Dira berusaha menahan lontaran kasar yang sudah ada di ujung lidahnya. Kemarahan yang ia rasakan rasanya cukup untuk membuatnya kehilangan kendali. Dira menarik napas panjang dan dalam.
Jadi inilah balas dendam yang ingin di lakukan olehnya, pikir Dira getir. Kenapa hal itu bahkan tidak mengejutkanya? Dira mengikuti setiap langkah Ethan lewat tatapan matanya. Laki-laki itu tampil bak penguasa. Begitu angkuh dan penuh percaya diri.
Bu Hani berdiri, menyambut kedatangan Ethan bagai menyambut rombongan presiden. Dira mendengus. Ethan memang bisa membuat orang-orang mau melakukan apa yang dia ingin orang lain lakukan.
Bukankah itu juga yang terjadi padamu?
“Selamat datang Pak Ethan, apa Anda datang untuk melihat gedung ini? saya sudah memberitahu—“
Ethan mengangkat satu tangannya. “Jika diizinkan saya ingin bicara dengan penghuni lama gedung ini,” ucap Ethan dingin. Pria itu masih marah padanya. Itu jelas.
Bu Hani mengerjap, tampak tersinggung karena ucapannya di potong, tapi dia berhasil pulih dengan cepat.
“Tentu saja, sebagai pemilik gedung ini kurasa Anda memang ingin bicara dengannya. Kalau begitu permisi.”
Bu Hani melempar senyum minta maaf pada Dira sebelum menjauh dan menghilang dari pandangan.
“Apa-apaan itu, Ethan? Kurasa kau memiliki terlalu banyak uang daripada akal sehat?”
“Tutup mulutmu! Semua ini tidak akan terjadi seandainya kau tidak berbohong. Sekarang terima konsekuensi dari kebohonganmu,” balasnya sinis.
Wajah Dira memucat. Ia mencoba mengubah taktik. “Ethan kumohon, jangan melakukan ini.”
“Aku tidak akan luluh meski kau menangis darah sekalipun. Kau membohongiku Dira. Bukan hanya satu hari, tapi 5 tahun!”
Oh Tuhan!
Dira buru-buru menutup pintu tokonya. Toh ia tidak akan bisa berjualan lagi di tempat ini bukan? Pikiran itu membuat perasaannya terjun bebas.
“Aku tidak bermaksud membohongimu,” ucapnya lemah, bahkan di telinganya sendiri kalimat itu terdengar menyedihkan.
Sorot mata Ethan semakin kejam. “Satu dua hari adalah waktu ketika seseorang tidak bermaksud berbohong. Kau menyembunyikan keberadaan putraku selama 4 tahun. Menurutmu bagaimana perasaanku mengetahui hal itu, Dira?”
Dira gemetar disekujur tubuhnya, tapi Ethan sama sekali tidak melunak melihatnya sebaliknya kemarahannya semakin membumbung karena berpikir Dira sengaja melakukan taktik licik itu untuk membuatnya kasihan.
Mata biru seterang langit itu mengedarkan pandangan.
“Di mana… siapa nama putraku?”
“Noah, namanya Noah dan dia bukan putramu, putra kita. Dia sedang bermain dengan Gen. Anak-anak seusianya suka bermain dengan teman sebayanya, Ethan,” jelasnya panjang lebar.
Ethan mengedarkan pandangan, perasaan jijik yang terukir di wajahnya yang tampan membuat perut Dira melilit. Yah, tempat ini mungkin bukan yang terbaik tapi inilah tempat yang membuatnya merasa nyaman dan aman. Di sini, tidak ada yang mendikte apa yang harus dan tidak harus ia katakan dan kenakan.
“Jadi, kau membiarkan putraku—“
“Putra kita.”
“tinggal di tempat kumuh dan miskin ini?”
“Ini Tidak kumuh. Tempat ini mungkin sederhana tapi bersih dan nyaman.”
“Inilah putraku, pewaris kekayaan Alexander, hidup miskin dan menggelandang.”
“Ethan please… tempat ini tidak mewah, tapi aku dan Noah menyukainya.”
“Apa kau pernah menanyakan hal itu padanya?”
“Apa?”
“Itu asumsimu atau putraku benar-benar mengatakan hal itu?”
Dira terdiam dan itu memberi Ethan kepuasan.
“Dia bahagia di sini,” tambah Dira lemah seolah hal itu bisa membenarkan tindakannya.
“Aku ingin kau meninggalkan tempat ini segera.”
Detik kalimat itu diucapkan Dira merasa seseorang memukul ulu hatinya dengan kekuatan menakutkan. Matanya melebar panik.
“Apa maksudmu?”
Wajah Ethan datar tanpa ekspresi saat melanjutkan ucapannya.
“Seperti yang dikatakan mantan induk semangmu aku memiliki tempat ini sekarang dan seperti yang juga dia instruksikan kau harus meninggalkan gedung ini selambat-lambatnya besok.”
Dira merasa kepalanya berputar-putar. Bumi tempatnya berpijak tiba-tiba saja bergoyang. Ini tidak mungkin! Ethan tidak mungkin melakukan itu padanya. Itu kejam dan dan tidak berperasaan.
Saat menatap mata biru yang sewarna dengan lautan itu Dira sama sekali tidak melihat kalau pria itu bercanda. Wajahnya yang datar dan sorot mata penuh kebencian yang terlihat telah membenarkan apa yang dipikirkan oleh Dira.
Tubuhnya tiba-tiba gemetar, tapi ia tidak boleh menyerah. Belum. Tidak seorang pun yang bisa mengambil Noah darinya.
“Ethan,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku tahu kau membenciku, tapi kau tidak bisa melakukan ini. Bagaimana mungkin kau mengharapkan aku pergi dari sini besok? Ada banyak hal yang perlu kusiapkan. Selain itu Noah akan kebingungan jika tiba-tiba kami pindah dan—“
“Apa yang kau katakan?” potong Ehan. “Tentu saja aku tidak akan membiarkan putraku hidup terlunta-lunta.”
“Lantas kenapa…”
“Kau yang akan pergi karena aku akan mengambil putraku. Aku yang akan mengasuhnya.”
Dira kehilangan kemampuan bicaranya. Selama 5 detik penuh otaknya sama sekali tidak bekerja. Ia menatap Ethan seakan sedang melihat hantu.
“Kau apa?”
“Aku akan mengambil Noah darimu.”
“Kau tidak menginginkannya,” bantah Dira seakan kalimat itu akan membuat Ethan berubah pikiran.
Ethan melangkah dengan kekuatan pemangsa hingga Dira mengambil langkah mundur karena ketakutan.
Ethan sedikit menunduk agar bisa menatap Dira tepat di matanya. Senyumnya semakin bengis disetiap detiknya. “Dan dari mana kesimpulan lancang itu berasal? Aku akan melawanmu di pengadilan dan memastikan bahkan hakim sekalipun tidak akan memihakmu meski kau ibunya.”
Tidak, tidak, tidak.
Air matanya tumpah. Ketakutan akan kehilangan Noah membuatnya tidak mampu berpikir. Dira melakukan satu-satunya cara yang ia tahu. Ia berlutut di hadapan Ethan.
“Apa yang kau lakukan?” bentak Ethan. “Berdiri, Dira.”
Dira menggeleng, air mata mengaburkan pandangannya. “Kumohon, jangan mengambil Noah dari hidupku, dia satu-satunya alasanku hidup. Kalau kau mengambilnya….”
“Rasanya sakit bukan membayangkan putramu diambil paksa darimu? Bayangkan bagaimana perasaanku selama 5 tahun kebohongan yang kau ciptakan. Kau merampas kesempatan Noah mengenal ayahnya dan merampas kesempatanku untuk mengenali putraku sendiri. Pernahkah terpikir olehmu kalau Noah pasti bertanya-tanya kenapa dia tidak memiliki ayah seperti anak lainnya? Keegoisanmu telah merampas kesempatan itu dari kami berdua.”
“Aku tahu,” bisiknya lemah. Dira pernah mempertanyakan hal itu pada dirinya sendiri dan berjanji kalau suatu saat Noah akan mengetahui siapa ayahnya, tapi mungkin Ethan benar. Ia telah merampas 4 tahun kehidupan Noah mengenal sosok ayahnya.
“Kau tahu kenapa aku membeli gedung ini, Dira?” Ethan menunduk sehingga wajah mereka sekarang sejajar. Matanya berkilat-kilat.
“Karena aku ingin merampas kesempatan itu darimu. Hakim mana pun tidak akan pernah memenangkan kasus seorang ibu yang berbohong dan tidak mampu menghidupi putranya. Selama 4 tahun kau merampas hak itu dariku, Dira. Sekarang aku yang akan melakukan itu padamu.”