2. Kedatangan Naga

1064 Words
Malam semakin larut, Revan biasanya akan menghubungi Mayang sebelum tidur. Kali ini tidak, ia butuh menenangkan hati. Tidak semudah itu melepaskan seorang Mayang Mandasari. Rumah yang dibelinya beberapa waktu lalu di sebuah pinggiran Kota Jakarta bersama dengan Mayang akan diberikan untuk gadis yang namanya akan selalu di hatinya. Hingga pagi menjelang, Revan sama sekali tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Rasa kantuknya hilang, entah menguap kemana. Bayangan air mata Mayang menghantuinya ketika nanti harus mengatakan sebuah kejujuran; dirinya dijodohkan. "Pagi semua," sapa Adhyatsa saat semua sudah berkumpul di meja makan untuk makan pagi bersama. Kali ini Murni ikut duduk bersama dengan merak semua. Linda dan Santi tampak jijik menatap ke arah kakak iparnya. Revan paham dengan arti tatapan kedua tantenya. Tangan Murni mencekal lengan putra semata wayangnya; memberikan kode agar tidak membuat masalah pagi ini. "Baik, karena sudah berkumpul, maka saya akan mengumumkan sesuatu. Minggu depan, kita akan kedatangan keluarga Haris Manggala. Jadi, Revan, kamu harus sudah putuskan hubungan dengan anak babu itu! Saya akan menepati janji ketika kamu sudah memutuskan hubungan dengan anak babu itu!" Tatapan tajam seperti pedang menghunus tepat ke arah Murni dan Revan. "Kamu bersedia? Jika tidak, Bunda kamu akan tetap menjadi babu di rumah ini," lanjutnya dengan sombong. Revan menghela napas dengan kasar. Tidak bisa menerima ucapan Kakeknya. Ia tidak habis pikir, mengapa hingga saat ini Adhyatsa masih saja membenci sang bunda. Kebencian yang tidak berdasar. "Baik." Revan hanya menjawab singkat dan dingin ucapan Adhyatsa. Saya pergi kerja dulu," lanjutnya sambil beranjak hendak meninggalkan meja makan. Revan berangkat ke kantor tanpa sarapan terlebih dahulu. Rasa laparnya mendadak hilang seketika. Muak dengan sikap sang kakek yang otoriter dan selalu merendahkan sang Bunda. Baginya, Bunda adalah wanita yang paling baik. Sesampainya di kantor, semua karyawan mengangguk sebagai rasa hormat pada calon pewaris perusahaan ini. Revan--cucu Adhyatsa yang sikapnya sangat dingin itu disegani oleh banyak pihak tanpa kecuali. Tangan dinginnya saat mengerjakan tender dengan berbagai perusahaan selalu mendatangkan hasil. Baru kali ini saja Adhyatsa Group mengalami kemerosotan tajam. "Hardi, tolong semua berkas yang harus saya tanda tangani bawa ke meja saya, sekarang!" Revan memerintah sekretarisnya yang sudah bekerja selama satu tahun belakangan. Revan sengaja mencari sekretaris laki-laki karena mereka tidak akan menyusahkan. Bukan karena kelainan seksual yang dideritanya seperti berita yang entah datang dari mana. Dulu, Anggi--sekretaris Revan selalu saja merepeotkan. Mulai baju yang terbuka bagian d**a dan paha dan betapa leletnya pekerjaan wanita itu. Hingga Revan memutuskan untuk memberhentikan kerja wanita itu. Hardi dengan sigap mengambil semua berkas yang harus dipelajari oleh Revan dan mengekor di belakang calon pewaris perusahaan ini. Hardi tidak banyak bicara saat, ia lebih banyak bekerja dan hasilnya selalu memuaskan Revan. "Baik, Pak," jawab Hardi yang sudah membawa tumpukan berkas yang diinginkan oleh Revan. "Oh, ya, bagaimana kontrak kerja sama kita dengan Cakra Buana?" tanya Revan dengan nada dingin. "Mereka belum memutuskannya, Pak. Ada kemungkinan tawaran kerja sama kita ditolak oleh Pak Bima." Hardi sangat takut saat menyampaikan informasi ini. Revan berhenti sejenak. Ia harus mencari cara agar beberapa perusahaan mau bekerja sama dengan Adhyatsa Group. Mereka kalah saing dalam hal modal dan banyak perusahaan besar meragukan perusahaan milik kakeknya itu. Hardi sangat takut karena pagi ini raut wajah Revan sangat suram. "Baiklah. Biar aku cari cara lagi untuk meyakinkan mereka. Kamu bisa kembali untuk bekerja," kata Revan saat hendak masuk ke ruangan kerjanya. Waktu sudah semakin mendesak. Tagihan bank juga tidak bisa ditunda lagi. Banyak karyawan yang meminta haknya untuk gaji dua bulan. Mendadak kepala Revan berdenyut nyeri. Tidak ada pilihan lain kecuali setuju dengan apa yang dikatakan oleh sang kakek. Minggu depan, ya, minggu depan mereka akan mengadakan pertemuan dengan keluarga Haris Manggala. Revan sama sekali tidak punya pilihan. Rencananya akhir pekan ini akan ke Bandung untuk menemui Mayang. "Selamat siang, Pak. Ada tamu yang menunggu di luar. Bolehkah diizinkan masuk?" Hardi tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerja Revan saat ini. "Kamu bisa ga sih ketuk pintu dulu! Ga sopan! Aku sibuk ga bisa terima tamu dari mana pun!" Revan sedang tidak ingin diganggu saat ini. "Tapi, mereka dari perusahaan Cakra Buana. Ada perwakilan mereka yang hendak bertemu dengan Bapak sekarang," kata Hardi sambil memberikan informasi pada Revan. Revan meletakkan penanya di atas meja dengan kasar. Moodnya sedang turun naik. Seolah takdir sedang mempermainkannya saat ini. Sama sekali tidak mempunyai pilihan lain. "Minta masuk mereka. Atau di ruang khusus tamu saja," kata Revan sambil beranjak dari kursi kebesarannya itu. "Ba-baik, Pak." Hardi segera menemui utusan sari Cakra Buana Group. Revan segera menuju ke ruang khusus tamu. Ia sudah bisa menduga jika Pak Naga--utusan dari Cakra Buana akan memberikan kabar buruk kali ini. Revan hanya perlu mempersiapkan diri saja saat ini. Gagal bekerja sama dengan mereka akan membuat perusahaan ini semakin terpuruk. "Selamat siang Pak Revan," sapa Pak Naga dengan ramah. Revan menyambut uluran tangan Pak Naga dan mempersilakan laki-laki dengan kisaran usia tiga puluh tahun itu untuk duduk. Naga adalah anak dari pemilik perusahaan Cakra Buana. Entah apa yang membuatnya datang ke kantornya saat ini. "Jadi?" tanya Revan langsung pada pokok permasalahannya. "Tenang, Bro, ga usah terlalu formal. Kedatanganku saat ini, hanya ingin menawarkan kerja sama. Ya, kerja sama kita memang hampir gagal. Tapi, aku berubah pikiran. Gimana kalo kita bagi hasil enam puluh dua untuk Cakra dan sisanya untuk Adhyastsa? Lumayanlah agar perusahaan ini ga langsung bangkrut," kata Naga sambil tersenyum jumawa merasa bisa menekan perusahaan kakek Revan ini. Dada Revan kembang kempis mendengar ucapan Naga. Sebuah penghinaan terselubung. Membalut penghinaan dengan embel-embel kerja sama yang membuatnya muak. Orang-orang seperti Naga memang tidak layak untuk diajak kerja sama. "Maaf, saya tidak bisa. Jika ada keuntungan maka pembangiannya harus adil. Lima puluh-lima puluh. Bukan seperti yang Anda sebutkan tadi. Tidak apa perusahaan ini gagal mendapatkan tender dari perusahaan Cakra Buana. Sukses selalu," kata Revan dengan dingin dan sambil beranjak pergi dari ruang tamu perusahaan. Naga tidak terima dengan perlakuan dan sikap Revan yang dianggapnya tidak sopan. Bocah ingusan yang sok pandai! Naga memang mempunyai tujuan jahat; membuat perusahaan Revan bangkrut secara perlahan. Caranya dengan mengubah pembagian hasil keuntungan bersama. "Tunggu! Penolakanmu dengan sombong akan mempersulit keadaan perusahaan ini. Ingat, pengaruh Cakra Buana sangat besar saat ini!" Naga mencekal lengan Revan dengan kasar. Revan segera melepaskan cekalan tangan Naga dengan cepat. Ia menatap tajam ke arah Naga yang saat ini sedang merasa di atas angin. Lihat saja besok dan seterusnya, Revan akan membuat perusahaan milik keluarga Naga akan bertekuk lutut di bawah kaki perusahaan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD