Dua

555 Words
"Ada banyak kematian pada tahun 1347 sampai 1351 ketika wabah penyakit pes mengubah muram wajah Eropa. Banyak mayat bergelimpangan ditengah jalan, hingga kemudian makam dan tanah sudah tidak cukup lagi menyimpan bangkainya. Semua onggokan mayat di bawa ke hamparan kota yang luas, di jejerkan, kemudian di tuumpuk tinggi lalu dilakukan pembakaran. Beberapa onggok mayat di lempar ketengah api seperti sedang melempar kayu kering. Membakar ujung bawahnya, merembet ke tengah dengan lahapnya, mencairkan kulit manusia yang tebal berubah seperti helain kain yang di bakar, menitik seperti air tapi berwarna merah dan berbau," suara itu terdiam, ada denting bunyi jari memukul-mukul meja kayu beberapa kali. "Meleleh seperti plastik, lalu berubah kehitaman, dan bersisa tengkoraknya yang masih ditempeli daging kemerahan. Bau daging terbakar seperti makanan sehari-hari penduduk yang hidup dalam rasa putus asa, benci, marah, dan bingung," aku mendengarkan sambil berdiri ucapan tuanku. Pria yang aku sendiri tidak tahu banyak tentangnya. Berapa usianya, kapan dia ada, siapa namanya atau dari mana asalnya. Aku hanya selalu memanggilnya dengan sebutan 'tuan'. Aku tidak pernah mencoba mempertanyakan pertanyaan yang ingin kuketahui padanya, karena dia tidak akan suka saat seseorang bertanya banyak mengenai dirinya. Satu-satunya yang aku pahami, berkat dia aku bisa hidup higga detik ini. Dengan melalui masa-masa gelap. "Wajah mereka sangat suram, seperti mendung yang menutup langit. Tidak sehari pun orang hidup merasa tidak akan mati. Setiap mereka berjumpa satu manusia dengan manusia lainnya, kemudian saling bersentuhan, dengan penuh perasaan mencekam, mereka mandi dan mengganti pakaian lalu tinggal di dalam rumah sebagai sebuah jalan menghadang kematian." Sambungnya kemudian meraih gelas tinggi berisi anggur merah di atas meja. Wajahnya tertutup bayangan gelap. Tapi aku paham kebiasaannya. Menggoyangkan isi wine itu lebih dulu seperti air laut sedang bergelombang lalu menciumi baunya. "Ini adalah tempat yang indah. Hutan Chrimpson yang sunyi dan suram sepanjang waktu. Bahkan saat orang-orang dari Irlandia bermigrasi kemari setelah bencana kelaparan tahun 1850, mereka tidak memilih tempat ini" sambungnya dengan nada dingin "Tempat ini kering, lapisan tanahnya tidak cukup baik untuk menanam gandum maupun kentang, tuan" ia tertawa dengan nada geli. Suaranya berat, namun jatuh dengan lembut seperti helaian bulu. "Manusia bekerja sepanjang hidup untuk jadi sapi perah. Apakah kau pernah hidup seperti itu, Leon?" aku terdiam mendengar pertanyaannya yang terdengar angkuh sekaligus congkak. "Saya pernah. Tentu saja sebelum saya membuat kontrak dengan anda" "Dibandingkan siap pun yang pernah membuat kontrak denganku. Kau sangat menyedihkan saat aku menemukanmu di bawah kolong jembatan Firenze" "Seperti yang anda ceritakan sebelumnya" kataku dengan datar sambil membayangkan hal buruk yang pernah terjadi saat itu. "Kau pernah membuat sebuah masalah. Tapi aku akui masalah yang kau buat akan sangat membantuku dikemudian hari" ia meletakkan gelas wine tadi yang sudah kosong ke atas meja. Aku masih berdiri di ujung tembok dan mengamatinya, tapi tidak berani menatap langsung padanya. Entah mengapa, dia begitu sering mengingat masa lalu belakangan ini. Selain itu, ini pertama kalinya ia tinggal lebih lama dari yang biasa ia lakukan saat musim dingin berlangsung. Aku tidak pernah benar-benar mengerti tindakannya, hanya menerima perintahnya. Seperti itulah yang selalu tuan inginkan. "Sebentar lagi Leon. Sebentar lagi aku akan memaksanya datang. Aku tidak akan bisa membawanya ke sisiku jika dia tidak memohon" "Saya mengerti. Tapi, apakah ini tidak terlalu cepat?" kataku dengan hati-hati tak ingin membuat sifat marahnya keluar. "Dia hanya perlu datang kemari. Sisanya akan kuberikan padamu. Lakukan tugasmu yang tertunda" "Seperti keinginan anda, tuanku"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD