Gadis Desa

1470 Words
_ Aku tidak pernah meminta waktu kembali, mengulang segala cerita lara_ Sahira tersenyum bangga, perjuangan panjang yang terbayar. Bergadang, bolak - balik Gramedia mencari buku referensi. Revisian yang berulang - ulang dari sang dosen pembimbing. Lulus ujian, akhirnya akan wisuda juga. Siapa tidak berbangga hati, sebagai lulusan terbaik adalah impian sejak menjadi mahasiswi baru. Langkahnya begitu semangat keluar dari ruangan, sahabatnya sudah menanti dengan beberapa buket bunga dan cokelat. Ikut berbangga atas pencapaian Sahira selama menempuh pendidikan dibangku kuliah. Usia Sahira baru saja menginjak 21 tahun, bulan kemarin. Anggap saja cumlaude - nya adalah kado terindah, sebagai awal perjalanan masa depan yang lebih baik. Sahira tersenyum sumringah, membalas pelukan sahabatnya penuh kehangatan. " Terimakasih banyak sahabat gue yang paling cantik, kalian juga harus semangat dong kejar ujian, biar kita wisuda bareng." Katanya, menerima pemberian dari kedua sahabatnya di sebelah. " Kita sih nggak sepintar lo, Sa. Jangan berharap lebih, kelar bimbingan aja udah bersyukur." Sahut Belia, melirik kearah Kinan." Apalagi yang jadi pembimbing si dosen paling susah ditemui, ampun deh. Kinan juga kabur mulu, gue ribet sendiri." " Apa dih, lirik - lirik. Gue bimbingan kok, lo yang terlalu banyak suuzon." Balas Kinan, mendapati sindiran pedas dari Belia. Tawa Sahira terdengar renyah, geleng - geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang sering beradu pendapat." Yang penting kalian harus lulus, nggak wisuda bareng juga bukan masalah besar kok." Ia menengahi, meraba - raba isi dalam tas. Benda pipih berwarna hitam sudah ada ditangan, mencari nama dosen pembimbingnya guna mengucapkan rasa terima kasih atas bantuan dan kerja keras selama proses menuju sidang skripsi. Namanya Agam Permana, lelaki yang menjadi dosen pembimbing sekaligus lelaki yang juga Sahira cintai sejak masih menjadi mahasiswi semester awal. Sahira Asma: Assalamualaikum pak Agam Permana, saya lulus ujian dan Alhamdulilah Cumlaude. Terima kasih banyak, untuk bimbingannya selama beberapa bulan belakangan. Semoga kebaikan - kebaikan bapak diberi balasan yang lebih baik. Dan semoga juga diberi kesehatan maksimal, kelancaran rezeki oleh Allah swt.Aamiin Tak lama kemudian, pesannya sudah dibaca dan tampilan diatas layar pun tampak berubah mengetik, mendadak Sahira berdebar sendiri menunggu balasan dari dosennya. Walau sebenarnya ia begitu mengenal sosok Agam, namun sudah menjadi cerita lama. Sebelum Agam memutuskan untuk memulai kehidupannya di Ibu Kota. Kepribadian Agam sekarang sudah sangat jauh berbeda, Sahira bahkan hampir tidak mengenal lelaki itu. Sebab Agam adalah tipe lelaki yang ramah, bertanggung jawab dan sangat gampang membaur. Berbanding jauh dengan saat ini, bahkan ia dikenal sebutan dosen berhati dingin. Bicara seperlunya, selagi bukan urusan miliknya, ia tidak akan ikut campur. Agam Permana : Waalaikumsalam, selamat ya. Terimakasih untuk doanya, kembali baik padamu. Balasan masuk cukup singkat, Sahira mendesah kecewa, tidak ada antusias yang diharapkan. Entah keberuntungan yang berpihak atau hanya kebetulan saja, menjadi salah satu mahasiswi bimbingan Agam merupakan anugerah dan kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata - kata. " Ngapain sih lo Sa?" Belia melongok," nunggu kabar siapa?" " Nggak nungguin kabar siapa - siapa." Jawabnya santai, mengelak dari Belia. " Hamdan ya?" Belia mencandai." Akhirnya kalian wisuda bareng, jodoh emang nggak akan kemana - mana ya." Sahira menggeleng." Bukan Hamdan kok, lagi pula dia itu temen kita, buat gue nggak ada yang lebih dari pada itu." Ia menyimpan handphonenya kembali ke dalam tas. " Siapa lagi kalau bukan Pak Agam, satu - satunya lelaki yang dia cintai. Ngabarin dong jadi lulusan terbaik, berharap dibawakan bunga saat wisuda." Ejek Kinan, satu - satunya orang yang tidak mendukung perasaan Sahira. Baginya, Agam bukan tipe lelaki yang tepat untuk Sahira. Kesannya saja sudah dingin, pasti ada satu hal yang disembunyikan dari sikap misteriusnya itu. " Kan nggak ada yang salah dengan berharap, nggak juga gue minta balasan lebih dari harapan itu." Sahira memperlihatkan deretan gigi rapinya, tidak peduli omelan pedas dari Kinan." Siapapun berhak untuk jatuh cinta, ya nggak apa - apa kalau emang enggak bisa dibalas." " Gini nih, anak cumlaude kalau udah buta soal cinta. Semua dianggap baik, Agam itu jelas - jelas nggak pantas untuk lo kagumi apa lagi sampai dicintai. Untuk apa mencintai orang yang nggak mau tahu tentang lo, lo doang yang cinta, dianya enggak." Kinan melirik sebal, menuruni anak tangga. Sahira tertawa kecil, apa yang diucapkan Kinan benar semua. Namun apalah daya, urusan hati bukan soal pilih - memilih. Hingga saat ini, Agam tetap orang yang selalu disebutkan disetiap sujud salatnya. Ia menyukai sosok Agam sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Sebelum pindah ke kota, Agam merupakan sahabat Abim, saudara lelaki Sahira di rumah. Kalau memang bukan jodoh, suatu saat nanti hatinya akan belajar mengikhlaskan, perlahan - lahan secara sendirinya tanpa diminta. Sebab mencintai Agam, juga bukan sebuah keinginan dan juga bukan kesalahan. Allah yang menaruhkan rasa, entah pada orang yang tepat atau belum menjadi tempat. Sebagai makhluk, tugasnya hanya menjaga rasa yang sedang dititipi. Menjaga semampunya, sebisanya. MAS DOSEN Sembari menunggu jadwal wisuda, Sahira memutuskan untuk pulang kerumah ibunya di desa. Berlama - lama di kota pun, memakan biaya hidup cukup besar. Pagi ini ia sudah bisa menghirup segarnya udara desa. Sahira merupakan anak ke - dua dari tiga bersaudara, satu - satunya anak perempuan. " Bu, mau aku antar?" Sahira menawarkan diri pada Raini, sedang bersiap - siap untuk pergi mengajar. " Nggak usah, Ibu berangkat bareng adik kamu saja." Tolak Raini, tersenyum kearah anaknya." Susul Mas - mu di sawah, sekalian bawakan makan siang." Sahira mengangguk." Ya, nanti aku susul Mas Abim." Di dekatinya sang ibu sembari merapikan hijab yang dikenakan." Maaf Bu, Hiya belum bisa bantu apa - apa, ke Ibu dan juga Mas Abim, masih merepotkan gini." Tatapannya terlihat sedih. Raini tertawa kecil, mengusap puncak kepala Sahira." Kamu lulus kuliah dengan nilai yang baik, sudah cukup untuk Ibu dan Mas - mu, Hiya. Ibu dan Mas sangat bangga. Sudah, jangan mikirin yang tidak - tidak, nanti jadi beban." " Makasih banyak Bu." Ia menyalami Raini begitu takzim, sebagai seorang ibu yang merangkup kepala keluarga. Untuk Sahira, ibunya sudah menjadi orang tua yang paling hebat mendidik pada anak - anaknya." Sampaikan salam Hiya ke guru - guru disekolah, Bu." Ia membarengi langkah Raini keluar rumah. " Ya, nanti Ibu sampaikan.Yang ada kamu bakal dijodoh - jodohkan dengan anak teman Ibu." Jawab Raini diselingi tawa kecil. " Bagus dong Bu, biar Mbak Hiya cepat menikah. Kan sudah lulus kuliah, wisudanya bisa ditemani suami. Di rumah pun belum ada yang pecah telor, nunggu Mas Abim? Malah nggak ada kabar apa - apa, katanya kalau sudah umur tiga puluh tahun baru mau menikahi anak orang." Ujar Dimas, menatap Sahira di sisinya. " Jangan Mbak dong, masih belum ada calon pendamping hidup nih." Jawabnya terkekeh, merangkul bahu adiknya." Tapi gapapa deh, doain Mbak disegerakan untuk menikah, biar Ibu merasakan betapa repotnya anak perempuan menikah." Sahira terkekeh, memberi godaan kecil pada sang ibu. " Kalau kamu menikah, malah Ibu maunya walimahan di rumah suamimu. Biar sama - sama repot, kan adil." Balas Raini penuh kemenangan. " Masih belum ada calonnya kok Bu." Sahira meringis. " Di cari Mbak, kalau diam di tempat, ya nggak bakal ketemu." Sahut Dimas lagi." Selain berdoa, kita juga diharuskan berikhtiar." " Ih, apa sih. Masih anak sekolahan juga." Cibir Sahira pada Dimas, mendorong tubuh adik lelakinya." Buruan sana, ditunggu Ibu tuh." " O iya, Ibu sampai lupa, nanti sekalian mampir ke rumah Bude Marsih, Ambilkan baju seragam Ibu di sana." Ujar Raini dari atas motor, mengarah pada Sahira di teras rumah. " Seragam apa?" " Masih ingat Agam?" Bukannya menjawab, Raini justru ikut memberi pertanyaan. Sahira mengangguk mendengar nama yang terlontar dari bibir Raini, bagaimana tidak ingat dengan sosok tersebut. Sosok yang menjadi dosen pembimbingnya beberapa waktu belakangan, lelaki yang teramat dicintai. " O Mas Agam." Ucapnya santai, padahal di dalam hati bergemuruh hebat, mendadak perasaannya tidak enak." Memangnya seragam itu ada hubungannya dengan dia Bu?" Raini tertawa pelan, mengangguk." Dia akan menikah, Bude Marsih memberikan seragaman untuk Ibu sebagai keluarga besar. Di pakai saat Agam akad nikah." Sahira terhenyak kaget mendapatkan kenyataan yang tidak pernah diharapkan." Mas Agam bakal menikah Bu?" Tiba - tiba sedih, kehilangan. Pantas saja respon Agam biasa - biasa saja padanya, padahal beberapa kesempatan, Sahira sering memberi perhatian kecil. Sampai ada beberapa mahasiswi bimbingan Agam pun bisa menerka, menilai Sahira menaruh rasa suka. Lebih dari batasan mahasiswi bimbingan, namun objek utamanya hanya menulikan telinga. " Kamu kok malah kaget, iya si Agam akan menikah. Calon istrinya dosen juga, satu kota kok." Jawab Raini lagi. " Baru tahu sih dia bakal nikah." Lirihnya sedih. Setelah Raini berangkat mengajar, Sahira masih mematung di teras rumah. Kabar dari ibunya seperti mimpi di pagi hari, bahkan beberapa kali sempat bertukar kabar dengan Agam, tidak ada sedikitpun lelaki itu menyinggung pernikahannya dengan seorang dosen di kota yang sama. " Apa dia masih beranggapan aku adalah gadis desa yang tidak seharusnya menyentuh kehidupan di Ibu Kota?" Lirihnya pilu, pupus sudah harapan untuk memperjuangkan rasa cintanya. Kalau pada akhirnya, lelaki itu akan menikahi perempuan lain. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD