Esok pagi, terdengar suara burung berkicau di angkasa. Cahaya matahari menyinari bumi dengan senang hati. Hari ini tidak begitu cerah, awan tipis menutupi sebagian langit yang biru. Mungkin mengerti akan isi hati yang sedang gundah gulana.
Aku melangkah menuju pemakaman. Melewati jalan setapak. Jiwaku melayang ke mana-mana.
Tiba di pemakaman, ternyata suasananya masih sama seperti dua bulan yang lalu. Pagi yang indah. Angin bertiup dengan lembut. Aku membenamkan lutut di makam. Tangan mengusap nisannya. Rasanya seperti melihat Mas Hamdan.
“Maafkan aku, Mas. Mungkin untuk waktu lama, tak akan berkunjung ke sini. Aku akan pergi ke Ibu kota untuk meraih mimpi dan cita-cita. Percayalah, aku akan selalu mengingatmu di mana pun dan kapan pun,” gumamku sambil mengusap nisan Mas Hamdan.
Aku lalu bangkit secara perlahan dan meninggalkan makam. Mencoba ikhlas akan kepergian Mas Hamdan. Semoga saja setelah meninggalkan kota ini, aku bisa melupakan kenangan masa lalu.
***
Setelah dari makam aku pun bersiap-siap untuk berangkat menuju Ibu kota. Setelah berpamitan pada Mama dan Mas Evin aku pun berangkat. Sengaja pergi sendiri ke stasiun kereta. Belajar mandiri tanpa merepotkan orang lain.
Ini pertama kalinya, aku pergi ke luar kota seorang diri. Tiba di stasiun, aku segera masuk ke kereta. Tak lama kemudian, mesin diesel terdengar berdecit, tandanya mulai melaju. Perjalanan menuju Ibu kota begitu menyenangkan. Aku memandang keluar jendela, tampak pemandangan yang sangat indah. Sawah terlihat menguning di luar sana. Sungguh memesona. Sebentar lagi aku akan meninggalkan kota kecil yang penuh kenangan ini.
Entah bagaimana suasana di Ibu kota dan bagaimana kehidupan di sana. Tak ada sanak saudara atau siapa pun. Namun, keputusan sudah bulat, pergi meninggalkan kota penuh memori demi sebuah impian dan cita-cita.
Kereta terus melaju membelah rel. Pandanganku kosong keluar jendela. Mata terpejam karena dua jendela hati tak mampu lagi untuk tak menutup hari.
Aku tersentak kaget ketika seseorang yang duduk di sampingku menepuk pundak. Mengatakan jika kereta telah sampai. Aku langsung berdiri dan beranjak keluar. Aku menelan ludah. Pupil mata membesar ketika melihat suasana yang jauh berbeda dengan kota kelahiran. Stasiunnya saja sudah ramai begini. Bagaimana di luaran sana nanti?
Pertama kali yang harus kulakukan adalah mencari tempat tinggal. Dengan tergesa aku mencari taksi. Setelah menemukan, langsung menyebutkan tempat tujuan. Taksi melesat membelah jalanan Ibu kota.
Di dalam aku merenung sambil menatap keluar jendela. Aku berdecak kagum, terpesona dengan kondisi di luar. Menara-menara Ibu kota menjulang tinggi. Begitu pula dengan gedung-gedung pencakar langit, tampak berjejer di sepanjang jalan. Jalanan pun begitu padat. Kendaraan merangkak begitu rapatnya.
Di sinilah nasibku dipertaruhkan. Cita-cita dan kehidupan masa depan. Saat ini yang ada di pikiran hanyalah untuk mencapai impian agar bisa lebih baik. Masalah cinta, nantilah dipikir belakangan. Hatiku masih terkunci rapat dan diselungkupi kesedihan.
***
Hari pertama berada di Ibu kota sungguh terasa asing. Harus bisa beradaptasi dengan keramaian. Lalu lalang kendaraan masih saja memenuhi jalanan. Tak akan pernah ada habisnya.
Aku mulai mencari lamaran pekerjaan sambil menunggu waktu kuliah tiba. Bekerja apa saja dan di mana pun yang mau menerima lulusan SMA. Setiap tempat di sudut Ibu kota kudatangi, tapi selalu ditolak. Tak ada lowongan katanya. Sunggu mencari kerja di kota besar memang susah. Namun, aku tak menyerah, terus berusaha sekuat tenaga. Hari ini tak dapat, mungkin esok keberuntungan berpihak padaku.
Rutinitas harianku selalu sama, pagi berangkat sore pulang. Kadang kala bisa sampai malam. Keberhasilan belum berpihak padaku.
Aku sudah hampir putus asa. Seminggu sudah berada di sini, tapi tak kunjung mendapat pekerjaan yang layak. Uang semakin menipis dan seminggu lagi kuliah akan dimulai. Aku harus bagaimana? Memberi kabar pada mama dan meminta kiriman uang itu tak mungkin. Kasihan beliau. Aku pun sudah berjanji tidak akan merepotkannya.
Untuk biaya kuliah di semester awal tak perlu khawatir, karena mendapat beasiswa. Jika terus bisa mempertahankan nilai, maka akan terus mengalir beasiswa untukku. Yang menjadi beban pikiran adalah biaya hidup yang mahal. Aku mendesah pelan. Kegundahan menyelungkup hati.
Aku duduk di bangku trotoar. Melamun. Merenung. Memikirkan nasib takdir yang menimpa. Menyaksikan hingar bingar kendaraan di jalanan.
Cobaan datang bertubi-tubi, kehilangan orang yang kucinta, lalu susah mendapatkan pekerjaan. Sanggupkah menjalani kehidupan yang keras di kota asing seorang diri. Entahlah, aku tak tahu.
***
Berhari-hari aku sibuk mencari pekerjaan ke sana ke mari. Tanpa terduga ada yang memberi tawaran untuk bekerja di toko baju. Ya, setelah dipikir-pikir tak ada salahnya menerimanya. Daripada menganggur, lagipula itu halal. Rezeki selalu datang kapan saja. Entah, aku masih belum bisa percaya akan kebesaran Tuhan. Bagiku ini suatu kebetulan saja. Bertemu dengan seseorang yang baik yang memberiku jalan menerima rezeki.
Kehidupanku kini telah berubah, yang dulu semuanya selalu mengandalkan dan bergantung pada mama, sekarang harus serba sendiri, bangun pagi tak ada yang mengingatkan.
Rutinitas setiap hari selalu sama. Berangkat kuliah, lalu bekerja paruh waktu. Jika kuliah libur maka bisa bekerja sehari penuh. Untuk sementara ini hanya bekerja sebagai penjaga toko, tapi bagiku tidak masalah daripada menganggur, bukan? Masih bersyukur ada yang menerima bekerja di tempatnya. Bisa untuk bertahan hidup di Ibu kota. Siapa tahu nanti mendapat pekerjaan yang lebih baik dari sekarang.
Sesekali memberi kabar pada mama dan Mas Evin, supaya mereka tidak mengkhawatirkan keadaanku di sini. Mereka bangga padaku karena mampu bertahan cukup lama di rantau sebatang kara. Selama ini senantiasa mengandalkan orang lain. Keadaanlah yang membuat berubah, bisa menjadi lebih dewasa dan mandiri.
Di kampus pun tak memiliki teman, tak banyak yang mengenalku. Karena memang tak suka berbaur dengan mereka. Aktivitas terlalu padat. Tidak ada istilah bersenang-senang ataupun bersantai. Tidak punya waktu senggang untuk berleha-leha, karena bagiku waktu adalah uang. Selain itu memang sengaja menyibukkan diri agar bisa membuat sedikit melupakan Mas Hamdan.
Bagaimana bisa berbaur dengan mereka? Jika setelah selesai jam kuliah harus bekerja paruh waktu. Kalau tidak bekerja tidak mungkin bisa bertahan hidup. Membayar kos dan makan.
Bagi orang yang berkecukupan bahkan berlebihan harta, mungkin memang waktu itu tidak penting. Akan tetapi, menurutku sangat berharga, harus bisa memanfaatkan sebaik mungkin.
Banyak yang bilang aku seorang yang cupu dan kuper, tapi tak peduli dengan sebutan itu. Yang paling penting fokus menuntut ilmu.
Aku harus senantiasa meraih nilai IP tertinggi di akhir semester supaya beasiswa tidak dicabut. Jika dicabut akan menjadi malapetaka bagiku, karena tidak bisa melanjutkan kuliah. Aku bukanlah dari kalangan orang berada.
Aku ingin sukses, supaya hidup bisa sejahtera di masa depan. Ingin menjadi seorang yang sukses. Tidak ada salahnya, kan, seorang wanita itu mengejar karier?
“Wanita itu tidak perlu serius menuntut ilmu, toh nanti juga ikut suami. Mending senang-senang aja sekarang.” Sering aku mendengar sindirin seperti itu.
Bagiku bersenang-senang itu nanti setelah sukses. Wanita juga harus berpenghasilan, tidak harus bergantung pada suami. Tidak ada salahnya menjadi wanita karier asal tetap hormat dan menghargai suami.
Aku juga sering mendengar sindiran-sindiran yang menyakitkan hati. Namun, tak peduli dengan semua itu.
“Menjalani hidup itu jangan terlalu serius, nanti cepat tua,” ucap seorang mahasiswi sambil tertawa saat melihatku.
“Hahaha, betul itu. Tidak punya teman dan para cowok takut, deh,” sahut temannya.
Aku tak memedulikan obrolan mereka, terus berjalan menyusuri koridor kampus menuju perpustakaan. Tempat yang paling aku sukai. Gudang ilmu dan pengetahuan.
***
Bersambung