanya menatap lurus ke cakrawala kota yang mulai menggeliat. Dari lantai enam puluh, gedung-gedung pencakar langit lainnya tampak seperti barisan tombak yang menusuk langit, sebuah hutan beton yang menjadi wilayah kekuasaannya. Tidak ada foto di nakasnya. Tidak ada benda-benda personal yang berantakan. Hanya sebuah jam digital, sebuah lampu baca minimalis, dan segelas air.
Dengan gerakan yang efisien, ia memulai ritual paginya. Lima belas menit peregangan, tiga puluh menit di atas treadmill yang menghadap ke pemandangan kota, diikuti dengan mandi air dingin. Semuanya dihitung, setiap detik memiliki tujuan. Saat ia berjalan melintasi ruang tamunya yang sangat luas untuk menuju dapur, langkahnya tidak menghasilkan gema. Perabotan berwarna monokrom dan karpet tebal meredam semua suara. Ruangan itu lebih terasa seperti lobi hotel mewah yang steril daripada sebuah rumah.
Di sudut ruangan, di bawah sorotan lampu temaram, berdiri sebuah objek yang tidak pada tempatnya: sebuah grand piano Fazioli berwarna hitam legam. Namun, keindahannya tersembunyi di balik kain penutup anti-debu berwarna kelabu yang menjuntai hingga ke lantai. Jin-hyuk melewatinya setiap hari, namun tatapannya selalu menghindar, seolah piano itu adalah sebuah makam dari seseorang yang pernah ia kenal. Sebuah monumen dari mimpi yang telah ia putuskan untuk dikubur.
Sarapannya adalah kopi hitam tanpa gula dan sepotong roti gandum panggang. Ia membacanya berita bisnis global di tabletnya, otaknya sudah memproses data, menganalisis tren pasar, dan menyusun strategi bahkan sebelum matahari terbit sepenuhnya. Emosi adalah kemewahan yang tidak ia miliki. Pagi harinya adalah tentang persiapan untuk perang.
Perang itu dimulai pukul delapan pagi di kantor pusat K-Beverages. Saat Kwon Jin-hyuk melangkah keluar dari lift pribadinya, gelombang keheningan seolah menyebar di lantai eksekutif. Para pegawai yang tadinya bercakap-cakap di dekat pantry langsung membubarkan diri. Mereka yang berjalan di koridor menundukkan kepala dan mempercepat langkah. Kehadirannya adalah sebuah pengumuman tak bersuara bahwa waktu bermain telah usai.
Rapat pertamanya adalah dengan tim pemasaran. Di layar besar, terpampang draf kampanye iklan untuk produk teh herbal baru mereka. Konsepnya ceria, dengan warna-warna pastel dan model yang tersenyum bahagia di taman bunga.
Jin-hyuk menatap layar itu selama tiga puluh detik dalam diam. Manajer tim pemasaran, seorang wanita bernama Nyonya Ahn, mulai berkeringat dingin.
“Nyonya Ahn,” suara Jin-hyuk memecah keheningan, terdengar tenang namun mematikan. “Warna hijau mint dengan kode #A2E4B8 ini memiliki asosiasi psikologis dengan ketenangan. Tapi produk kita mengandung ginseng yang bertujuan untuk memberi energi. Ini kontradiksi. Slogan Anda, ‘Ketenangan dalam Setiap Tetes’, secara fundamental salah sasaran dengan target demografi kita yaitu pekerja muda usia 25-35 yang butuh penambah stamina.”
“Tapi, Daepyo-nim…* kami ingin memberikan kesan yang menyegarkan…”
“Menyegarkan tidak sama dengan menenangkan,” potong Jin-hyuk. “Data riset kita menunjukkan target pasar merespons warna oranye dan kuning gading dengan asosiasi energi dan vitalitas. Kenapa data itu tidak digunakan? Apakah tim Anda tidak membaca laporan setebal dua ratus halaman yang saya minta?”
Wajah Nyonya Ahn memerah. “Kami membacanya, Daepyo-nim. Tapi kami pikir pendekatan artistik…”
“Saya tidak membayar tim pemasaran untuk pendekatan artistik yang mengabaikan data,” kata Jin-hyuk, matanya sedingin es. “Saya membayar kalian untuk hasil. Ulangi semuanya. Saya mau tiga konsep baru di meja saya besok pagi pukul sembilan. Gunakan data yang ada.”
Ia berdiri, tidak memberikan ruang untuk bantahan. “Rapat selesai.”
Sekretaris Cha Sung-jin, yang berdiri diam di belakangnya, sedikit membungkukkan badan pada tim pemasaran yang tampak hancur saat Jin-hyuk melangkah keluar.
Rapat berikutnya adalah dengan tim R&D. Sebuah sampel minuman baru disajikan di hadapannya dalam gelas laboratorium. Jin-hyuk mengangkatnya ke cahaya, mengamati viskositasnya, lalu menyesapnya sedikit, membiarkan cairan itu menyentuh setiap bagian lidahnya sebelum menelannya.
“Rasa manis buatan ini bertahan 3.2 detik di pangkal lidah,” katanya tanpa menatap siapa pun. “Tidak bisa diterima. Turunkan hingga di bawah 2 detik. Tingkat keasamannya kurang 0.5 poin untuk menyeimbangkan rasa goji berry. Dan kenapa teksturnya sedikit lebih kental dari prototipe sebelumnya? Ini akan meninggalkan residu yang tidak menyenangkan di mulut.”
Kepala tim R&D, seorang pria tua yang sudah bekerja di perusahaan itu sejak zaman kakeknya, hanya bisa menunduk. “Baik, Daepyo-nim. Akan kami perbaiki.”
Bagi Kwon Jin-hyuk, ini bukan kekejaman. Ini adalah efisiensi. Perasaan dan selera artistik adalah hal yang subjektif dan berbahaya. Angka, data, dan presisi adalah satu-satunya kebenaran. Ia adalah seorang ahli bedah bagi perusahaannya, memotong setiap bagian yang tidak efisien dan setiap sel yang tidak produktif tanpa ragu. Ia tahu para pegawainya membencinya sekaligus menghormatinya. Ia tidak peduli. Ia tidak di sini untuk mencari teman. Ia di sini untuk menang.
Sore harinya, di dalam kantornya yang luas dan sunyi, ia menatap keluar jendela. Sekretaris Cha masuk dan meletakkan secangkir teh ginseng di mejanya.
“Tim Pemasaran terlihat sangat tertekan, Daepyo-nim,” kata Sekretaris Cha hati-hati, satu-satunya orang yang berani berbicara sedikit lebih bebas padanya.
“Tekanan menghasilkan berlian atau debu, Sekretaris Cha. Kita akan lihat besok mereka terbuat dari apa,” jawab Jin-hyuk tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.
“Tentu saja, Daepyo-nim.” Sekretaris Cha tahu tidak ada gunanya berdebat. Ia hanya meletakkan sebuah tablet di meja. “Informasi yang diminta oleh Nyonya Besar.”
Saat itulah telepon di mejanya berdering—jalur pribadi yang hanya diketahui oleh keluarganya. Jin-hyuk melirik ID pemanggil. Eomma. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Ya, Eomma.”
“Jin-hyuk-ah,” suara ibunya terdengar, seperti biasa, anggun namun penuh tuntutan. “Aku harap kau tidak lupa makan malam hari Jumat.”
Jin-hyuk memutar kursinya, kini menatap dinding kosong di hadapannya. “Aku tidak mungkin lupa.”
“Bagus. Keluarga Yoon sangat menantikannya. Ayahmu sudah berbicara dengan Pimpinan Yoon, dan mereka sangat antusias dengan prospek ini. Putri mereka, Yoon Seo-ah, adalah gadis yang sempurna. Lulusan sekolah seni di Swiss, sopan, dan latar belakang keluarganya akan memperkuat posisi kita untuk mengambil alih distribusi di Department Store Seoryu.”
Yoon Seo-ah. Kandidat pertama. Jin-hyuk sudah melihat profilnya. Foto seorang gadis dengan senyum malu-malu dan tatapan mata kosong. Sempurna. Terlalu sempurna. Seperti sebuah boneka porselen yang mahal.
“Aku akan datang,” jawab Jin-hyuk singkat.
“Pastikan kau datang. Jangan membuat alasan pekerjaan. Ini lebih penting dari pekerjaan apa pun saat ini. Ulang tahunmu semakin dekat, Jin-hyuk. Wasiat Harabeoji tidak bisa ditawar.”
Panggilan itu berakhir. Jin-hyuk meletakkan gagang telepon dengan pelan. Keheningan di kantornya terasa semakin pekat, semakin berat. Ia menatap gedung-gedung di luar yang mulai menyalakan lampunya, menciptakan lautan cahaya yang indah namun dingin.
Ia adalah raja dari semua yang ia lihat. Namun, ia hanyalah seorang pion dalam permainan catur yang sudah dirancang oleh kakeknya bahkan dari dalam kubur. Makan malam hari Jumat ini bukanlah sebuah perkenalan, melainkan sebuah inspeksi. Sebuah penilaian aset. Dan ia, Kwon Jin-hyuk, adalah salah satu aset yang sedang dinilai, sama seperti gadis bernama Yoon Seo-ah itu. Ia merasa muak.
***
Catatan (Notes):
Daepyo-nim (대표님): Panggilan hormat untuk CEO atau pimpinan tertinggi sebuah perusahaan.
Eomma (엄마): Panggilan informal untuk "Ibu".
Harabeoji (할아버지): Panggilan untuk "Kakek".