Bab 7. Bimbang (1)

1039 Words
Bab 7. Bimbang   "Assh... sakit Bun," desis Athar saat jemari lentik sang Bunda mengenai luka sang putra. "Tahan ya, Sayang," ujar sang Bunda ikut meringis ngilu setiap bibir sang putra mendesis kesakitan. Pemandangan itu tak pernah lepas dari pandangan Omar. Entah kenapa hatinya sudah terpaut pada dua manusia beda usia di depannya kini. Padahal belum ada lima menit dia mengenal mereka. Yang dia tau bahwa sang anak bernama Athar, karena begitulah tadi Bundanya memanggil namanya penuh kecemasan. Tatapan matanya tak pernah lepas dari keduanya. Perasaan yang baru kini dirasanya, entah kenapa dia merasa nyaman dengan keduanya. Bunyi ponselnya berdering meneriakkan suara anak kucing mengeong. "Bun, ada suara anak kucing nyari Bundanya. Kasihan Bun," ujar Athar melupakan rasa sakitnya. Bocah lucu itu mengedarkan matanya mencari sumber suara itu. Omar terkekeh geli mendengarnya. "Itu bukan suara anak kucing, Sayang. Tapi bunyi ponsel OM," jawab Omar. Dia menggeleng sambil berjalan sedikit menepi supaya dia bisa mengangkat panggilan. "Ish... Kenapa sih Bun, bunyi ponsel Om kok kayak anak kucing nyari Bundanya. Beneran deh Bun, tadi Athar pikir ada anak kucing beneran," cebik Athar kesal. Suara jengkel Athar membuat senyuman Omar menghiasi wajahnya yang biasanya selalu datar. Nomer yang tidak dikenal. Siapa ya? Dia tak biasa mengangkat panggilan dari nomor tak dikenal. Diapun beranjak mendekat ke arah ibu dan anak tadi. Entah kenapa dia enggan berpisah dari keduanya. Padahal biasanya dia selalu menghindar wanita, apalagi anak-anak. Seakan ada ikatan tak kasat mata yang mengikatnya dengan keduanya. Tanpa disadarinya aura dingin menguap darinya. Dia menjadi lebih manusiawi. Namun bagi Adam yang memang sudah mengikuti gerak gerik pamannya bisa menagkapnya dengan jelas. "Siapa?" tanya sang Bunda penasaran. Omar menatap sang dara dengan tatapan yang sulit diartikan. Di dalam hati Omar, entah kenapa merasakan perasaan hangat akan pertanyaan yang dinilainya agak kepo untuk ukuran orang yang baru saja bertemu. Bahkan Omar belum mengetahui namanya. Wajah Omar mendadak bersemu merah, entah karena pemikirannya atau karena cuaca Jakarta yang sangat jauh dari kata sejuk. "Nomor tidak dikenal," jawab Omar dengan senyum menghiasi wajahnya. Membuat ibu satu anak itu menatap wajah Omar tak berkedip. "Oh." Tak lama suara anak kucing terdengar lagi. "Ish, Om. Kan Athar jadi kaget nih. Athar pikir anak kucing terus," gerutu Athar dengan bibir yang mengerucut menggemaskan di mata Omar. Lelaki itu mengacak rambut hitam tebal Athar dengan sayang. "Kok nggak diangkat?" tanya Fira sang Bunda. "Nomor yang tadi," ujar Omar mengangkat bahu tak peduli. "Mungkin penting," sanggah Fira menatap bola mata Omar dengan lembut. Membuat Omar mengangguk patuh. Lelaki itu langsung menjawab panggilan dari nomor yang tak dikenalnya. "Assalamu'alaikum." "..." "Iya saya sendiri." "..." "Baik, saya akan segera ke sana." Raut wajah penuh senyum Omar berubah menjadi datar kembali kala menerima panggilan itu. Fira tak dapat menebak apa yang mereka bicarakan. Tapi yang dirasakannya kalau ada hal yang serius. "Aku pergi dulu," ujar Omar datar. Bahkan tatapan matanya berubah kembali. Fira hanya mengangguk faham. Omar bergegas meninggalkan tempat acara. Seperginya Omar, ada seseorang yang memanggilnya. "Fira... Athar...." "Almira, selamat ya sayangku. Sudah dikhitbah si abang ganteng. Semoga semuanya dilancarkan sampai hari H," do'a tulus Fira teruntuk sahabat terbaiknya. "Amiin ya robbal'alamin," jawab Almira mengaminkan. "Tadi ngobrol sama siapa? Calon Ayahnya Athar ya," goda Almira. "Ish, apaan sih. Tadi kebetulan Athar menabrak orang tadi, dan orang tadi juga yang bantu aku ngobatin Athar," ujar Fira tak terima, meski jauh dilubuk hatinya dia suka dengan godaan Almira. "Jadi belum kenalan?" tanya Almira tak percaya, karena dia merasakan tatapan mata sahabatnya dengan si stranger berbeda. Fira hanya menggeleng lemah. "Nyesel ya nggak kenalan," goda Almira lagi. Fira menepuk lengan Almira tak suka. Matanya sudah melotot tajam. Almira hanya terkekeh geli. "Aku rasa itu anggota keluarga calon suamiku deh," ucap Almira menatap arah perginya lelaki yang tadi dilihatnya begitu akrab dengan sahabatnya. "Mungkin saja," kata Fira acuh. "Almira," panggil seorang wanita paruh baya dengan hijab syar'ie menutupi rambutnya. Cantik, batin Fira. "Eh Umi," seru Almira dengan senyum menghiasi wajahnya. "Ini siapa?" tanya Umi Latifah, uminya Ilyas. Calon suami Almira. "Ini Safira, temen satu apartemen Mira di Boston sana. Dan ini putranya, Athar." Safira mengulurkan tangan dan disambut dengan hangat oleh uminya Ilyas. Mata tua itu memindai Safira dan Athar. Ada kerutan di dahinya. "Ini putramu?" tanyanya lagi. "Iya tante, namanya Athar. Ayo nak salim sama Oma," ujar Fira. Athar langsung mencium tangan kanan Umi Latifah dengan takzim. "Oh... Pinternya," puji Umi Latifah. "Dia juga tampan, pasti menurun dari Ayahnya ya?" kata Umi Latifah lagi. "Athar nggak pernah lihat Ayah. Apa Oma kenal sama Ayah Athar?" tanya Athar dengan penuh harap. Safira hanya bisa menggigit bibir dalamnya menahan tangis. Selalu begitu. Dia tak suka jika sang buah hati bertanya tentang sang Ayah. Karena dia tak pernah punya jawabannya. "Oh, tidak sayang. Tapi kalo melihat Athar yang pinter dan ganteng. Ayah Athar pasti orang yang luar biasa." "Benarkah Oma?" tanya Athar antusias. Wanita paruh baya itu mengangguk yakin. Entah kenapa, seakan dia sudah mengenal anak menggemaskan ini lama. "Kamu mirip kecilnya anak Oma, om Ilyas. Dia pas kecil selucu kamu. Umi yakin deh Mira, kalau kalian punya anak. Pasti selucu Athar," ujar Umi Latifah membuat wajah Almira pias. Pikirannya kembali mengelana akan kecurigaannya. Benarkah??? Entah kenapa hatinya menjadi gelisah. Dipandanginya wajah Athar dengan teliti. Memang benar, ada beberapa kemiripan antara Athar dengan Ilyas sang calon Imam. Lalu bagaimana kalau memang benar Ilyas adalah Ayah biologis dari Athar? Sanggupkah dia menerima masa lalu Ilyas? "Kamu baik-baik saja Al?" tanya Fira khawatir yang melihat wajah Almira yang pucat pasi. "Eh... Aku baik-baik saja. Cuma lapar aja," jawab Almira tanpa mau menatap wajah Fira. "Ya ampun, kamu pasti kecapean ya. Maafin Umi yang minta pertunangan kalian dimajukan. Padahal kamu pasti masih capek karena baru pulang." "Bukan kok Umi. Almira cuma laper aja. Kalau makan sesuatu pasti nanti baikan." "Ya udah kita makan dulu yuk. Aku dan Athar juga lapar," seru Fira ceria. Tak sadar kalau pikiran Almira berkelana ke arah lain. "Aku bisa sendiri," jawab Almira dingin. Fira dan Umi Latifah terperanjat dengan sikap kasar Almira. Almira dengan pandangan kosong berjalan menuju tempat prasmanan. Diiukuti oleh pandangan bingung dari Fira dan calon mertuanya. Pikiran Almira berkecamuk. Begitu banyak kebimbangan mulai menggelayuti pikirannya. Benarkah langkahnya menerima khitbah dari Ilyas? Bagaimana jika memang calon suaminya adalah Ayah biologis dari Athar? Sanggupkah dia menerima kenyataan itu? >>>Bersambung>>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD