Sebuah Pilihan

1181 Words
Satu Minggu Sebelum Pernikahan. "Dari mana kita akan mendapatkan uang sebanyak itu untuk biaya operasi bapakmu nak?" tanya seorang di sela isak tangisnya yang kini tengah menyandarkan kepalanya di bahu anak gadis semata wayangnya itu. Wanita yang sudah menginjak kepala empat itu mengangkat sedikit kepalanya agar ia bisa melihat wajah cantik anak gadisnya yang berdiri di samping ayahnya yang masih berbaring tak sadarkan diri. "Arum, kamu dengar ucapan ibu tidak?" Tanya Saidah sekali lagi pada putrinya yang tengah mematung dengan tatapan kosongnya. "Dah, kamu tidak usah khawatir masalah pengobatan. Aku yang akan membayarnya yang penting suami mu bisa sehat kembali." Saut seseorang yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping dua wanita yang tengah berduka itu. Arum dan juga Saidah langsung menoleh ke sumber suara, ternyata sedari tadi Arum memang mendengar ucapan ibunya. Hanya saja ia juga dalam keadaan hati dan pikiran yang tengah kacau sehingga memilih untuk diam. "Bu Sofia." Gumam Saidah setelah tahu siapa wanita dengan penampilan mewahnya itu. Pakaian mahal dan bermerek tentunya, dia lah istri dari orang terkaya dan paling berpengaruh di kota itu, Rans Asegaf. Yang juga merupakan teman bisnis suaminya sebelum akhirnya bangkrut dan jatuh sakit karena serangan jantung. Dan keluarga tuan Rans lah yang selalu ada untuk membantu keluarganya. Nyonya Sofia tersenyum ramah, sementara Arum hanya bisa menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit di artikan. Sejauh ini Arum bekerja sebagai salah satu karyawati di butik milik wanita itu. Dan sejak tahu ayah Arum masuk rumah sakit entah kenapa nyonya Sofia begitu baik dan selalu membantu biaya rumah sakit untuk ayahnya. Sampai saat ini ayahnya harus mendapatkan tindakan tranplantasi jantung. Bahkan nyonya sofia lah yang menemukan pendonor jantung untuk ayahnya. Awalanya Arum tak menaruh curiga apa pun atas kebaikan wanita itu, pasalnya nyonya Sofia selalu mengatas namakan jalinan pertemanan lama untuk semua kebaikan dengan ayahnya. Namun setelah percakapan Nyonya Sofia sebelum wanita itu akhirnya sampai di ruangan ayah itu membuat Arum semakin terpuruk. Dunianya seakan hancur seketika. Flash Back On "Ini adalah kesempatan terakhir mu untuk menyelamatkan nyawa ayahmu nak. Aku sudah menyiapkan pendonor dan juga biaya operasinya. Kamu hanya tinggal menikah dengan putra ku dan memberikan anak untuknya. Setelah itu kamu bisa melanjutkan hidupmu sendiri. Semua keputusan ada di tanganmu, Arum." Ucap seorang wanita paruh baya dengan begitu santainya. DEG. "Ba-bagaimana nyonya bisa mengatakan hal besar seperti itu dengan begitu santainya. Bukan kah nyonya sendiri yang bilang ayahku adalah teman dekat tuan dulu ketika masih sama-sama saling berjuang. Dan bukan kah nyonya membantu kami selama ini karena hubungan kalian di masa lalu." Ucap Arum dengan wajah pucat dan suaranya yang bergetar. Nyonya Sofia menyunggingkan sudut bibirnya. "Aku tak pernah mengatakan seperti itu. Aku hanya mengatakan kalau suamiku dan ayahmu adalah teman lama. Itu saja tak ada lebih tak ada kurang. Ayo lah Rum, kamu bukanlah orang bodoh. Kamu itu sangat pintar dan cerdas. Tidak mungkin kamu melupakan bagaimana jaman sekarang, tidak akan ada yang membantu mu begitu tulus tanpa harus menerima imbalan. Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk membiayai pengobatan dan rumah sakit ayah mu. Dan uang itu aku dapatkan juga dari hasil bekerja Rum. Bukannya dari hasil main bim salabim. Jadi sudah sepantasnya aku mendapatkan timbal balik atas uang yang sudah aku keluarkan." Tutur Nyonya Sofia panjang lebar dengan diiringi tawa kecil yang begitu menyakitkan di dengar telinga. Apalagi wajah yang begitu terlihat merendahkan dirinya, sungguh Arum sangat membenci itu. Gadis polos itu ternyata sudah salah besar menilai wanita di hadapannya. Ia menganggap nyonya Sofia bak malaikat penolongnya, namun siapa sangka di balik semua kebaikan wanita itu dia tak lebih dari seekor serigala berbulu domba. BRUK. Tubuh Arum melemas seketika mendengar ucapan wanita itu. Beruntungnya ada kursi kayu di sampingnya, dia menjatuhkan diri di sana. Tubuhnya terasa sangat ringan, bahkan tidak bisa ia gerakkan. Lidahnya terasa kelu tak bisa berkata-kata. Tatapan langsung kosong seketika, dadanya terasa panas dan bergemuruh. Nafasnya terasa sesak. Ujian hidup apalagi yang harus ia lalui. Ia terpaksa menjadi seorang karyawati di butik wanita itu karena tiba-tiba sang ayah bangkrut dan telah di jadikan tersangka atas laporan penggelapan dana para investor lain di perusahaannya. Bahkan ia tahu betul kalau ayahnya itu juga telah di tipu oleh seseorang. Dan sangatlah tidak mungkin ia menggelapkan uang para investor-investor itu. Baru saja sehari ayahnya di tahan, tiba-tiba sang ayah terkena serangan jantung. Melihat Arum yang tengah syok, Sofia bahkan tidak membantu gadis itu sama sekali. Ia hanya duduk di sampingnya dengan senyum mengembang. "Waktumu hanya tinggal satu jam Arum. Nyawa ayahmu ada di tanganmu." Mendengar ucapan itu, entah darimana datangnya rasa panas dalam hatinya membuat ia tersadar dan berani untuk sedikit melawan. "Saya atau pun anda bukan lah Tuhan nyonya, dan bagaimana bisa anda mengatakan hal semacam itu mempermainkannya nyawa seseorang. Darimana anda yakin kalau saya bisa memberikan anak untuk putra anda?" Ucap Arum dengan tatapan tajamnya walau matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ia sungguh tak ingin di jadikan pencetak anak semata, dan menjadi menantu sementara sekaligus istri kedua dari Endaru Putra Asegaf itu. Pria tampan dengan sejuta pesona dan kekayaannya. Sofia pun tertawa mendengar ucapan gadis cantik di hadapannya. Ya Arum memanglah sangat cantik, bahkan dia sangatlah cerdas dan pintar, santun dalam berbahasa. Sejak Arum bekerja di butik miliknya. Butik itu semakin ramai dan mendapatkan banyak pelanggan, dan itu berkat Arum yang sangat pintar dan ramah melayani para pembeli yang datang. Hal itu lah yang membuat Sofia yakin kalau Arum adalah wanita yang pantas untuk istri kedua putranya, dan juga wanita yang cocok untuk melahirkan cucunya karena bibit bobot dan bebetnya Arum tak diragukan lagi. Tidak seperti menantunya yang sekarang, sudah tidak bisa memberikan keturunan untuk putranya, menantunya juga sangat tidak tahu sopan santun. "Maafkan aku nak, aku harus menggunakan cara seperti ini agar kamu mau menjadi menantuku." Batin Sofia yang sesungguhnya tengah memainkan sebuah drama. "Kita memang bukan Tuhan Arum, tapi setidaknya kita lah yang berusaha menentukan takdir kita sendiri. Jadi tentukan lah takdir ayah mu sendiri, dan satu lagi aku tidak mungkin meminta mu untuk melahirkan cucuku jika aku tak tahu kalau kamu adalah wanita yang subur Arum. Tentu lah aku sudah memastikan dan memeriksa itu terlebih dahulu." Ucap nyonya Sofia seraya bangkit dari duduknya. "Hubungi aku jika kamu sudah membuat keputusan. Aku akan selalu berada di sekitar sini untuk mengawasimu. Ah satu lagi jika kamu menolak maka kamu harus bersiap mengganti semua uang ku 2 kali lipat dari yang telah aku keluarkan." Ucapnya sebelum berlalu pergi meninggalkan gadis yang kini sudah dengan isak tangisnya dalam sepi. Suasana malam yang tak dingin itu seketika terasa seperti sebuah lemari es yang begitu dingin. Flash Back Off. "Terimakasih nyonya, anda begitu baik pada keluarga kami. Terimakasih banyak." Ucap lirih Saidah dalam tangisnya seraya meraih tangan nyonya Sofia dan menciumnya. Arum sudah lebih dulu memalingkan wajahnya. Sakit sekali, ya sakit sekali rasanya melihat pemandangan sang ibu yang kini tengah menyanjung kebaikan wanita di belakangnya itu. "Eh Bu Saidah tak perlu seperti ini. Sudah seharusnya saya membantu pak Atmaja, mengingay beliau juga adalah teman lama suami saya." Sofia berusaha menarik tangannya agar Saidah tak menciumnya lagi, wanita itu pun memeluk calon besannya itu. "Dasar wanita licik." Gumam Arum dalam hati dengan perasaan bencinya yang teramat sangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD