Prolog

1201 Words
Tok … tok … tok … Sudah hampir tiga kali seorang gadis kecil mengetuk pintu besar bercat coklat di hadapannya. Ia berdiri dengan ragu dan menggenggam tali tas selempang bergambar kucing yang dibawanya. Rambut pendek sebahunya sedikit basah saat rintik hujan menyambutnya kala ia tiba. Ia membenarkan letak kacamata berframe merah yang bertengger di hidungnya, kemudian melirik jam tangan di tangan kirinya. Dadanya bergemuruh saat memijak lantai rumah ini, matanya juga berkaca-kaca menatap pintu besar yang tak juga terbuka. Cklek … Akhirnya, apakah ini waktunya? Dadanya kian bergemuruh hebat dengan mata sedikit melebar. Pintu itu kini terbuka dan muncullah seorang wanita berusia sekitar 55 tahun menatap terkejut mendapati gadis kecil berdiri di depan pintu. Matanya seketika terpaku pada sorot mata tajam yang terlindungi kacamata, seakan ia selalu melihat mata itu. Sampai saat kesadaran menerpa, ia tersenyum kecil dan menyapa tamu yang tidak ia kenal. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya pada gadis kecil itu. Kania Nayara, nama gadis kecil yang kini menatap wanita di hadapannya dengan mulut sedikit terbuka. Matanya sedikit melebar dan ia semakin menggenggam tali tasnya kuat-kuat. "A-- apakah ini benar rumah Revanzio Bara?" tanyanya dengan suara bergetar. Wanita itu semakin terkejut, diperhatikannya Kania dari ujung rambut hingga ujung sepatu flat yang dipakainya. Namun perhatiannya kini tertuju pada wajah gadis kecil itu. Sorot mata, hidung, bahkan bibir, mengingatkannya pada seseorang yang ia hafal. Semua sangat mirip, bahkan bentuk alis pun hampir sama membuat wanita itu berpikir jauh tanpa batas. Ia setengah menunduk dan mengusap helaian mahkota Kania yang sedikit basah. "Iya benar, dia putraku. Ada yang bisa nenek bantu?" serunya saat menatap Kania lebih dekat dan semakin membuatnya teringat anak satu-satunya saat masih kecil. Jika saja Kania anak laki-laki, mungkin akan menjadi duplikat 99% dari putranya. Dan satu-satunya pertanyaannya adalah, bagaimana bisa? Kania menghirup nafas panjang dan mengehembuskannya perlahan. "Aku ingin bertemu dengannya," jawabnya tanpa keraguan. Wanita itu terpaku sejenak, bahkan ekspresi yang ditunjukkan gadis kecil dihadapannya benar-benar serupa. Apa jangan- jangan … "Siapa namamu, Sayang?" tanyanya. "Namaku Kania. Kania Nayara." Dan saat menyebutkan namanya, wanita itu merasa ada sesuatu yang anaknya sembunyikan. Sesuatu yang besar dan akan merubah statusnya. *** "Tidakkah kau merasa dia sangat mirip Revan?" bisik Hannah, ibu dari Revan yang telah membawa Kania masuk ke dalam rumah. Ia segera memanggil sang suami saat membawa Kania bersamanya. Akbar hanya diam dan mengamati Kania yang duduk anteng di sofa. Pertanyaannya sama dengan pertanyaan istrinya beberapa menit yang lalu, bagaimana bisa begitu mirip dengan Revan. "Siapa anak ini?" tanyanya kemudian. Hannah hanya tersenyum simpul kemudian duduk di samping Kania. "Berapa usiamu, Sayang?" tanyanya dengan kelembutan. Entahlah, melihat Kania membuat dadanya terasa hangat meski mereka tak pernah bertemu sebelumnya. "10 tahun," jawab Kania singkat. "Di mana tempat tinggalmu? Bagaimana bisa kau tiba saat malam seperti ini?" tanyanya dengan prihatin. "Rumahku jauh dari sini," jawab Kania sembari melihat isi rumah yang rapi. Sayangnya ia tak mendapati foto pria yang ia cari. Hannah terdiam sejenak, menatap sang suami yang tak berhenti memperhatikan Kania kemudian kembali mengajukan pertanyaan. "Bagaimana bisa kau sampai, Sayang? Apa orang tuamu tahu?" "Sekolah mengadakan study tour, aku kabur tanpa Bu guru ketahui. Mungkin saat ini Bu guru tengah mencariku. Dan mama …." suaranya menggantung dengan ia yang menunduk menatap ujung sepatunya. "Mungkin sebentar lagi akan sampai dan menjemputku," lanjutnya. "Ya Tuhan, gurumu pasti sangat khawatir. Dan mamamu? Jadi, mamamu tidak tahu?" Kania menggeleng kecil kemudian menatap Hannah dengan pandangan tak terbaca. Tangan Hannah terangkat mengusap pipi chubby Kania yang sedikit dingin. Ia seperti tengah kembali pada masa lalu saat Revan masih berusia 9 tahun. "Bagaimana kau bisa sampai kesini?" Kali ini giliran Akbar yang bertanya. Ia masih bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang gadis berusia 10 tahun menemukan rumahnya jika rumah Kania benar-benar jauh dari sini. Menurutnya itu sangat berbahaya bagi seorang anak, dan orangtuanya benar-benar tidak bertanggung jawab. "Ada orang baik yang menolongku, beliau mengantarku dan segera pergi saat mendapat telepon. Jika tidak ada orang itu, mungkin aku akan ke pos polisi meminta mengantar ke sini. Aku tahu aku salah, sudah merepotkan orang banyak, terlebih Bu guru. Tapi … semua demi masa depanku," jawab Kania tanpa ragu. Usianya mungkin baru 10 tahun, namun cara berpikirnya sudah dewasa dibanding anak seusianya. Mungkin faktor keturunan dari sang ayah, juga keadaan yang membangun dirinya menjadi seperti sekarang. "Jadi, apa alasanmu hingga berbuat demikian? Itu sangat berbahaya, Nak. Bagaimana jika kau bertemu orang jahat?" "Ini kesempatanku satu-satunya dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku hanya ingin tahu, siapa--" ucapannya terputus saat suara berat seseorang terdengar. "Aku pulang." Seorang pria berdiri menatap aneh pada pemandangan di depannya. Tidak biasanya ayah ibunya mengobrol di ruang tamu. Dan tak biasa pula mendapat tamu di jam seperti ini yang sudah hampir pukul 8 malam. Sampai pandangannya jatuh pada seorang anak perempuan di samping ibunya yang menatapnya tiada henti. Apa anak itu anak dari tamu kedua orangtuanya? batinnya. Hannah segera berdiri dan menghampiri satu-satunya putra yang ia miliki, berdiri tepat di hadapannya dan menatapnya tajam. "Ada yang harus kau jelaskan!" ucap Hannah dengan suara pelan. Ia tidak ingin Kania mendengar apa yang ia katakan. Alis pria itu mengernyit, ia bingung, dan semakin bingung saat ibunya berbicara pada anak kecil yang masih duduk di sofa tanpa berhenti menatapnya. "Sayang, ini dia orang yang kau cari, jadi, adakah yang ingin kau sampaikan?" Kania segera bangun dan turun dari sofa. Kakinya sedikit bergetar saat memijak lantai di bawahnya. Ia berjalan perlahan menghampiri pria yang ia ketahui sebagai ayah kandungnya. Dan saat ia berdiri tepat di hadapan pria itu, ia mendongak dan menatap tepat pada netra kelam yang serupa dengan matanya. "A-- apa benar, kau ayahku?" tanyanya dengan terbata. Tubuhnya bergetar hebat dengan air mata yang menggenang. Sementara Hannah hanya memegangi dadanya yang terasa sesak. Dugaannya benar, meski ia tidak tahu apa yang disembunyikan anaknya, namun mendengar semua yang Kania katakan, juga melihat rupa Kania yang begitu mirip dengan Revan, ia yakin, ada sesuatu antara keduanya. Begitu juga dengan Akbar, ia sudah bisa menebak, sayangnya ia tidak tahu apa dan bagaimana ini terjadi. Apa anaknya telah memperkosa anak orang, atau anaknya membuat kesalahan, tapi, kenapa saat hasil perbuatannya telah sebesar ini? Revan terdiam, diamatinya Kania lekat-lekat tanpa bersuara. Apa ayah dan ibunya tengah memberinya lelucon? Sayangnya melihat ekspresi kedua orang tuanya, itu seperti tidak mungkin. Dan lebih tidak mungkin lagi ia memiliki seorang anak. Ia masih lajang, dan ia yakin tak pernah membuat satu kesalahan, kecuali pada wanita itu. Namun ia menyangkal, itu sudah sangat lama, jikapun wanita itu hamil, tentu akan menemuinya karena ia telah meninggalkan jejak. Jadi, ini tidak mungkin, ia tidak mungkin ayah dari gadis kecil ini. "Jangan bercanda, aku tidak mungkin punya anak," jawabnya tegas. Bahkan sorot matanya datar tanpa ekspresi yang berarti. Mata Kania membulat, dadanya sesak, amat terasa sesak. Hingga air mata yang coba ia tahan akhirnya mengalir deras. Bahkan hinaan dan cacian orang-orang tak mampu menyakitinya sedalam ini, tapi mendengar kata penyangkalan orang yang ia harap benar-benar ayah kandungnya membuatnya merasakan sakit. Ia tahu, ini adalah jawaban yang mungkin akan ia dapat walau ia telah bekerja keras sampai sejauh ini. Tapi tetap saja, ia tak sanggup menahannya lagi. Harapannya hanya pada pria yang saat ini masih tak bergeming, jika ia bukan, maka tidak ada orang lain lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD