PART. 2

711 Words
Meera tersentak bangun. Wajah pria yang mengaku suami si pemilik tubuh begitu dekat dengan wajahnya. "Mi ...." Meera menatap pria yang mengaku suami dari wanita gendut tempat jiwanya berada saat ini. "Ada yang sakit?" Pria itu mengusap pipinya lembut. Spontan Meera menepiskan tangan berkulit coklat itu, ia menarik kepalanya ke belakang. Pria itu terdengar menghela napasnya. "Mami jangan takut. Nama Papi Banyu. Papi ini suami Mami. Kita sudah enam belas tahun menikah. Kita sudah memiliki dua orang putri. Mereka kembar, Mami. Namanya, Ayunda Almira, dan Ayuning Armila, biasa kita panggil Rara, dan Lala. Papi ...." "Stop! Apa pekerjaanmu? Berapa usiamu?" "Papi tukang sayur keliling, Mami." "What!?" Mata Meera melotot menatap Banyu. Hampir saja melompat hinaan dari sela bibirnya, seperti kebiasaan yang sering ia lakukan. Tapi, mulutnya kembali terkatup, ingat perjanjian dengan pria di dalam mimpinya tadi. 'Hey, itu hanya mimpi, Meera, untuk apa kamu perdulikan, itu hal yang tidak masuk diakal. Tentu saja aku perduli, apa yang terjadi pada diriku saat ini juga tidak masuk akal. Terperangkap di dalam tubuh seorang wanita gendut.' "Mami ...." Banyu menatap Meera dengan perasaan cemas. Karena wajah Meera yang terlihat murung. "Berapa usiamu?" "Empat puluh dua tahun." "Apa?" "Mami pasti lupa juga umur Mami'kan? Umur Mami tiga puluh lima tahun, kita selisih tujuh tahun Mami." Meera memejamkan mata, rasa kesal harus ia pendam di dalam hatinya. Ia kesal, kenapa bisa terperangkap di dalam tubuh orang yang levelnya sangat jauh di bawahnya. Ia kesal, karena harus menghabiskan waktu tiga bulan bersama seorang tukang sayur keliling. Itupun kalau dirinya tidak berbuat kesalahan. Kalau ia melanggar aturan, maka penghitungan masa hukumannya akan diulangi dari awal lagi. "Mi, kalau Mami mengantuk, tidur saja lagi. Dokter mengatakan, kalau pemeriksaan kesehatan Mami cukup bagus, di luar amnesia Mami tentunya. Mami sudah boleh pulang." "Pulang ke mana?" "Tentu saja ke rumah kita, Mami." "Di mana rumah kita?" Banyu menyebutkan alamat rumah. Mata Meera melebar, mulutnya ternganga lebar juga. "Banjarbaru?" "Iya, ini Banjarbaru." "Banjarbaru itu di mana?" "Ya di sini." "Maksudku daerah mana?" "Ya Banjarbaru." "Provinsi mana?" Meera hampir menjerit saking kesal pada Banyu. Meera menarik dalam nafasnya, lalu ia hembuskan perlahan. Ia ingat dengan peraturan yang harus ia taati. "Ya Allah, Mami lupa, Banjarbaru di mana?" "Kamu yang lupa, aku sedang amnesia!" Banyu terkekeh pelan, dijawil dagu Meera dengan ujung jarinya. "Papi ketularan amnesia sepertinya." Meera memukul lengan Banyu. "Jangan macam-macam ya!" Mata Meera menatap Banyu tajam. "Mami harus tahu, kalau Mami itu suka kalau Papi goda." "Haah, diamlah! Aku ingin tidur lagi." Meera membaringkan tubuhnya. "Tidak minta sangu sebelum pergi ke alam mimpi dulu, Mi?" "Sangu apa?" "Cium, biasanya sebelum tidur Mami minta cium dulu sama Papi." "Hey, jangan macam-macam ya!" Meera menudingkan telunjuknya pada Banyu. "Papi hanya berusaha pelan-pelan untuk membangkitkan ingatan Mami lewat kebiasaan yang kita lakukan setiap hari." "Ck, tidak perlu, aku ingin tidur." Meera memejamkan matanya, tapi sesaat kemudian matanya terbuka. Ada benda kenyal yang mengulum bibirnya. Meera berusaha mendorong d**a Banyu. Banyu melepaskan ciumannya. "Apa yang kamu lakukan!" "Papi hanya mencoba, siapa tahu Mami ingat sesuatu kalau Papi cium." "Iiiih ...." Meera menyeka bibirnya dengan punggung tangan. Lalu ia memunggungi Banyu yang kembali duduk di kursi, dan melanjutkan tidurnya. Meera menatap dinding rumah sakit. Ia tidak menyangka, jiwanya bisa terlempar ke lain pulau. Rumahnya di Jakarta, tubuhnya di sana. Tapi, ia sekarang berada di sini, di tubuh seorang wanita gendut, istri seorang tukang sayur keliling. 'Tukang sayur sok, belagu. Melarat saja, panggilannya Papi, dan Mami. Tidak pantas sama sekali. Rumah mereka seperti apa? Apa terbuat dari anyaman bambu? Apa lantainya masih tanah, tanpa disemen, apa lagi dikeramik. Hiiy ... pasti banyak cacing, kecoa, dan tikusnya. Kamar mandi mereka juga, pasti sangat jelek, airnya pasti kuning, dan dingin. Kamar tidur ... ya Tuhan, apa aku akan tidur satu kamar dengan pria jelek, burik, kucel ini. Di kamarnya pasti cuma ada satu ranjang kecil. Masa aku harus tidur dengan dia. Bagaimana kalau dia mengajak aku bercinta. Argghhh ... tidak, aku tidak mau menyerahkan keperawananku padanya. Eeeh ... tunggu, inikan tubuh istrinya, hanya jiwanya milikku. Jadi bagaimana? Ya Tuhan.... Tolong kembalikan jiwaku pada tubuhku sendiri. Aku tidak mau pria jelek yang genit ini menyentuhku. Menyentuh ... yang dia sentuhkan tubuh istrinya, bukan tubuhku. Eeh ... tapi yang merasakan aku. Ya Tuhan.... Kenapa Kau buat hidupku serumit ini? Tolong aku untuk ke luar dari situasi ini, aku mohon.' BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD