Hana mengusap luka di sudut bibir Karen dengan kain basah yang sudah dicelupkan cairan obat oleh tabib Istana Bunga. Dimana biasanya tabib sudah dipersiapkan khusus berada di Istana Bunga untuk menangani semua keperluan yang ada di Istana Bunga jika ada para selir atau dayang yang jatuh sakit.
Pintu terketuk dan Nisaka masuk dengan senampan berisi makan siang lengkap dengan sayur dan biji-bijian yang diolah matang. Kepulan uap panas terlihat saat nampan kayu itu ditaruh di atas meja dekat dengan Karen.
"Semoga lukamu tidak membekas terlalu lama, Putri," Nisaka ikut duduk di samping Hana yang masih menekan luka di sudut bibir Karen dengan perlahan. Membuat Karen meringis kecil dan menjauhkan tangan Hana darinya.
"Aku tidak apa, Hana."
"Tidak boleh meninggalkan luka apa pun, Putri," Nisaka berbicara menyuarakan pendapat Hana yang tertahan. "Raja akan marah."
"Ah, ini suatu kehormatan untukku karena kepala dapur mau berkunjung ke kamar untuk memberikanku makan siang," Karen tersenyum saat Nisaka merona mendengar pujiannya. "Senang melihatmu, Nisaka. Aku tahu kau akan datang."
"Aku ingin melihatmu, Putri. Tamparan itu sangat keras dan Selir Parviz sangat sombong karena menamparmu tanpa meminta maaf," Nisaka menggelengkan kepalanya. "Dia harus diberi pelajaran, uh!"
Karen menahan senyumnya. Matanya jatuh pada kepulan sayur yang masih panas dan tampak lezat. "Untukku?"
Nisaka mengangguk. "Aku melihat piringmu utuh dan hanya memakan sepotong daging. Aku mencemaskanmu karena tidak turun untuk makan siang dank arena insiden saat sarapan itu sedikit menggangguku," Nisaka menata mangkuk dan segala makanan di atas meja dengan hati-hati. "Aku mengabdikan diri padamu, Putri."
"Panggil Karen saja," Karen mengambil satu suapan daging goreng ke dalam mulutnya dan menatap Nisaka serta Hana bergantian. "Kalian berdua boleh memanggilku dengan nama kecilku."
"Aku keberatan, Putri."
Karen menatap Hana jengah dan kembali pada Nisaka. "Oke, itu berlaku untukmu." Menunjuk Nisaka dengan sendoknya dan tertawa.
"Ya, baiklah. Akan kucoba."
.
.
Zidan masuk ke dalam ruangan dimana para dayang tengah memasangkan jubah kebanggaan Sang Raja di tubuhnya dan mengikatnya dengan kencang di sekitar bahunya. Dengan sopan, Zidan menunduk memberi salam. Membiarkan para dayang menyelesaikan tugasnya sebelum dia bicara.
"Kekuasaan barat berhasil dibawah tangan Anda, Yang Mulia. Hanya tinggal beberapa titik penting yang menjadi jalur perdagangan terbesar yang harus kita ambil untuk pemasukan kerajaan," ucap Zidan.
Azada mengusap dagunya, kedua mata gelapnya tampak dingin. "Dan berarti itu sangat dekat dengan klan Miura?"
Zidan mengangguk mantap.
"Jangan terburu-buru, Zidan, santai saja," Azada bangun dari kursinya dan duduk di singgasana kebanggaannya dengan wajah angkuh. Menatap Zidan dari atas dengan wajah tak terbaca. "Biarkan mereka berpikir. Aku bahkan berani bertaruh atas nama margaku kalau Miura Ezra tengah dilanda kebingungan yang teramat sangat," Azada menyeringai. "Kedua adiknya tidak ada digenggaman tangannya. Pikirannya terbelah."
Azada bersandar dengan wajah puas. Penuh kemenangan. "Ah, ideku benar-benar cerdas dengan membuat jebakan kecil untuk kedua anak kelinci yang manis."
Zidan menatap sang penguasa dengan tatapan dalam.
"Apakah Anda berniat membunuh Selir Miura?"
Azada menurunkan matanya, menatap Zidan dengan tatapan dingin menakutkan miliknya. "Semua sudah tergambar jelas di dalam kepalaku," Azada menunduk, menyembunyikan kilatan mata kejamnya. "Bahkan bagaimana cara membunuh gadis manis itu dengan tanganku sendiri."
.
.
Ayyara mengusap lengannya yang memar dengan mata menahan tangis. Rasanya mati rasa. Seluruh tubuhnya mati rasa dan kakinya teramat sakit hingga membuatnya tak mampu berdiri. Benar-benar! Raja sialan itu ingin membunuhnya!
"Hei, keluarkan aku!"
Ayyara berteriak. Membuat dua penjaga yang berjaga di dekat pintu meliriknya sebelum akhirnya diam. Tidak meresponnya. Membuat Ayyara kembali mendengus. "Keluarkan aku, bodoh!"
"Diamlah, Putri," salah satu dari mereka berdecak. Menyentuhkan pedangnya pada penjara besi yang kini mengurung Ayyara di dalamnya. "Kau berlaku salah dengan berusaha menusuk Raja dengan belati yang sudah kau oleskan racun. Hukuman mati siap menunggumu." Dia memukul pedangnya dengan keras, membuat Ayyara menggeleng dan terjatuh ke atas lantai yang dingin dan kembali menangis.
"Siapa pun selamatkan aku!" Isaknya keras. Membuat dua penjaga itu tertawa puas melihat siksaan yang raja berikan pada selirnya.
Ayyara kembali menangis. Memeluk dirinya yang lemah dengan bahu bergetar hebat. Dia terlalu sibuk menangis sampai tidak sadar kalau pintu penjaranya sudah terbuka, dengan seseorang berjubah merah darah berjongkok di depannya, mengulurkan salah satu tangannya untuk membuka lipatan tangan itu dan mengangkat dagunya.
"Jangan menangis," suara itu membuat tubuh Ayyara menegang. Dia tahu siapa pemilik suara ini!
"Pergi ... jangan sentuh aku ..." Ayyara menepis tangan itu dan bergerak mundur. Menjauhi tangan si pria yang sedang tersenyum karenanya.
"Kau berteriak minta tolong dan aku datang menolongmu. Kenapa kau menolakku?"
"Aku mau kakakku dan bukan dirimu!"
Matteo Sai menahan senyumnya.
"Yang Mulia,"
Senyum manis itu lenyap tak berbekas saat dua prajurit berpakaian baja berdiri setelah menunduk hormat padanya. Tangan Sai yang menggantung di udara jatuh terkepal di atas paha, menatap Ayyara dengan pandangan datar sebelum akhirnya dia memberi pukulan kecil di belakang leher gadis itu hingga Ayyara tidak sadarkan diri.
.
.
"Apa itu sakit?"
Karen menoleh pada Nisaka saat mereka duduk berdua di taman dapur. Tatapan mata Karen jatuh pada wajah polos gadis itu. Nisaka, namanya secantik wajahnya.
"Ini?" Karen menunjuk sudut bibirnya yang kini membiru. "Tidak apa. Tabib sudah memberikan obat. Besok juga hilang," Karen mengangkat bahunya, menatap belakang Istana Bunga dengan tatapan kosong. "Apa klanmu?"
Nisaka menunduk, menatap remasan tangannya di atas paha. "Ikeda."
"Aku tahu itu," Karen tersenyum. "Itu klan yang makmur. Klanmu menjadi contoh untuk klan lainnya dalam bertani dan berkebun. Pantas saja kau suka memasak, Nisaka," Karen terkekeh. Menyadari ada rona merah di kedua pipi ranum Nisaka. "Masakanmu yang terbaik. Darimana kau belajar?"
"Ayahku."
Karen mengangkat alisnya.
"Ayahku adalah koki kerajaan. Dia memilih untuk mundur dan beristirahat. Memilih untuk mencintai kebun di belakang rumah kami dan berkumpul bersama adik dan ibuku. Aku bertugas menggantikannya."
"Ah, begitu," Karen mengangguk. "Klan Ikeda bersumpah untuk setia pada kerajaan ini?"
Nisaka mengangguk kecil.
"Maaf mengganggu kalian, tapi bisakah aku mendapatkan minuman hangat di dapur ini?"
Karen dan Nisaka menoleh bersamaan mendengar suara berat seorang pria yang berdiri di balik pintu dapur dengan gelas di tangannya. Nisaka segera berdiri, mengambil gelas dari tangan Jenderal Zidan dan melesat ke dapur.
Karen menatap Zidan yang mengikuti pandangan gadis itu sampai mata mereka bertemu. Karen mendengus, berdiri dari kursi dan berjalan mendekat. "Matamu menjelaskan segalanya," Karen tersenyum jahil. "Sudah berapa lama?"
"Apa?"
"Kau menyukainya."
"Aku tidak bilang aku menyukainya," sanggah Zidan. Dia menoleh saat Nisaka memberikannya segelas minuman hangat dari guci besar. Zidan menatap Nisaka yang menunduk dan kembali pada Karen setelah menunduk sopan. "Aku harus pergi." Tatapan birunya jatuh pada sudut bibir Karen yang membiru. Napasnya tercekat selama beberapa saat sebelum akhirnya dia berhasil membawa tubuhnya pergi dari dapur.
"Jenderal Kelas Satu itu menyukaimu," Karen mengangkat gaunnya, tersenyum pada Nisaka yang memandangnya bingung sekaligus ragu. Karen mengibaskan tangannya, berjalan menjauhi dapur dengan tanda tanya besar di kepala Nisaka.
.
.
"Putri Karen!"
Karen menoleh saat Gazala berlari mendekatinya. Gadis itu tampak lebih baik dan kedua matanya yang berbinar cerah membuat perasaan Karen lega.
"Ada apa?"
Gazala tertawa. "Aku dengar akan ada perayaan bulan purnama besok malam. Itu artinya, seluruh selir akan berkumpul di taman Istana Bunga dan menari. Bersama para pangeran kerajaan lain."
"Apa ada yang seperti itu?" Karen mengerutkan dahinya. "Maksudku, apa kerajaan ini membolehkan ..."
"Untuk formalitas dan ujian bagi para selir dalam hal kesetiaan mereka," jawab Gazala.
"Ah," Karen terdiam, menyadari kalau dia melewatkan satu hal tentang ini. Kenapa Ezra tidak pernah datang?
"Apa lukamu sudah membaik?" Gazala menatap sedih sudut bibir Karen. Tatapannya sendu ketika dia berulang kali mengucapkan kata maaf dan Karen memegang tangannya, tersenyum menenangkan.
"Aku baik-baik saja."
"Itu pasti sakit," Gazala bergumam sendu. "Selir Parviz benar-benar wanita jahat! Pantas saja seluruh selir membencinya!"
"Termasuk dirimu?"
Gazala terkekeh. "Aku membencinya. Tapi karena aku tidak punya kuasa apa pun untuk membalasnya, aku diam. Selir Parviz berkuasa besar di sini. Di dalam istana ini. Dimana pun dia melangkah, orang-orang akan menghormatinya," Gazala menggeleng dengan wajah sebal. "Dia bertingkah seolah-olah dia adalah calon permaisuri. Itu menyebalkan."
"Jika itu kemauannya, kenapa Raja Maritz tidak menjadikannya permaisuri sejak lama?"
"Aku tidak tahu," Gazala menepuk dahinya. "Aku lupa. Aku harus ada di ruang menjahit lima menit sebelum ruang ditutup. Aku harus pergi. Sampai nanti, Putri." Gazala menunduk memberi salam dan Karen membalasnya dengan senyum. Membiarkan wanita itu berlari bersama dengan dayang yang mengejarnya.
Ah, Gazala mengingatkannya pada Ayyara.
Dan Karen memegang dadanya yang tiba-tiba sesak.
.
.
Hana menyisir rambut panjang Karen dengan lembut dan hati-hati. Takut merusak keindangan rambut yang mempesona itu jika dia melakukannya dengan kasar. Karen menatap pantulan dirinya di cermin. Berulang kali menguap dan Hana yang menegurnya lembut.
"Aku benci ini," Karen melotot di depan cermin. Menatap bekas lukanya yang mulai keunguan. "Selir Parviz benar-benar membuatku ingin melayangkan tinju di wajahnya," Karen menatap Hana yang menahan senyum. "Kau setuju jika aku menghajarnya dan membuatnya berlutut untuk minta maaf?"
Hana mengangkat bahunya. Menaruh sisir di meja rias dan mulai menata rambut Karen dengan mutiara. "Itu tidak baik, Putri. Para dewan akan menghukum perbuatan yang Putri lakukan."
"Dewan itu pasti berasal dari klannya," Karen mendesah berat. Menatap rambutnya yang kini terikat panjang. "Aku merasa percaya diri karena secara tidak langsung dia mengakui kalau aku cantik, bukan begitu?"
Hana terkekeh geli. Membuat Karen tertawa.
.
.
Hana berlari menghampiri Karen yang bersembunyi di kamarnya. Suara gaduh mulai terdengar di luar kamarnya. Membuatnya ingin berlari melompati balkon kamarnya tapi diurungkannya.
"Putri, kita harus pergi!" desak Hana. "Istana Bunga diserang pemberontak."
Karen belum sempat menjawabnya saat Hana menarik tangannya. Karen melemparkan tatapan terakhirnya pada balkon Maritz Azada yang terbuka dan tanda-tanda pria itu di sana tidak ada. Karen berlari, mengangkat gaunnya bersama Hana yang mulai menuruni tangga.
"Pakai jubah ini." Salah satu prajurit datang menghadang mereka. Karen menurutinya. Hana sudah memakainya. Itu bagus untuk penyamaran mereka ke tempat yang lebih aman. Karen melihat ada asap hitam di udara. Berasal dari sayap kanan Istana Bunga dimana para selir sudah berlari menyelamatkan diri. Kekacauan dimana-mana.
Karen memakai jubahnya dengan cepat. Dia mengikuti Hana menuju jalan-jalan yang sudah dihapalnya ke tempat yang lebih aman. Karen menatap beberapa dayang yang ikut mengawal kepergian selir yang menyelamatkan diri. Mata Karen menyipit saat melihat Nisaka merapikan beberapa barang dan pergi. Membuatnya ingin memanggil gadis itu namun tertahan.
Hana terus menariknya dan mata Karen tidak pernah lepas dari Nisaka yang tengah ketakutan. Dia melepas tangan Hana dari tangannya dan berlari menuju Nisaka saat ada dua pria menyekap gadis itu dan membawanya ke suatu tempat.
"Putri!"
Hana berteriak memanggil nama Karen yang mulai hilang dari pandangan matanya karena para dayang dan selir Istana Bunga berhamburan mencari tempat aman saat asap pekat itu semakin mengaburkan pandangan mereka.
Karen berlari, menemukan Nisaka yang menangis di atas tanah dengan luka robekan di sikunya. Karen menunduk, melepas tudung jubahnya dan melempar pecahan kaca dapur yang berserakan di atas tanah pada salah satu pria berhidung besar yang hendak memukul Nisaka.
"Pergi atau aku akan berteriak!"
Nisaka menggeleng. Menyuruh Karen pergi dengan tatapan matanya.
"Satu,"
Pria itu terkekeh.
"Dua,"
Karen menatap dua pemberontak itu tajam.
"Tiga,"
Dan Karen melempar pecahan kaca itu pada mereka. Dia tidak peduli tangannya tergores karena pecahan kaca itu dan darah mengalir. Dia sebisa mungkin mendekat bermodalkan nyali dan pecahan kaca itu, melukai keduanya dan membawa Nisaka pergi.
"Putri," Nisaka memanggilnya dengan napas terengah. "Kau ... tidak seharusnya,"
Mata Nisaka melebar saat anak panah itu melesat melukai punggung Karen yang menjadi perisai untuknya. Karen memegang perutnya yang mulai terluka hebat dan pandangannya mulai kabur. Hanya ada bayangan wajah Nisaka yang terluka dan menangis memanggil namanya sebelum dirinya benar-benar tak sadarkan diri.
"Tidaak!"
.
.
"Bagaimana lukanya?"
Tabib wanita itu, Zaida menggeleng dengan senyum setelah mengusap peluh di dahinya. Dia memperhatikan perban yang membalut perut ramping Karen dengan dalam sebelum bangun dari tempat tidur dan menyuruh ketiga anak buahnya pergi.
"Aku sudah menahan darahnya agar tidak keluar lebih banyak. Putri Karen akan membaik dalam jangka waktu empat sampai lima hari ke depan," Zaida berdiri. Memberi salam pada Raja yang berdiri bersandar memegang katana di depannya dan berpamitan pada Jenderal Kelas Satu yang menatap cemas pada sosok wanita di depannya.
Hana menunduk dalam. Tidak berani mengangkat kepalanya barang sedikit saja karena kaisar mereka ada di dalam ruangan. Dia terus menunduk, sebisa mungkin menahan air matanya karena melihat Karen yang tak berdaya akibat anak panah itu.
"Dua selir dan empat dayang terluka. Putri Miura termasuk salah satunya," lapor Zidan pada Azada yang masih diam memandang Karen di depannya.
"Dia menyelamatkan putri Laydin?"
Zidan mengangguk.
Azada menyimpan katana di balik jubahnya dan berjalan pergi tanpa kata. Zidan dan Hana berlutut saat Azada berjalan melalui mereka dan membanting pintu dengan kasar. Hana mengangkat kepalanya, bertemu pandang dengan mata biru laut milik Jenderal Kelas Satu itu.
"Biarkan Putri Karen di sini selama beberapa saat sampai dia benar-benar pulih. Istana Merah aman karena dibawah pengawasanku. Tetaplah di sini," Hana mengangguk mendengar perintah Zidan.
Zidan melangkah ke luar kamar. Mendapati Nisaka berlutut di depan pintu kamar dengan wajah memerah dan luka yang sudah berbalut perban. Zidan mengepalkan tangannya, menatap dua prajurit yang berjaga di belakangnya.
"Pergilah."
Nisaka tetap diam.
"Kau mendengarku."
"Tidak, Jenderal. Aku akan tetap di sini."
Mata Zidan berubah dalam. "Dengarkan aku, Nisaka."
"Maafkan aku, Jenderal. Aku tetap pada sumpahku untuk menunggu Putri Karen bangun."
Zidan berbalik pergi meninggalkan Nisaka yang mulai menangis dalam diam mendegar suara langkah kaki yang mulai menjauh perlahan-lahan.