Malam Memalukan

1442 Words
Malam hari di Gangnam, udara terasa mahal. Restoran hanjeongsik bintang tiga itu tidak memiliki papan nama yang mencolok, hanya sebuah gerbang kayu kuno yang dijaga oleh dua pria berjas hitam. Masuk ke dalamnya seperti memasuki dunia lain—sebuah dunia di mana gemerisik sutra dan denting sumpit perak adalah satu-satunya musik, dan setiap sudutnya dirancang untuk memancarkan keanggunan yang hening dan menindas. Kwon Jin-hyuk sudah duduk di dalam ruang privat tatami, bersila dengan punggung lurus sempurna. Ia merasa seperti sedang berada di dalam sebuah diorama yang dipajang di museum—semuanya indah, tertata, dan tidak bernyawa. Ayah dan ibunya duduk di sisinya, wajah mereka dipoles dengan senyum korporat yang tidak mencapai mata. Bagi Jin-hyuk, makan malam ini adalah sebuah formalitas yang menyebalkan. Pintu geser ruangan itu terbuka tanpa suara. Pimpinan Yoon dari Seoryu Group masuk, diikuti oleh istrinya, dan di belakang mereka, berjalan dengan langkah-langkah kecil yang terukur, adalah Yoon Seo-ah. Jin-hyuk mengangkat pandangannya sekilas, hanya untuk formalitas. Analisisnya cepat dan dingin, seperti otaknya memproses laporan keuangan. Aset: penampilan fisik di atas rata-rata. Postur: dilatih dengan baik. Ekspresi: submisif, mudah dikendalikan. Ia melihat gadis itu—rambut hitamnya yang tergerai sempurna, gaun berwarna gading yang mahal, senyum tipis yang tampak rapuh—dan otaknya langsung memberikan kesimpulan: memenuhi spesifikasi visual, namun tidak menunjukkan potensi kemitraan strategis. Ia langsung kehilangan minat. Basa-basi dimulai, sebuah ritual yang sudah ia hafal di luar kepala. Para orang tua saling memuji pencapaian anak-anak mereka seolah sedang memamerkan kuda pacu juara. Jin-hyuk hanya memberikan jawaban satu atau dua kata saat namanya disebut, sementara matanya lebih sering menatap pola kayu di atas meja daripada wajah orang-orang di hadapannya. Ia sesekali melirik ke seberang meja, ke arah Yoon Seo-ah. Gadis itu nyaris tidak bergerak. Ia duduk dengan punggung lurus, tangan di atas pangkuan, dan hanya mengangkat kepalanya sedikit saat namanya disebut. Jin-hyuk bisa melihat getaran halus di tangan gadis itu saat ia menuangkan teh untuk ayahnya. Ia juga menangkap momen saat mata mereka tanpa sengaja bertemu, dan pipi gadis itu langsung merona sebelum ia cepat-cepat menunduk lagi. Jin-hyuk tidak mengartikannya sebagai ketertarikan. Ia mengartikannya sebagai kelemahan. Kurang percaya diri. Sebuah sifat yang tidak ia tolerir, baik dalam bisnis maupun dalam hal lain. Pikirannya sudah melayang ke proposal akuisisi perusahaan minuman di Vietnam yang harus ia tinjau besok. Makanan mulai disajikan, hidangan-hidangan kecil yang tampak seperti karya seni. Percakapan para ayah beralih ke topik yang sesungguhnya: bisnis. “Saya dengar K-Beverages akan meluncurkan lini produk baru untuk pasar Tiongkok,” kata Pimpinan Yoon. “Benar,” jawab ayah Jin-hyuk. “Jin-hyuk sendiri yang memimpin risetnya.” “Seoryu Department Store akan membuka tiga cabang baru di Shanghai dan Beijing tahun depan. Mungkin akan ada sinergi yang bagus di sana,” Pimpinan Yoon menatap langsung ke arah Jin-hyuk. Ini adalah isyaratnya. Jin-hyuk meletakkan sumpitnya. “Tentu, Pimpinan Yoon. Dengan jangkauan distribusi Seoryu, penetrasi pasar kita bisa dipercepat hingga 40% di kuartal pertama. Ini akan menjadi kerja sama yang saling menguntungkan.” Jawabannya tajam, akurat, dan dingin. Di seberang meja, Seo-ah menatapnya, matanya sedikit melebar. Ada kilatan kekaguman yang tak bisa disembunyikan di sana. Jin-hyuk melihatnya, namun tidak merasakan apa-apa. Pujian dan kekaguman adalah hal yang ia terima setiap hari. Itu tidak lebih dari sekadar data. Di dalam hati Yoon Seo-ah, sebuah badai sedang bergejolak. Ia sudah mengagumi Kwon Jin-hyuk dari jauh. Ia membaca semua artikel tentangnya, tentang bagaimana ia menyelamatkan perusahaan keluarganya di usia muda. Baginya, pria di hadapannya ini adalah perwujudan dari kekuatan dan kecerdasan. Dan sekarang ia duduk di sini, di hadapannya. Setiap kata yang keluar dari mulut pria itu terdengar begitu berkuasa. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia takut orang lain bisa mendengarnya. Katakan sesuatu, jerit sebuah suara di dalam kepalanya. Katakan sesuatu yang cerdas. Buat dia terkesan! Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah keheningan. Ia terlalu takut, terlalu terintimidasi oleh aura dingin pria itu. “Kami para orang tua sepertinya harus membahas beberapa hal di ruang sebelah,” suara ibu Jin-hyuk memecah lamunan semua orang. “Kalian mengobrol saja dulu, ya? Saling mengenal lebih jauh.” Pintu geser tertutup, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang pekat. Bagi Seo-ah, ini adalah momen penentu. Bagi Jin-hyuk, ini adalah siksaan. Ia sama sekali tidak berniat memulai percakapan. Dengan gerakan yang menunjukkan ketidakpedulian total, ia mengeluarkan ponselnya dan mulai memeriksa email. Seo-ah merasa pipinya memanas. Pria itu lebih memilih ponselnya. Tidak apa-apa, Seo-ah. Mungkin dia hanya pemalu, bujuknya pada dirinya sendiri, sebuah kebohongan yang jelas. Dengan seluruh keberanian yang bisa ia kumpulkan, ia memulai percobaan pertamanya. “Saya… saya dengar peluncuran produk baru Anda sangat sukses, Jin-hyuk-ssi,” ucapnya, suaranya nyaris berbisik. Jin-hyuk mengangkat pandangannya dari ponsel, menatapnya sekilas. “Gamsahamnida.” (Terima kasih.) Hanya itu. Ia langsung kembali menatap layar ponselnya. Dinding penolakan itu begitu tebal dan tinggi. Seo-ah menelan ludah, rasa malu mulai merayap di tenggorokannya. Ia mencoba lagi. Percobaan kedua. Kali ini topik yang lebih personal. “Apakah… apakah Anda punya hobi di luar pekerjaan, Jin-hyuk-ssi?” Kali ini Jin-hyuk bahkan tidak mengangkat kepalanya. “Pekerjaan,” jawabnya singkat. Gagal total. Keheningan kembali menyelimuti mereka, terasa lebih berat dari sebelumnya. Seo-ah bisa merasakan jantungnya menciut. Ia menatap hidangan di atas meja—sup sinseollo yang masih mengepulkan uap, kimchi yang berwarna merah cerah, berbagai macam banchan yang ditata dengan indah. Makanan. Ya, makanan adalah topik yang aman. Percobaan ketiga. “Supnya… supnya terlihat lezat, ya?” katanya dengan suara yang bergetar. Jin-hyuk hanya mengeluarkan gumaman persetujuan yang samar, jarinya masih sibuk mengetik di atas layar. Cukup sudah. Seo-ah menyerah. Rasa malu ini sudah tak tertahankan. Ia merasa seperti orang paling bodoh di dunia. Ia harus keluar dari ruangan ini sekarang juga. Dengan pipi yang terasa seperti terbakar, ia memutuskan untuk kabur dengan alasan paling klasik. “Permisi, Jin-hyuk-ssi,” katanya, suaranya kini sedikit lebih keras karena panik. “Saya… saya permisi ke kamar kecil sebentar.” Jin-hyuk hanya mengangguk kecil, masih tanpa menatapnya. Dengan perasaan lega karena akan segera terbebas, Seo-ah berusaha untuk berdiri. Namun, ia lupa satu hal. Ia sudah duduk bersila di atas bantal tatami selama hampir dua jam. Saat ia mencoba menegakkan tubuhnya, kedua kakinya yang kesemutan hebat menolak untuk bekerja sama. “Oh!” pekiknya pelan saat tubuhnya kehilangan keseimbangan. Refleksnya mengambil alih. Ia mencoba berpegangan pada sesuatu untuk menstabilkan diri. Satu-satunya hal yang bisa ia jangkau adalah tepi meja mahoni yang rendah di depannya. Sebuah keputusan yang fatal. Tangannya yang panik mendarat di atas permukaan meja yang licin. Bukannya menjadi tumpuan, tangannya justru tergelincir. Tubuhnya terdorong ke depan, menciptakan efek domino yang mengerikan dan spektakuler. Lengannya yang lain menyenggol mangkuk porselen berisi sup sinseollo yang panas. Mangkuk itu terguling, menumpahkan kuah kaldu dan isiannya—jamur, bakso, jujube—ke seluruh permukaan meja. Tumpahan itu kemudian mendorong piring-piring banchan di dekatnya. Kimchi, acar lobak, bayam berbumbu, semuanya ikut meluncur dalam sebuah longsoran makanan yang tak terhindarkan. Dan di mana ujung dari longsoran itu? Tepat di pangkuan Kwon Jin-hyuk. Semuanya terjadi dalam gerakan lambat yang sureal. Jin-hyuk, yang baru saja mengangkat kepalanya karena mendengar pekikan Seo-ah, hanya bisa menatap dengan mata membelalak saat gelombang tsunami makanan Korea menerjang tubuhnya. PLASH! Kuah sup yang hangat membasahi kemeja putihnya yang seharga jutaan won, meninggalkan noda kekuningan yang besar. Sepotong kimchi mendarat dengan tidak sopan di dasi sutranya. Beberapa potong daging iga menempel di celana setelannya. Dan sebagai puncak dari bencana itu, sebuah teko berisi teh jelai dingin yang ikut tersenggol, menumpahkan sisa isinya tepat di atas kepalanya, membuat rambutnya yang tertata sempurna kini lepek dan meneteskan teh. Untuk pertama kalinya malam itu—bahkan mungkin sepanjang minggu itu—Kwon Jin-hyuk benar-benar tertegun. Topeng esnya retak, digantikan oleh ekspresi syok dan kebingungan total. Ia hanya duduk diam, menatap setelannya yang kini menjadi sebuah lukisan abstrak yang tragis. “YA TUHAN! MAAF! SAYA SANGAT MINTA MAAF!” jerit Seo-ah, wajahnya kini bukan lagi merah karena malu, tapi pucat karena horor. Ia meraih serbet kain di dekatnya dan dengan panik mencoba membersihkan jas Jin-hyuk, sebuah tindakan yang sia-sia dan justru membuat noda kuah sup semakin menyebar. Tepat pada saat itu, pintu geser ruangan terbuka. “Kami pikir kami mendengar ada suara…,” kata ibu Jin-hyuk, suaranya menghilang saat ia melihat pemandangan di hadapannya. Di sana, di tengah ruangan yang tadinya anggun, duduklah putranya yang sempurna, kini berlumuran makanan dari kepala hingga kaki. Di depannya, Yoon Seo-ah yang malang sedang menepuk-nepuk d**a Jin-hyuk dengan serbet basah sambil terus membungkuk dan meminta maaf. Dan di atas meja, terhampar sisa-sisa dari bencana kuliner itu. Pimpinan Yoon dan istrinya berdiri membeku di ambang pintu, mata mereka membelalak ngeri. Ayah Jin-hyuk hanya bisa membuka dan menutup mulutnya tanpa suara. Keheningan yang turun ke ruangan itu jauh lebih memekakkan daripada suara piring pecah sekalipun. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD