Bab 5. Diakah

993 Words
Bab 5. Diakah?   "Jadi gimana? Kamu suka Fir?" tanya Almira sesaat kami tiba di apartemennya. Netraku langsung memindai seluruh ruangan. Nyaman. Ruangan di apartemen Almira sekilas hampir sama dengan di Boston. Yang membedakannya mungkin pe-mandangan di luar apartemen. "Suka banget, mirip apartemen kita di Boston ya," kataku sambil meletakkan koper disampingku. "Iya, sengaja sih," cengirnya. "Bundaa, Athar ngantuk," rengek Athar sambil menarik gamisku. Kedua lengannya memeluk kaki kiriku, dengan kepala menempel di pahaku. Kasihan anakku. "Ini kamar kalian." Almira membuka sebuah kamar di sebelah kanan ruangan di samping kamar utama. Segera kugendong putra tersayangku yang sudah memejam. Kurebahkan dengan penuh kelembutan. Kuambil handuk kecil dari tas tanganku untuk menyekanya. Almira masih diam mematung menatap ke arah kami. "Aku sangat mengagumi ketegaranmu Fir. Sungguh, aku tak tau kalau aku yang jadi kamu... Apa yang akan aku lakukan," ujarnya bergetar. Aku tahu sahabatku yang berhati lembut itu sedang menahan tangisnya. "Hei, aku bisa setegar ini juga berkat kamu, Sayang," selorohku terkekeh geli. "Bisa saja," ujarnya ikut tersenyum. "Nah gitu dong, calon pengantin kok sedih," godaku. "Gimana kalau kamu ketemu sama Ayah Athar?" tanya Almira lagi. Pertanyaannya entah kenapa mengingatkan aku pada calon suaminya. Semoga pemikiranku salah. Kalaupun benar, itu bukan masalah. Yang harus kulakukan hanyalah melupakannya. Almira pantas bahagia. "Kurasa itu tak akan pernah terjadi, kau tahu kan... Aku sendiri nggak bisa lihat wajahnya. Hanya kalung itu satu-satunya petunjuk." Ting tong Kami berpandangan. "Kamu menunggu seseorang?" tanyaku. Almira menggeleng. Tapi segera berlalu dari hadapanku. Sepeninggalnya aku berpikir untuk merapikan pakaianku dan Athar yang tidak terlalu banyak. Karena semua barang kami masih aku titipkan di tempat temanku di Boston. Samar aku mendengar suara yang familiar di telingaku. Bayangan erangan lelaki itu memenuhi indera pendengaranku. Ya Allah... Hamba mohon jangan calon suami Almira pelakunya. Penjahat itu!!! Lelaki pengecut macam penjahat itu tak pantas untuk Almira. Apa yang harus hamba lakukan ya Allah.... Beri hamba petunjuk-Mu.... Jangan biarkan hamba salah dalam bertindak.... Tok tok "Masuk!" "Hei, aku dijemput Mas Ilyas. Acara khitbah ternyata dimajukan karena Umi Latifah. Uminya Mas Ilyas sakit, beliau ingin melihat kami secepatnya menikah." Wajah merona Almira membuatku tercekat. Secepat itu? Bagaimana kalau Kak Ilyas adalah lelaki itu? Apa yang harus kulakukan Tuhan??? "Hei, malah bengong!" tegurnya. Aku tergeragap bingung harus bersikap bagaimana? Aku harus memastikannya. "Eh iya, hati-hati." Almira tersenyum dengan rona merah menghiasi pipinya. Tegakah aku merusak kebahagiaannya? Tapi.... Aku mengikuti langkahnya, kutatap lelaki itu. Mencari tahu kesamaan dengan lelaki b******k itu. Badannya... Aromanya... Suaranya... Apakah dia??? Ya Robb... beri petunjuk-Mu. Jangan sampai semuanya terlambat. "Dek, lama sekali." Seorang lelaki yang wajahnya mirip dengan calon suami Almira dengan suara yang serupa juga. Kini aku kian berada dalam kebingungan. Sebenarnya siapa dari keduanya yang merupakan lelaki b******k itu??? Apa di antara mereka berdua atau orang lain??? "Kalian berdua ada di mana enam tahun yang lalu?" tanyaku tanpa sadar. Ketiga manusia di depanku menatapku bingung. "Maaf?" "Perdon?" "Kamu nanya apa sih?" Tanya mereka berbarengan. Aku tergeragap. Sungguh aku tak berniat mengucapkannya. Kupikir itu hanya pertanyaan yang ada di kepalaku. "Eh... Maksudku, kalian berdua enam tahun yang lalu ada di mana? Maaf hanya pertanyaan yang iseng. He... He..." kilahku salah tingkah. Gamisku kian lecek saja karena kuremas dari tadi. "Saya di Kairo," jawab lelaki yang baru datang. "Ilyas juga, dia ada di sana dengan saya." Ah leganya. Berarti bukan Kak Ilyas maupun kakaknya. Syukurlah. "Eh tapi kita sempat berkunjung ke Bali untuk merayakan Anniversary Abi dan Umi." Booommm!!! Aku tak bisa berkata-kata. Padanganku kosong. Sampai ketiganya berlalu dari hadapanku posisiku masih sama. Apa ini Ya Robb??? Tubuhku luruh ke lantai.   ***   "Temenmu kenapa?" tanya Ilyas sesaat setelah mereka berada di dalam mobil. "Entahlah, mungkin masih syok karena kedua orang tuanya menolak kehadiran putranya." "Kenapa? Bukannya banyak dari orang tua suka dengan cucu?" tanya Ilyas lagi. "Itu kalau anak yang terlahir dari sebuah pernikahan," jawab Almira lirih. "Nggak nyangka temen kamu yang kelihatan agamis tapi kok kelakuannya memalukan," cecar kakak Ilyas yang bernama Adam. "Maaf kak Adam, tapi kondisi Safira bukan karena dia salah pergaulan. Dia diperkosa oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab. Meninggalkan dia di hotel setelah memperkosanya begitu saja." "Astaghfirullah..." ujar keduanya. "Maaf," sesal Adam. "Oh ya, kak Adam bilang kalian sempat ke Bali enam tahun yang lalu. Apa kalian pernah..." "Pernah... Apa?" tanya Ilyas tidak mengerti. "Maaf... Tapi Safira diperkosa saat dia dan keluarga merayakan keberhasilannya masuk ke Universitas di Kairo seperti impiannya dan kedua orangtuanya. Di hotel. Di Bali. Entah kenapa dia menanyakan ke kalian berdua? Apa dia curiga kalianlah pelakunya?" "Apaa?" "Apa kau gila???" Teriak keduanya bersamaan. Tak terima. "Hei... Aku kan cuma bertanya? Kalau kalian tidak pernah memperkosa seorang gadis enam tahun yang lalu ya sudah. Jangan marah." "Maaf," sesal Ilyas yang menyesal karena sudah membentak Almira. Selama ini dia selalu menjaga lisan dan tingkah lakunya. Namun ketika ada tuduhan yang segila itu ditujukan padanya entah kenapa membuat amarahnya menggelora. Almira benar, kalau dia bukan pelakunya kenapa semarah itu? Kalau bukan dia, lalu siapa? Apa kak Adam?? Tidak!!! Pasti bukan!! Pasti orang lain pelakunya! Ya, pasti!!! "Lelaki itu hanya meninggalkan sebuah kalung berbandul bulan sabit." "Apaaa??? Tidak mungkin!!!" teriak keduanya. Almira menatap keduanya dengan pandangan penuh selidik. "Kalian membuatku curiga saja," ujarnya datar. Sepanjang perjalanan ketiganya bergumul dengan pemikiran mereka sendiri.   ***   Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya pagi ini. Almira. Apa Almira tidak kembali ke apartemen? Pikirannya kembali mengelana pada kedua lelaki tampan yang menjadi tersangka atas kejadian yang sudah merubah arah haluan hidupnya. 'Bersiaplah, aku menyuruh pak Amir untuk menjemput-mu dan Athar. Aku mau sahabatku menghadiri acara pertunanganku' Begitu isi pesan dari Almira. Safira bergegas mempersiapkan dirinya dan Athar yang memang sedang memandangnya penuh tanya. "Aunty mengundang kita," jawabku. "Jadi kita jalan-jalan ya, Bun?" tanyanya ceria. "Iya, nanti sehabis acaranya Aunty, kita jalan-jalan." "Aseek, makasih Bunda. Sayaaaang Bunda. Cup." Aku tertawa melihat keceriaan putra semata wayangku. Semoga Allah selalu memberimu kabahagiaan, Sayangku. Entah kenapa perasaanku jadi gelisah. Seakan ada peristiwa besar yang sudah menantiku. Ya Allah lindungilah hamba-Mu ini, hamba pasrahkan segala sesuatunya hanya pada-Mu. Amiin >>Bersambung>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD