2. Let Go

1812 Words
[Author POV] "Ya!! Ahn Yoora!" Yoora mendengus kesal ketika mendapati orang yang meneriakinya. Ya. Jung Hoseok. Sahabat sekaligus dokter junior yang baru saja diterima di Seoul Hospital beberapa bulan yang lalu. "Mwo?! Ya! Kau itu masih dokter junior yang diterima beberapa bulan lalu!! Seenaknya saja memasuki ruanganku!! Ingat!! Di sini sekarang aku senior mu Jung Hoseok!! Se-ni-or!" Yoora menekankan kata terakhirnya pada hoseok sembari tersenyum. Ya, senyuman yang lebih tepatnya di sebut seringaian. Yoora merasa bangga berada setingkat di atas sahabatnya. "Cih! Kau hanya lulus lebih dulu dariku!! Jangan sombong!! Lihatlah, sebentar lagi gelar dokter idola kebanggaanmu itu akan kurebut!" Sama seperti Yoora, Hoseok juga mengeluarkan smirk andalanya sambil berjalan mendekat ke arah meja sahabatnya itu, kemudian duduk di kursi yang menghadap ke arah Yoora. Gadis itu tentu saja tampak kesal akibat ulah sahabatnya yang selalu bertingkah bebas tanpa tau tata krama berkunjung. Berbeda dengan Hyeri, Hoseok adalah  orang yang paling tidak ingin Yoora temui bahkan satu hari pun. Mereka selalu meributkan banyak hal meski sudah saling mengenal bertahun-tahun. Entah sifat mereka yang tidak cocok atau memang Hoseok selalu saja mencari masalah dengan Yoora. "Jung Hoseok! Mana sopan santunmu? Aku bahkan belum menyuruhmu duduk!" "Pelit sekali, sih!" "Kau bahkan tidak mengetuk pintu ruanganku. Memang ya etikamu itu perlu dibenahi." Hoseok lantas bergantian mendelik kesal ke arah gadis yang sudah ia kenal itu. Yoora yang merasa di perhatikan secara tajam hanya mengangkat bahu acuh sambil kembali duduk di kursi miliknya. "Lagi pula, salah sendiri melamun di saat bekerja! Ahn Seonsaengnim! Kau melamunkan apa?" Mendengar pertanyaan ringan itu saja mampu membuat aliran darah Ahn Yoora sedikit berdesir. Wajahnya yang semula terlihat acuh kini perlahan menjadi serius. Gadis itu kembali menghembuskan napasnya kasar. Entah kali keberapa dia melakukan hal itu hari ini. "Kau sendiri bahkan tau apa yang membuatku melamun" Yoora mengalihkan pandangannya ke arah lain. Takut jika Hoseok melihat perubahan raut wajahnya. Meskipun mereka selalu berdebat dan tampak tidak akur, Yoora tau Hoseok adalah orang pertama yang dapat mengenali perubahan ekspresinya dengan cepat. Namun, semua sudah terlambat. Memang Hoseok terlalu mengetahui siapa sahabatnya itu. Ia tahu apa yang gadis ini pikirkan. Ia dapat melihat kesedihan dan kelelahan yang selalu ditutupi lewat senyum gadis itu. Senyuman yang hanya Hoseok seorang yang tau maknanya. Satu hal yang tidak bisa Yoora tutupi dari seorang Jung Hoseok. "Berhentilah memikirkannya. Kau sudah terlalu lama membasahi lukamu itu dengan air mata, Yoora-ya. Kau tau kan, jika luka itu terus kau siram, dia tidak akan pernah kering. Biarkan dia mengering sebentar, walaupun bekasnya mungkin tidak akan pernah hilang." Yoora hanya diam, sungguh rasanya sangat menyakitkan ketika Hoseok kembali mengungkit masalah luka itu. Sesuatu yang paling dia hindari setiap saat, kini dengan mudah muncul dan kembali masuk tanpa permisi. Yoora terlalu membenci luka itu. Terlalu menyakitkan dan terlalu menyesakkan. Kepingan kenangan yang akan terlintas ketika luka itu kembali terasa membuat dadanya seakan penuh. Buliran bening bahkan dapat muncul dari mata cantik itu. "Jangan dibahas lagi, Hoseok-ie." "Aku takkan membahasnya jika kau tidak memperlihatkan wajah murung itu. Ahn Yoora, sudah berapa kali kubilang? Kubur semua kenangan itu!" Kubur? Apa Hoseok pikir perihal melupakan itu menjadi masalah yang mudah? Yoora bahkan sudah mencoba melupakannya setiap saat. Semua orang butuh waktu, tidak ada yang instan di dunia ini. "Kau pikir selama ini aku tidak melakukan itu? Aku sudah berusaha mengubur bahkan melupakannya, Jung Hoseok. Kau, tahu? Ada waktu yang harus dibayar untuk sebuah kenangan." Pemuda itu lantas mengangkat sebelah sudut bibirnya. Satu hal yang Hoseok sayangkan, Yoora memang sangat pintar untuk menjadi dokter di usianya yang masih muda. Tapi gadis itu akan terlihat begitu bodoh jika masalah hati. Ya, siapapun mungkin akan berlaku sama. Namun bagi Hoseok tingkat kebodohan Yoora sudah melebihi batas. Dia bahkan dengan sengaja membuat dirinya tampak bodoh dan menyedihkan. "Benarkah? Tapi menurutku kau tidak pernah melakukannya selama ini." "Apa maksudmu?" "Yoora-ya, kau tidak pernah melupakannya. Kau hanya mencoba menutupi segala hal dengan senyuman yang entah kenapa terlihat begitu menyedihkan bagiku." Yoora terdiam, gadis itu seakan mendapat tamparan keras.  Air mata yang sedari tadi ia tahan, sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Hoseok tak sepenuhnya salah. Yoora hanya mencoba menutupi segala hal dengan senyumannya. Berharap semua akan baik-baik saja dan tidak membiarkan orang lain ikut campur dengan masalahnya. Yoora pikir dia bisa melakukan semua itu, Ahn Yoora pikir dia mampu menahan sampai luka itu hilang dengan sendirinya. Dia harus menjadi wanita yang kuat. Tapi, nalurinya sebagai seorang wanita berkata lain. Yoora hanyalah seorang wanita yang memiliki hati selembut salju. Salju yang akan hancur berkeping - keping jika tidak bisa dijaga dengan baik. Dan saat sudah hancur, kepingan itu sangat sulit untuk disatukan kembali. *** "Duduklah, Yoon." Kini Yoongi sudah berada di ruang makan bersama kedua orang tuanya. Setelah mengeluarkan segala kegelisahan yang ia tahan di hadapan sang ibu,  Yoongi akhirnya mau di ajak untuk makan, meskipun perlu sedikit usaha bagi Nyonya Min. Suasana makan di keluarga Min selalu seperti ini. Sepi. Tapi, entahlah, kini semua terasa sedikit berbeda. Tuan Min sedari tadi hanya menatap putra tunggalnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Terkadang terlihat tatapan sedih, kecewa, lega, dan juga marah. Yang ditatap pun hanya asyik mengaduk-aduk makanannya tanpa berniat memakannya sedikitpun. Seakan tangannya terlalu lemah untuk mengangkat sendok. Sebenarnya Yoongi tau jika sang ayah kini tengah memperhatikan setiap inci tubuhnya, tapi tetap saja Yoongi seperti tidak peduli dengan tatapan ayahnya. Dia sudah tidak punya tenaga lagi hanya sekedar untuk mengangkat kepala yang kini terasa berat. "Ekhm." Tuan Min memecah keheningan di ruangan itu. Nyonya Min hanya dapat menunggu dan menyaksikan apa yang terjadi saat ini. Ia yakin jika suaminya akan berbicara serius dengan Yoongi. Sudah bisa ditebak topik apa yang akan mereka bicarakan dan Nyonya Min sungguh berharap suaminya memahami Yoongi sebagai seorang ayah yang memahami perasaan putranya. "Kenapa kau tak makan makananmu? Apakah tidak enak ? Tapi setauku, rasanya biasa saja, tidak ada yang berubah." "Tidak, ini terlihat enak." "Lalu kenapa tidak dimakan?? Mau menunggu dia datang kesini, kemudian mengasihanimu dan menyuapimu makan, begitu??" Sontak Yoongi menatap ayahnya dengan tatapan benci. Perkataan ayahnya tadi, seolah mengatakan jika semua sudah berakhir dan jangan terlalu bermimpi. "Yeobo" Nyonya Min, menatap suaminya dengan tatapan yang seolah mengatakan  tahan emosimu! Dia sedang dalam keadaan tidak baik, Mengertilah. Tapi seakan tidak mengerti, Tuan Min malah membalas tatapan tajam putranya. "Sampai kapan kau akan seperti ini terus Min Yoongi?" Tuan Min menghembuskan nafasnya kasar. Dia sama sekali tidsk mengerti dengan sifat kekanakan Min Yoongi yang satu ini. Ini bahkan sudah tiga hari, ingin menangis tanpa henti pun, sesuatu yang sudah pergi tidak bisa kembali lagi. Seharusnya Yoongi sudah paham itu. "Kau tidak tau betapa khawatirnya kami? Terutama ibumu, setiap malam dia selalu mencemaskanmu, hampir tak pernah tidur  nyenyak karena memikirkan anaknya yang sibuk mengurung diri di kamar. Aku tau kau tidak bisa menerima semua ini. Tidak, bahkan tidak akan pernah bisa. Tapi setidaknya jalani hidupmu terus kedepan. Bawa dia di setiap langkah mu, meskipun semua terasa berat, tapi hidup akan terus berjalan , yoongi-ya."  Yoongi masih tidak bergeming di tempatnya. Pandangan pria itu tetap terfokus pada semangkok nasi yang kini terlihat sangat menjengkelkan. Ayahnya sudah tau kalau ini tidak bisa diterima begitu saja, lalu kenapa harus repot-repot? "Kau tau betapa banyak orang yang terluka melihatmu terluka?? Aku, ibumu, teman-temanmu, dan dia. Gadis itu juga pasti akan terluka. Tidakkah kau memikirkannya?" Yoongi hanya membuang wajah asal. Ayahnya mungkin benar. Semua orang terluka melihatnya seperti ini, terutama sang ibu. Orang yang selalu setia disampingnya, apalagi disaat seperti ini. Tapi, dia juga tidak bisa membohongi perasaannya sendiri, Yoongi tidak bisa terlihat baik-baik saja, padahal di dalam sana sangatlah perih. "Aku tidak menyuruh kalian semua peduli padaku." "Min Yoongi!!"  Emosi Tuan Min tidak dapat ditahan lagi. Bahkan kini tangannya sudah mengepal kuat. Wajahnya memerah menahan marah. Anaknya memang benar-benar keras kepala. Diberitahu baik-baik malah melawan seperti merasa yang paling benar. "Aku mencoba membawamu keluar dari emosi yang tidak bertuan itu! Dan kau malah merasa menjadi yang paling benar?" "Aku tidak merasa yang paling benar. Asal appa tau, kau yang berkata seolah paling paham perasaanku." Min Yoongi menjawab ucapan sang ayah dengan santai. Seolah pria paruh baya dihadapannya itu hanyalah penganggu yang tidak sepatutnya diladeni. Tentu saja emosi Tuan Min sudah di ujung kepala.  "Kau sudah gila." Yoongi tersenyum kecil. Ayahnya belum tau saja dia sudah menjadi gila sejak tiga hari yang lalu.  "Memang." "Baiklah, kau perlu di obati. Besok kau akan ku kirim ke Seoul Hospital. Aku akan suruh beberapa dokter untuk menyembuhkanmu. Kau memang sudah gila. Aku tidak menerima penolakan Min Yoo-" "Yeobo!!" Kini giliran Nyonya Min yang tidak bisa menahan emosinya. Ia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran suaminya saat ini. Ini gila. Ya, dia rasa suaminya lah yang seharusnya masuk rumah sakit, bukan Yoongi. Yoongi hanya butuh istirahat beberapa hari, pendekatan, dan ia yakin setelah itu Yoongi pasti akan sembuh seperti semula. "Arraseo, tapi jika suatu waktu emosi si gila ini tidak dapat ditahan, jangan salahkan aku jika melukai siapa pun yang ada di dekatku." "Yoongi-ya." Nyonya Min semakin kalap saat sang anak justru mengindahkan ucapan suaminya. Min Yoongi itu keras kepala, sama seperti ayahnya. Jika sudab begini tidak ada lagi yang bisa dilakukan. "Hm, maka dari itu kau perlu diobati. Bersiaplah untuk besok." Tuan pergi meninggalkan ruangan yang berubah menjadi panas itu. Menyisakan Min Yoongi yang mulai memasukkan sesendok nasi dengan irisan daging pada mulutnya dan Nyonya Min yang masih diam. "Yoongi-a, kenapa kau tak melawan ayahmu? Biasanya kau melawan ayahmu jika keinginannya yang tidak kau sukai. Kemana Min Yoongi ku yang dulu yang selalu melawan ayahnya? Aku tau kau tidak menginginkan itu,  kenapa tidak kau lawan Min Yoongi?" Yoongi berjalan kerah Nyonya Min, memeluk tubuh sang ibu dari belakang. "Eomma, tenanglah. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak ingin menjadi Min Yoongi yang dulu lagi. Jika aku tidak bahagia di sini, dia juga harus begitu di sana. Dia tidak boleh bahagia, bukankah eomma bilang jika aku kembali menjadi min yoongi yang dulu yang selalu tersenyum, min yoongi yang ramah, dia akan bahagia? Maka dari itu, aku akan menjadi min yoongi yang dingin, tanpa ada yang tau siapa aku sebenarnya." Nyonya Min yang mendengar uacapan anak semata wayangnya hanya bisa pasrah. Ia benar-benar yakin betapa berharga gadis itu dalam hidup putranya. Gadis yang telah pergi 4 hari yang lalu. Jung Yerin. Dia ditemukan mati menggenaskan di rumahnya sendiri. Naasnya, orang pertama yang melihat mayat Yerin adalah pria ini, Min Yoongi. Kekasih dari Jung Yerin. Ketika dulu Yerin lah yang menjadi penyemangat Yoongi, tapi sekarang penyemangat itu sudah pergi jauh tanpa bisa digapai kembali. Dan kini, Nyonya Min merasa putranya sedang berusaha melupakan gadis itu, melupakan semua kenangan indah mereka, lalu hanya menyisakan kenangan pahit. Tapi sekeras apapun Yoongi mencoba, Nyonya Min yakin jika pria itu tidak akan sanggup. Membenci Yerin adalah sebuah kemustahilan Min Yoongi. Gadis itu terlalu berharga baginya. "Arraseo. Jika itu bisa membuat putraku tersenyum lagi, lakukanlah sayang."  "Terimakasih, eomma." "Jangan paksa dirimu, Yoon." "Aku akan sering menelpon." "Itu wajib, berjanjilah" Yoongi mencium puncak kepala sang ibu sebelum berlalu ke kamarnya. Yoongi sudah bertekad, ia tidak akan pernah lagi menjadi Min Yoongi yang cengeng, semua sifatnya yang dulu akan berbanding terbalik dengan dirinya yang sekarang. Dia tidak akan pernah membuka hatinya untuk gadis manapun. Min Yoongi terlalu membenci keadaan ini.  Separuh jiwanya pergi, maka bagi Yoongi dia akan menjadi jiwa yang lain. Tidak ada lagi Min Yoongi yang dulu, pria yang saat ini hidup dalam raga itu adalah pria lain yang baru saja hidup atas rasa benci.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD