3.Majestic

2821 Words
Naya POV. “Ini siapa?” itu kata kata pertama Ello saat kami masih SD dan dia jadi kakak kelasku. Dulu aku sekelas dengan Biyan yang jadi sepupunya, dan Noah keponakan om Nino seperti yang aku bilang. Gara gara papaku kenal baik dengan mama Noah, jadi aku di masukan sekolah yang sama dengan Noah. Sekolah mahal, tempat anak anak orang kaya sekolah. “Kanaya bang, kenalin. Dia anak teman mama Noah” jawab Biyan. Berbeda dengan Biyan dan Noah yang bersikap layaknya teman lelaki yang baik, semenjak kecil, sudah kelihatan gimana genitnya Ello. Sampai aku takut atau risih karena dia senyam senyum saat menjabat uluran tanganku. “Raquello Syahreza, panggil Ello aja biar kita cepat akrab” jawabnya dari kecil sudah sok tua. “Kanaya, Naya kalo aku di panggil mama papaku” jawabku sambil buru buru melepaskan jabatan tangan kami. “Dah kenalkan sekarang. Trus kita mau jajan ke kantin, kamu mau ikut gak?” ajak Noah. “Keceh banget sih kamu?” malah Ello menjedaku jawabanku untuk Noah. Biyan yang berdecak. “Bang El, jangan ledekin cewek cewek trus. Naya bukan dede Caca atau kak Acha, nanti kalo gak mau temanan sama bang El gimana?” protes Biyan sepupunya. Malah tertawa dengan mode tengil. Aku sendiri sudah menyembunyikan diriku di balik tubuh tinggi Noah yang memang sudah aku kenal, karena keponakan om Nino. Kami sering bertemu kalo om Nino mengadakan acara di rumahnya waktu itu. “Gak mungkin, paling kaya cewek cewek yang biasanya, mana mungkijn nolak temanan sama abang” jawabnya semakin menyebalkan. Itu yang akhirnya buat aku takut untuk sekedar berada di dekatnya, tidak seperti kalo aku dekat dengan Biyan dan Noah, sekalipun sama sama lelaki. Noah dan Biyan itu sejak dulu akrab satu sama lain. Mereka seakan tidak terpisahkan. Biyan yang kalem, walaupun di sukai cewek cewek teman sekelas kami, dan Noah yang selalu jutek, kalo menghadapi cewek cewek yang suka padanya. “Jangan judes judes jadi anak laki, gak pantas. Cowok cowok tuh harusnya baik sama cewek cewek, gak boleh kasar” tegur Ello selalu begitu pada Noah. Tapi memang Noahnya punya mental tuan muda sejak dulu, berbeda dengan Biyan yang tetap terlihat seperti tuan muda, tapi selalu ramah dan tenang. Tidak seperti Noah yang gampang meledak ledak dan emosian. “Jangan salahin aku bang El, salah sendiri kenapa jadi cewek kecentilan banget. Aku gak suka. Kalo mereka bisa kaya Naya yang diam aja, baru aku mau temanan” jawab Noah tetap aja jutek. Ello sih pasti tertawa dan Biyan selalu jadi penengah. “Udah bang El, biar aja. Kalo Noah gak suka, kan gak bisa di paksa. Noah kan bukan bang El yang memang baik trus sama cewek cewek” kata Biyan. Itu mungkin yang buat Noah dan Biyan akrab. Biyan seperti mengerti sifat Noah dan mau menerima. Ello juga sih sebenarnya, karena kakak kelas dan tidak sekelas aja, jadi seperti tidak akrab dengan Noah. dan Ello itu akrab dengan Iyel karena sama sama suka di kerumuni cewek cewek. Padahal mereka selalu berempat terus di sekolah, dan terkenal sebagai anak anak sultan, walaupun beda klan. Satu Sumarin, satu Melardi, dua lagi trah Syahreza. Dan aku selalu terpaksa ada di antara Noah dan Biyan, karena aku duduk di bangku sekolah di tengah tengah mereka. Biyan di depanku, dan Noah di belakangku dengan bangku belajar di kelas model satu satu persis bangku mahasiswa. Tujuannya supaya tidak contek contekan kali ya, pikirku dulu begitu. Dan karena sudah kenal aku juga, jadi Ello dan Iyel selalu ke kelas kami saat jam istirahat atau jam pulang untuk bareng ke kantin dengan Biyan dan Noah. “Kenapa sih gak suka ke kantin?. Kamu gak di uang jajan sama papamu?” tegur Ello selalu tiap kali aku menolak di ajak ke kantin, karena mamaku sejak dulu selalu membiasakan membawakan aku bekal. “Di kasih” jawabku sekenanya karena merasa terusik dengan kehadirannya di depanku dengan duduk di bangku Biyan biasa duduk. Jangan tanya tiga yang lain, pasti sudah pergi ke kantin. “Itu sih kamu gak pernah jajan?. Uang jajan kamu sedikit ya?” tanyanya lagi. “Banyak kok” jawabku menyanggah karena uang jajanku memang cukup untuk aku jajan di kantin. “Ya ayo jajan” paksanya sampai menarik tanganku. “Gak, uangnya mau aku tabung” jawabku karena mama lagi lagi selalu mengajarkan aku untuk menabung dulu kalo aku mau beli sesuatu. Padahal dulu papaku sudah jadi CEO seperti sekarang. Makanya aku bisa sekolah di sekolah anak orang kaya. Tapi memang mama begitu. Mama bilang kasihan papa cape cari uang, jadi lebih baik uangku di simpan, sebagai tabunganku. Itu yang akhirnya membuatku susah sekali bertemu papaku karena sibuk sekali. Weekend pun jarang di rumah. Sekalinya di rumah pasti mama biarkan papa tidur sampai jauh siang. Jadi jangan kaget kalo aku suka bersama papaku, karena untuk membayar waktu kebersamaanku dengan papa sewaktu aku kecil. “Aku yang traktir” katanya lagi. Aku buru buru menggeleng. “Kenapa?, uang jajan aku banyak kok. Kalo kurang ada suster yang bisa aku pintai uang” katanya lagi. Langsung aku menghela nafas lalu dia duduk lagi di tempatnya. “Kenapa sih?” tanyanya lagi menatapku. Dari kecil memang sudah ganteng, dan lucu, jadi selalu menyenangkan semua orang. Mungkin itu yang buat Ello selalu di sukai banyak orang. “Kamu gak kasihan sama papa kamu yang kerja keras untuk dapat uang?” tanyaku meniru mamaku. “Papaku kerja keras?, mana ada, papa kebanyakan sama mama di rumah. Anak buah papaku banyak, soalnya CEO. Taukan kamu apa itu CEO?. Orang bilang sultan” jawabnya. “Papa aku juga CEO” jawabku. “Emang iya?. Itu sih uang jajan kamu mesti banget di tabung?” ejeknya. “Soalnya papaku selalu kerja gak liburnya. Beda kali CEO nya, gak kaya papa kamu” jawabku. Dia diam dan bertahan menatapku. “Mama aku bilang, CEO itu punya banyak anak buah, makanya papaku kerja semaunya. Kalo mama, kakakku atau adik aku mau sama sama papa, ya papa gak ke kantor, paling kerja dari rumah di temani mama, atau sambil temani adikku main” jawabnya. Dulu kami belum mengerti beratnya kerja jadi CEO. Dan tergantung gimana manageman perusahaannya juga. Dulu tentu Syahreza group punya manageman yang memperkerjakan banyak orang untuk bantu kerja CEO. Beda dengan General World yang masih perusahaan berkembang. Papaku jadi hanya bagi tugas dengan om Nino. “Udah sana jajan, aku bawa bekal. Dan mau makan bekal buatan mama aku aja” usirku. Hari itu memang dia menurut pergi ke kantin, tapi di hari hari depan, dia selalu merebut kotak bekalku berikut botol air minumku, supaya aku bersedia di ajak ke kantin. “Udah habis bekalmu aku makan, minumnya juga, jadi ayo ke kantin. Aku yang traktir” jawabnya tiap kali aku hampir berhasil merebut kotak bekal dan botol minumku. “DASAR RESEK!!, KAMU NYEBELIN” jeritku sebelumnya akhirnya menangis kesal. Apa dia perduli?, gak tuh. Tetap pergi sih meninggalkanku tapi tak lama kembali dengan bungkusan jajanan dan minuman juga. “Aku minta maaf deh, nih aku gantiin. Ayo makan, minum juga. Nanti kamu laper” rayunya. Aku abaikan dengan pura pura mewarnai buku gambar. Tapi memang dasar sakit jiwa, sampai bel berbunyi pun, dia tetap bertahan di kelasku sampai guru masuk kelas. “RAQUELLO!!!” tegur guru. “Sebentar bu, aku keluar kalo Naya habisin dulu makanan sama minuman yang aku beli. Kasihan bu takut Naya laper, soalnya tadi gak keburu jajan di kantin” jawabnya. Mau tidak mau aku makan juga apa yang dia beli. Nyebelin banget dari kecil tuh. Tapi susah untuk aku hindari. Memang kapok menyembunyikan kotak bekalku atau menghabiskan bekalku, tapi dia pasti kembali ke kelas dan makan apa pun jajanan yang dia beli menemaniku makan bekalku. “Kamu ngapain sih dekat aku trus?” tanyaku semakin risih, karena pasti cewek cewek teman sekelasku jadi mendadak bawa bekal juga. “Aku kasihan lihat kamu sendirian makan di kelas. Masa gak boleh aku temanin” jawabnya. “Aku bosen lihat kamu” jawabku kesal. Malah tertawa. “Tutup mata aja, gak apa. Aku aja yang lihat kamu, gak bosen kok aku” jawabnya. Astaga…segitu menyebalkannya sikapnya, dan bertahan sampai aku berkenalan dengan kakak perempuannya yang kakak kelasku juga dalam ekskul tari. Baru aku punya teman perempuan karena jadi punya teman juga untuk mengusirnya menjauh dariku. “SARMIJAN!!!!” jerit kak Acha dulu tiap kali Ello mengikuti kami di sekolah. “Apa sih kak?” jawabnya santai sekali. Padahal kak Acha sudah melotot maksimal menatapnya dan tolak pinggang. “Jangan ikutin kakak sama Naya” omel kak Acha. “Harus aku ikutin. Kakak jutek, Naya juga jutek. Nanti kalo kakak sama Naya berantem, wasitnya siapa?” jawabnya. “Astaga….” jawab kak Acha kesal juga pada kelakuan adiknya sendiri. Aku sudah meringis di belakang punggung kak Acha yang dari dulu sudah kelihatan bakalan punya tubuh tinggi menjulang. Akhirnya saat besar, kak Acha jadi model professional juga. “Ayo Nay, udah biar aja, nanti juga bosen ikutin kita” kata kak Acha. Mana ada Ello bosan, kalo anak ekskul tari, rata rata perempuan. Malah seperti menikmati moment menungguku dan kak Acha kemana pun, karena kak Acha pun terkenal di sekolah. Tapi kak Acha itu selalu jutek pada siapa pun yang dia tidak suka. “Tante Nad Nad bilang, lebih baik punya teman sedikit tapi berkwalitas dari pada banyak teman, tapi banyak drama. Cewek cewek itu Nay, kadang depan kita doang baik, di belakang kita belum tentu. Jadi gak apa ya kita main berdua aja di sekolah. Aku percaya kamu gak akan banyak drama, karena Biyan bilang, kamu gak punya teman akrab cewek di kelas. Kamu cuma temanan sama Noah dan Biyan doang” katanya padaku. Memang benarkan. Kadang lebih enak bergaul dengan teman lelaki di banding perempuan. Depan kita doang anggap bestie, tapi di belakang kita belum tentu. Apa aja gaya kita di tiru, kalo tidak suka di gibahin di belakang. Teman cowok tidak begitu. Biyan dan Noah tidak pernah drama. Kalo suka ya bilang, tidak suka pun bilang langsung. Makanya aku, Noah dan Biyan, awet berteman sekalipun akhirnya aku dan Noah di pindahkan sekolah saat eyang uti Noah meninggal, setelah ayah tiriku yang dokter meninggal juga karena kecelakaan pesawat. Dan perceraian mama dan papaku juga yang membuat aku jadi dekat dengan Ello. Noah dan Biyan juga tau kesedihanku saat harus pisah rumah dengan papa, lalu aku di bawa mama pindah rumah ke rumah opa dan omaku. “Kita kenapa pindah mah?. Terus papa tinggal siapa kalo kita tinggal di rumah opa?” tanyaku karena belum mengerti benar. “Nanti juga papa temuin kita kalo pekerjaannya sudah selesai nak” jawab mama waktu itu. Tapi aku tunggu dari hari ke hari, kok ya papaku tidak pernah datang ke rumah opaku. Jangankan menemuiku dan mama, aku minta video calla atau menelpon papa pun, mama selalu bilang papaku sibuk kerja. Aku tidak pernah tau, kalo saat itu, papa mamaku sedang mengurus surat cerai. “Nanti aku tanya om Nino deh, berapa nomor handphone papamu Nay, jadi kamu bisa telpon” kata Noah menanggapi keluhanku. “Tapi pakai handphone siapa kalo udah tau nomor papa aku?” tanyaku bingung juga karena tidak punya handphone waktu dulu. Noah menghela nafas setelah menatap Biyan yang diam. “Memang kamu gak tanya kenapa mama kamu ajak kamu pindah ke rumah opa kamu?” tanya Biyan. Aku menggeleng. “Aku gak berani, mama banyak diam, kadang aku lihat mama nangis” kataku lalu air mataku sendiri menetes. Semakin bingung dong Noah dan BIyan saat itu. Sampai mungkin mereka mengadu pada Ello. “Udah gak usah sedih, nanti suruh Noah minta alamat kantor papa kamu ke omnya. Aku bisa kok suruh supir aku antar kamu ke kantor papa kamu” kata Ello. “Beneran?” tanyaku mendadak girang. “Beneran, aku gak bohong. Aku selalu bilangkan, kalo aku kasihan sama kamu?” jawabnya. Aku masih tidak mengerti konsep kasihan yang Ello maksud waktu itu. Pokoknya, semenjak mama punya masalah dengan papaku, mamaku memang jadi jarang buatkan bekal lagi, dan terpaksa aku ikut teman teman cowokku di sekolah ke kantin. Kak Acha ada, tapi karena kakak kelas, jadi susah juga untuk sama sama, apalagi kak Acha sudah kelas 6 waktu itu. Tapi kami tetap bertemu waktu kelas menari. Sampai aku tau mamaku hamil lagi. Aku senang dong, sampai aku cerita lagi. “Punya adik?. Wah seru ya, jadi ada teman kamu nantinya” komen Biyan. “Gak enak punya adik, nanti mesti ngalah trus” komen Noah. “Eh siapa bilang, seru tau, rumah jadi rame” komen Ello. “Mungkin itu kali yang buat mama kamu gak buatin bekal. Soalnya ibu hamil suka males dan banyak diam, dulu tante Ocha, mama bang El soalnya gitu” kata Biyan lagi di angguki Ello. Ya aku percaya aja. Jadi tidak banyak protes saat mamaku cenderung diam dan berteman dengan dokter Alif yang akhirnya jadi suami mamaku yang kedua. Aku baru kaget waktu mama bilang mau menikah dengan dokter Alif. Langsung aku drop karena ingat papaku dan masuk rumah sakit. Lalu sekalipun akhirnya bertemu papaku yang datang menengok dan mengurusku sakit, aku di hadapkan dengan kenyataan kalo papa mamaku harus berpisah. Lalu siapa lagi yang akhirnya membuatku tenang dan menerima kenyataan kalo bukan Ello. “Mama aku pisah sama papaku. Trus mau nikah sama dokter yang dulu rawat opa sakit. Kasihan papa aku” keluhku pada Ello setelah aku selalu murung dan diam terus di kelas. Noah dan Biyan juga tau soal ini, tapi tidak seserius Ello yang bertahan menemaniku trus dan berusaha membuatku tertawa. Apalagi bang Iyel yang teman akrabnya. Eh jangan suruh aku panggil Ello dengan abang. Dia sendiri gak mau kok di panggil abang. Dia bilang Ello aja biar kami bisa nikahan kalo sudah besar, karena bukti kami bukan saudara. Lucu ya?. “Ya suruh aja papa kamu nikah lagi” jawabnya santai. “Memang bisa begitu?” tanyaku. “Kenapa gak bisa?. Mama kamu aja bisa nikahan lagi sama lelaki lain. Berarti papa kamu bisa nikahan juga sama perempuan lagi, kan kamu bilang udah pisah” jawabnya. Aku diam menanggapi. “Enak bukan punya dua papa dan dua mama. Gak semua anak bisa kaya kamu Nay. Kamu pasti jadi banyak yang sayang” katanya lagi. Dan aku telan bulat bulat perkataannya, sampai aku akhirnya membiarkan papaku menikah juga dengan tante Rara yang akhirnya aku panggil bunda, karena dia baik sekali sebagai ibu sambungku. Happy lagi dong aku setelah menerima kenyataan yang ada. “Senangkan kamu sekarang?”tanyanya sambil menemaniku menghabiskan bekal yang mama atau bunda Rara buatkan kalo aku menginap di rumah papaku. Aku mengangguk sambil tertawa. “Kamu mau?” tanyaku menawarkan bekalku. “Gak, lihat kamu ketawa aja, aku kenyang” jawabnya. Tertawalah lagi aku. “Nay!!” jedanya. “Ya” jawabku diam membalas tatapannya. “Aku janji, gak akan aku biarin kamu sedih” katanya. “Kalo kamu yang buat aku sedih?” tanyaku karena dia kadang jahil sekali suka tarik tarik rambutku atau meledekku. “Ya aku akan buat kamu ketawa lagi” jawabnya cengar cengir khasnya. Aku tertawa sambil mengangguk. “Nanti cewek cewek semakin kesal sama aku kalo kamu dekat aku terus” kataku karena memang begitu adanya. “Biar aja, bukan salah kamu, kenapa kamu pikirin” jawabnya. Benar juga. “Aku kasihan sama kamu Nay. Jadi kalo kamu butuh bantuan, bilang aja ya sama aku” katanya lagi. Aku mengangguk saja waktu itu karena sibuk juga menghabiskan bekalku. “Janji?” tanyanya sambil mengulurkan kelingking tangan kanannya. “Janji” jawabku walaupun setelah itu dia menarik kunciran rambutku lalu buat rambutku berantakan. “SARMIJAN!!!!!” jeritan nama ledekan untuknya tiap kali buat aku kesal. Dia paling akan terbahak melihatku bersiap ngomel atau mengamuk. “APA NAYA SAYANG AKU!!!!!” balasnya lalu berlari menghindari kejaranku. Tapi janji itu selalu dia lakukan, dan entah berapa banyak bantuan yang dia berikan untukku dari kami kecil sampai akhirnya kami satu kampus, lalu dia lulus, dan aku bersiap menyelesaikan skripsiku. Lagi lagi aku minta bantuannya yang aku pikir lebih punya pengalaman dalam menyusun skripsi. “Papa akan beri izin, kalo kamu memang mau pulang di antar Ello. Cukup kirim pesan aja sama papa. Okey?” kata papa padaku sebelum aku turun di loby mall tempat aku janjian dengan Ello. Aku tertawa saja. Gampang urusan pulang, aku bisa naik taksi, kalo takut akan pesona Ello yang semakin tumbuh jadi pria dewasa, lalu jadi semakin mempesona. Rasanya aku seperti tampak kasat mata di hadapannya yang selalu menungguku dan bersedia membantuku, sekalipun tatapan mata cewek cewek di sekeliling meja tempat dia duduk kompak menatapnya. Dianya santai saja berdiri menungguku mendekat setelah tatapan kami bertemu. “Eh Naya sayang aku. Akhirnya datang juga. Babang ampir lumutan nunggu Naya Sayang aku” sambutnya sampai perlu menarik kursi untuk aku duduk. “Gak usah sayang sayangan, nanti sayang beneran sama gue, elo malah buat gue repot” omelku untuk menutupi debaran jantungku atau mungkin indra penciumanku yang terpaksa menghirup wangi bau tubuhnya yang maskulin dan memabukkan. Ampun deh….Raquello Syahreza….pesona babang, masih semajestic ini ya??.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD