Pria Menyebalkan

1835 Words
“Bawa Mbak-nya ke rumah sakit, lihat tuh lukanya,” kata seorang pria berjaket coklat. Ara menatap luka di kaki dan tangannya. “Iya, saya yang akan bertanggung jawab,” sahutnya lagi tanpa menatap Ara. Pria itu meminta sopirnya mengurus motor Ara. Dengan cekatan sopirnya menghubungi bengkel langganan mereka sementara pria itu menarik tangan Ara masuk ke dalam mobil. Selang beberapa saat pria itu duduk di belakang kemudi setelah berbincang sebentar dengan sopirnya. Ara merasa gugup karena mereka hanya berdua di dalam mobil. “Maaf, Pak saya nggak apa-apa. Ini luka kecil,” kata Ara. Pria itu tidak menjawab. Ia terlihat ketus, menganggap kalau Ara tidak ada di sampingnya. “Gara-gara kamu saya jadi telat ke kantor,” kata pria itu membuat Ara kaget. Baru beberapa menit lalu ia terlihat baik, tapi sekarang pria itu berubah. Ara mulai jengkel. “Jangan salahin saya, mobil bapak yang nyenggol spion.” Ara membela diri. Ia tidak mau mengalah. Kekagumannya pada pria tampan itu seketika sirna. “Itu karena kamu melajunya pelan. Coba motor kamu melajunya cepat sopir saya nggak mungkin nyalip, terus nyenggol motor kamu. Lain kali kalau di jalan jangan melamun,” ujarnya marah. Ara melihat kedua tangan pria itu meremas setir kuat-kuat. “Kenapa saya yang jadinya salah? Saya ini korban bapak tersangka kenapa jadinya terbalik? Lagian ya, Pak, kita nggak boleh ngebut di jalan. Kalau bapak buru-buru yang salip saja, juga saya motoran di pinggir,” ucap Ara. Ia heran kenapa harinya tidak pernah mulus. Selalu ada pertengkaran yang tiada henti. Tidak di rumah, di jalan pun juga sama. “Kamu bilang di pinggir? Harusnya kamu sadar posisi motor kamu. Sopir saya sudah klason berkali-kali, tapi kamu nggak mau minggir. Makanya kalau naik motor itu fokus,” ujar pria itu lagi. “Terus mau bapak apa sekarang? Mau laporin saya ke polisi? Silakan saja, saya punya banyak saksi mata yang melihat kalau mobil bapak nyenggol motor saya.” Untuk pertama kalinya pria itu menoleh pada Ara. Gadis itu tidak lagi memikirkan ketampanan pria itu. Ia sudah jengkel karena dimarah-marah. Bukannya minta maaf dan merasa bersalah malah menyalahkan orang lain. Pria itu kembali menatap ke depan, fokus pada jalan menuju klinik atau pusat pengobatan terdekat. “Saya sudah terlambat meeting gara-gara kamu,” katanya lagi, tidak berhenti menyalahkan Ara. “Ya, sudah bapak tinggalin saja saya di jalan. Saya bisa pergi ke puskesmas sendiri. Biar bapak puas menelantarkan saya,” kata Ara. Tanpa banyak bicara pria itu menepikan mobilnya. Ara menggaruk kepalanya karena pria itu menurut. “Bapak beneran mau nurunin saya di sini? Itu klinik ada di depan, sekitar 100 meter lagi. Gak sekalian saya diturunin di depan klinik?” tanya Ara. Pria itu diam tak menanggapi ucapan Ara. Mobil sudah menepi lalu pria itu keluar membukakan pintu untuknya. Ia menarik tangan Ara yang sakit sehingga gadis itu merintih. “Aww! Pak jangan keras-keras. Ini tangan saya sakit,” teriak Ara. Namun, suaranya dikalahkan oleh suara bisingnya kendaraan. Pria itu tidak menjawab ia merogoh saku dalam jasnya lalu mengeluarkan sesuatu. “Saya tidak membawa uang tunai. Ini kartu nama saya, kamu bisa datang ke kantor saya untuk mendapat biaya pengobatan asal kamu membawa bukti pembayaran.” Pria itu meraih tangan Ara lalu memberikan kartu namanya. Ara merobek kartu nama itu tanpa membaca terlebih dahulu. “Saya nggak butuh kartu nama Anda. Dompet saya sudah penuh, gak ada tempat lagi buat naruh kartu nggak penting itu. Saya heran ada manusia gak punya hati seperti Anda. Semoga hari Anda menyenangkan,” kata Ara lalu pergi meninggalkan pria itu. Ara berjalan pincang karena rasa ngilu di kakinya mulai muncul. Beberapa saat lalu ia merasa baik-baik saja, tapi sekarang ia merasa tubuhnya sakit. Mobil pria itu melaju melewati Ara. Ia menatap lekat plat mobil itu lalu megingatnya baik-baik. “Awas saja kalau ketemu lagi. Gue kasih pelajaran, biar kapok,” kata Ara. * Ara yang baru pulang segera memarkir motornya di halaman. Sengaja ia tidak menghidupkan mesinnya agar sang ibu tidak tahu masalah kecelakaan yang ia alami. Setelah menjalani perawatan di klinik Ara mendapat telepon dari bengkel yang mengatakan motornya sudah diperbaiki, yang lebih membuat ia senang semua biaya sudah ditanggung. Sekalian saja ia minta digantikan oli. Ara membuka sedikit pintu depan rumahnya. Setelah memastikan kondisi aman terkendali ia pun membuka lebar pintu itu. “Habis dari mana?” Ara terlonjak kaget mendengar suara ibunya. Ara berbalik menatap ibunya berdiri tepat di belakangnya sembari membawa jemuran. “Ibu,” ucap Ara sembari tersenyum. “Itu kenapa luka-luka?” tanya Diana membuat Ara tertunduk menatap luka yang tidak tertutup. Perawat yang menanganinya mengatakan lukanya tidak terlalu parah. Hanya perlu diolesi obat merah akan sembuh. Lukanya pun tidak perlu ditutup supaya cepat kering. “Itu … tadi Ara jatuh diserempet mobil,” jelasnya. “Ya, ampun Ara. Sudah berapa kali ibu bilang kalau bawa motor jangan ugal-ugalan. Kamu kira itu jalan punya keluarga kita?” ucap Diana membuat Ara kesal. “Bu, Ara yang jadi korban bukan orang itu,” ujarnya. “Tetap saja pasti kamu ada salah juga. Terus motor kamu gimana? Rusak parah nggak? Dia mau tanggng jawab nggak?” tanya Diana tanpa henti. “Kenapa ibu lebih perhatian sama motor dari pada anak sendiri?” Ara segera masuk ke dalam rumah dengan amarahnya. Ia mengunci rapat pintu kamarnya lalu duduk di atas tempat tidur. Ia sudah lelah berada di rumah, meski ia juga bekerja freelance. Sepertinya Ara memang harus bekerja di luar untuk menghindari pertengkaran dengan ibunya. Ara meniup luka di kakinya kemudian mengeluarkan obat merah dari saku yang ia beli di apotek. “Cepat sembuh, ya, kaki dan tangan. Kalian harus kuat biar gue bisa kerja,” gumamnya. Selesai mengoles obat merah ke luka, Ara pun kembali berselancar menggunakan ponselnya mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan. “Dicari sekertaris yang handal, percaya diri, bekerja dibawah tekanan dan tidak mudah menyerah. Sabar, jujur, cekatan dan tidak cengeng. Kuat fisik dan mental, serta bersedia lembur sewaktu-waktu. Gaji diatas UMR ditambah bonus dan tunjangan,” kata Ara saat membaca iklan lowongan pekerjaan. “Ini beneran nyari sekertaris?” gumamnya. Meski sedikit janggal, Ara mencoba mencari tahu tentang perusahaan itu. Setelah yakin ia pun mengirim lamaran melalui email. * Seorang pria dan wanita menundukkan kepala di depan pria bertubuh tinggi yang sudah menanggalkan jas mahalnya. Setumpuk dokumen dilempar ke meja menimbulkan suara yang cukup keras.Keduanya tersentak karena bos sedang marah. Tidak ada yang berani menatap pria pemarah itu. Bahkan mereka hanya diam meski sering dibentak-bentak. “Dari sekian banyak kandidat yang melamar kenapa sampai sekarang belum ada sekertaris untuk saya? Kalian bisa kerja atau tidak? Saya bisa ganti kalian dengan karyawan baru,” ujar pria itu seraya berkacak pinggang. Hari ini ia sangat marah, pagi tadi ia terlambat datang rapat dan sekarang ia belum mendapatkan sekertaris. Sudah seminggu lebih posisi sekertaris kosong. Karyawan di perusahaan itu tidak satu pun yang bersedia naik jabatan. Alih-alih menunjuk karyawan lama HR justru memutuskan mencari orang baru. Namun, sayang belum ada yang bersedia bekerja di bawah tekanan. Hampir semua orang yang dipanggil interview menyatakan mundur ketika HR menceritakan watak bos-nya. Tidak semua sifat bos galak itu diceritakan hanya sebagaian kecil, tapi hal itu langsung membuat calon pengganti mengurungkan niat bekerja di perusahaan itu. “Kenapa kalian diam saja? Kalian pikir saya ini pajangan yang tidak bisa diajak bicara?” ucapnya dengan nada tinggi. Pria berkemeja hitam itu memberanikan diri mendongkak menatap wajah tampan bosnya yang terlihat mengerikan. “Berikan kami waktu beberapa hari, Pak Julian. Kami akan menemukan orang yang tepat untuk Bapak,” jawabnya. Julian menarik kursi kerjanya lalu duduk sesantai mungkin. Harinya benar-benar kacau. Ia kesal karena semua rencananya berantakan. Belum lagi ia mendapat laporan akhir bulan tentang kondisi keuangan perusahaan yang semakin menurun. “Kalian pergi. Saya tidak mau melihat kalian berdua di ruangan saya sebelum saya mendapatkan sekertaris. Secepatnya,” kata Julian penuh penekanan. Kali ini nada suaranya terbilang normal, tapi tatapan matanya belum bersahabat. Kedua orang itu akhirnya pergi meninggalkan ruangan Julian yang besar. Bahkan ruangan itu terdapat akuarium yang memiliki banyak ikan-ikan hias. Julian beranjak dari tempat duduk mendekati akuarium kesayangannya. Cara untuk mengobati rasa kesalnya adalah dengan memberikan makan ikan kesayangan. Julian tersenyum tipis melihat ikan itu makan dengan lahap. “Hah, kenapa bisa seperti ini? Saya lelah, mau istirahat. Hei, Prety tolong hibur saya,” ucapnya pada ikan berwarna biru. Seulas senyum kini terbit di wajahnya untuk pertama kali di hari itu. * Ara merasa hidupnya penuh kesialan. Tubuhnya benar-benar sakit setelah ditabrak mobil. Bahkan saat ia terbangun di pagi hari tubuhnya terasa remuk. Tidak ada semangat meski cuaca di luar terlihat cerah. Matahari sudah tinggi bersinar menghangatkan udara di kamarnya. Suara Diana yang menggelegar mengisi seluruh ruang di rumah membuat dirinya tidak bersemangat. “Kamu masih tidur?” tanya Diana pada anaknya. Ara hanya diam tidak beranjak dai tempat tidur. Ia tidak ingun mendengar suara ibunya, terlebih kondisinya kini sedang sakit. “Ibu kalau mau marah jangan sekarang. Aku lagi sakit.Kalau sudah sembuh silakan marah lagi,” ujarnya dengan suara serak. Diana menatap wajah pucat anaknya lalu menutup pintu kamar. Ara menghela napas, ia tidak tahu kenapa sang ibu begitu tidak peduli padanya, tapi ia masih bersyukur pagi ini tidak mendengar ocehan Diana. Ara menarik kembali selimutnya untuk beristirahat.Baru saja matanya terpejam pintu kamarnya terbuka. Diana muncul membawa makanan. Ara tersentuh akan perhatian kecil itu yang membuat ia seketika merasa bersalah. “Kamu belum sarapan, ini ibu bawakan makanan. Kamu bisa makan sendiri, ‘kan?” tanya Diana seraya meletakkan makanan di atas meja. “Aku bisa makan sendiri. Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan,” kata Ara. Diana menghampirinya lalu megusap kepala anaknya sebentar sebelum keluar dari kamar. Ara memejamkan matanya dalam hati ia berdoa memohon maaf pernah marah dan membentak sang ibu. “Tuhan maafkan Ara. Ara janji akan bahagiakan kedua orang tua, tapi tolong kasih Ara pekerjaan biar ibu dan bapak nggak marah lagi,” gumamnya. Selang beberapa saat ponselnya berdering. Ara meraih benda persegi panjang itu lalu melihat nomor yang tertera pada layar.Tanpa banyak berpikir Ara menerima panggilan itu. “Iya, halo selamat pagi,” ucap Ara menjawab salam dari seberang. “Benar dengan Ibu Araya Larasati?” tanya seorang wanita dari seberang. “Iya, benar saya sendiri.” Ara segera bangkit lalu menyusun bantal untuk bersandar. “Apa nanti sore jam 3 ibu bisa datang ke kantor untuk interview?” Ara menjauhkan ponselnya seraya berpikir apakah Tuhan sebaik ini padanya. Belum sejam berlalu ketika ia berdoa kini Ara mendapatkan panggilan interview. “Halo Bu, apakah Anda bisa datang ke kantor?” Ara segera sadar dari lamunan. “I-iya, saya bisa. Saya akan hadir,” ucapnya gugup. “Baiklah kalau begitu kami tunggu kehadiran ibu di kantor. Jangan lupa membawa berkas lamaran, ya, Bu. Selamat pagi.” Panggilan terputus, tapi Ara tak bergeming dari tempatnya. Ia belum sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. “Ini bukan prank,’kan?”gumamnya lalu menatap riwayat panggilan. “Gue bakalan interview?” Ara mengepalkan tangannya bahagia. Rasa sakit di sekujur tubuh dalam sekejap menghilang. Ia kembali bersemangat. Seolah mendapat suntikan energy di pagi hari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD