DUA

1892 Words
Seusai kejadian itu akhirnya dengan berat hati Alan merestui Aldra dan Hana untuk menikah. Walau sekejam apa pun, Alan tetaplah seorang manusia. Dirinya tidak tega kalau cucunya akan menjadi anak tanpa seorang ayah, dan mendapatkan kehidupan miskin bersama Ibunya, tentu Alan tidak menginginkan itu, Alan merestui Aldra untuk menikahi Hana, itu pun berkat seorang bayi yang berada di perut Hana. Bukan berarti Alan melupakan kebenciannya terhadap Hana, kebencian itu masih ada dan sepertinya bertambah parah. Mendengar kabar baik itu, akhirnya Aldra dan Hana pun langsung menikah, Mereka hanya menggelar pesta pernikahan sederhana, hanya tamu-tamu penting Gotardo, dan sahabat-sahabat dari kedua mempelai yang hadir, tapi bagi Aldra itu tidak masalah, yang terpenting mereka sekarang sudah menjadi sepasang suami istri yang sah. Aku mencintaimu. Kata-kata itu yang terus Aldra lontarkan untuk istrinya di setiap malam, membuat kedua pipi istri cantiknya selalu bersemu karena ulahnya dan membalas kata-kata romantis suaminya dengan tak kalah romantis pula, membuat senyum Aldra tidak henti-hentinya mengembang. Tetapi dunia memang sedang tidak memihak dengan mereka, kebahagian itu hancur dengan kabar yang membuat seorang Aldra tercengang tak percaya. Di usia ke hamilan Hana yang menginjak tujuh bulan, wanita itu mengalami kecelakan yang membuat kehidupan mereka runtuh seketika. Hana keguguran dan bayi mereka pun tidak terselamatkan. Dan yang paling membuat kehidupan mereka begitu menyakitkan dan terlalu sulit, yaitu vonis dokter yang menangani Hana saat pengangkatan jasad jabang bayi mereka di rahim Hana. 'Istri bapak tidak bisa mengandung lagi.' Kata-kata itu yang membuat kehidupan mereka seperti dijungkir balikan, Aldra seperti dipermainkan oleh takdir. Ketika Aldra begitu sulit memperjuangkan bayi dan ibunya untuk ia miliki, sekeras cobaan dan ujian mampu ia lewati. Saat kebahagiaan itu datang, saat dirinya benar-benar menikmati kesuksesan dari segala perjuangannya, dengan seketika takdir pun mendorongnya jatuh ke dasar jurang terdalam melebihi dalamnya jurang yang ia lalui seperti dulu. Ini begitu menyakitkan, bahkan mereka sudah bersatu menjadi suami istri, kesakitan itu malah datang lebih parah. Karena kejadian itu Aldra mulai berubah, dirinya tidak mampu untuk menutupi kesedihannya, sehingga ia lebih memilih mengalihkan kesedihan kepada botol-botol berisi minuman laknat setiap hari, mengabaikan istri yang nyatanya sama hancur seperti yang dialaminya. Aldra mencintai Hana. Tetapi sekarang ia hanya ingin egois sebentar, melupakan semua kejadian menyakitkan di kehidupannya. "Al hentikan! Kau sudah banyak minum," sentak Kevin teman setia Aldra yang menjadi saksi bisu akan takdir menyakitkan Aldra dan Hana dari dulu mereka berjuang. Aldra sedikit terkekeh saat mendengar suara kevin, dan memandang sahabatnya dengan wajah yang sudah sangat mabuk. "Kau tau perjuanganku seperti apa." Tangan Aldra menunjuk wajah kevin, dengan cengesan orang mabuk. "Karena anakku Ayah mengijinkakanku menikahi Hana." Kembali mencari minuman yang sudah disembunyikan Kevin, lama tidak menemukanya, pria itu mendengus memandang Kevin tajam dan kembali melanjutkan, "Dan sekarang anaku sudah pergi dan Ayah akan mencari cara supaya kami bercerai karena sudah tidak ada harapan lagi, Ayah menginginkan cucu, dan aku tidak bisa memberikannya." Tangis menyedihkan Aldra pun pecah di hadapan Kevin membuat Kevin menatap sahabatnya prihatin, dirinya sungguh kasihan dengan nasib Aldra dan Hana, dia pun tidak bisa berbuat apa-apa kalau takdir yang ikut campur ke dalam kehidupan percintaan kedua sahabatnya. "Kau harus tau Al, bahwa yang paling tersakiti adalah istrimu, sudah lama ia ditinggalkan kedua orang tuanya dan sekarang Hana ditingalkan oleh bayinya, dan seorang suami yang dicintai yang seharusnya menuntunnya bangkit dari semua kejadian buruk ini malah menghidarinya dan bermabuk-mabukan di Club hingga tidak pulang, bagaimana perasaannya. Pasti akan sangat sakit kau harusnya sadar!" Bentakan Kevin yang sedikit keras, seolah-olah menampar Aldra dari semua ini. Ya, seharusnya dirinya berada di samping istrinya, menenangkannya, membawa istrinya untuk bangkit, bukan malah bermabuk-mabukan. Sedikit terhuyung Aldra mulai melangkahkan kakinya dan langsung dicegat oleh Kevin. "Kau mau ke mana?" "Aku akan pulang, aku ingin bertemu istriku." "Biar aku antar." Kevin berakhir mengantarkan Aldra ke apartemennya. Membuat sang wanita berwajah sembab yang sedang membuka pintu begitu terkaget saat melihat suaminya ada di gendongan Kevin. "Dia mabuk lalu ketiduran," ucap Kevin saat melihat ada pertanyaan di mata sembab Hana. Hana hanya mengangguk pelan tanpa suara. Kevin merasa sedih saat melihat wajah sembab Hana. Terlebih ada satu titik denyutan sakit yang masih ia rasakan sampai saat ini ketika menatap wajah Hana. Tetapi itu mampu disembunyikan dengan senyum menenangkan Kevin. "Aku tau kalian pasti kuat, seperti dulu penuh perjuangan untuk menggapai kebahagian dan sepertinya kebahagian ini begitu kuat dan berbeda, dan pasti memperjuangkannya pun harus dengan kesabaran yang berbeda, kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri, jadi tetap terus di sisinya dan berjuang untuk kebahagian kalian," ucap Kevin. "Aku pamit, dan jangan lupa kunci pintunya," lanjutnya. Lalu melangkahkakan kaki tingginya untuk pulang, saat pintu itu sudah tertutup sepenuhnya, tangis kesakitan Hana pun runtuh. Berapa lama lagi aku akan mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya Tuhan? Namun sayangnya kebahagian itu bukan dari suaminya sendiri. *** Satu bulan kemudian. Terlihat seorang remaja laki-laki tampan sedang mengejar gadis cantik di koridor sekolah, laki-laki itu mencekal pergelangan tangan si gadis membuat gadis itu terkejut dibuatnya. "Alika, kita pulang bareng ya, sekalian mampir ke toko buku." Gadis itu pun menoleh dan lebih terkejut lagi saat senior sekolah yang mencegatnya barusan. Mengapa dia ada di sekolah? "Maaf kak Rey, aku tidak bisa, Bunda menyuruhku untuk pulang cepat sekarang." Laki-laki itu sedikit kecewa dan memasang tampang cerianya kembali. "Tidak apa-apa, lain kali saja kalau kamu tidak sibuk." Sedikit senyuman laki-laki itu sematkan. Gadis itu pun mengangguk sambil tersenyum, membuat laki-laki itu memandangnya terpesona, lalu gadis itu kembali melanjutkan langkahnya untuk segera pulang. Kau sangat cantik Alika. Ah, aku harus segera menembaknya dan menjadikannya kekasihku. Batin laki-laki itu bergumam pelan. Beberapa menit terlewati hingga Alika tiba di rumah megah yang terlihat mirip istana, Alika tidak pernah sekali pun sombong menjadi anak orang kaya, bahkan dirinya selalu memakai angkutan umum untuk mengantarkannya ke sekolah. "Bunda Alika pulang," teriaknya. Saat dirinya tiba di dalam rumah dan tidak menemukan ibu kandungnya di sana. Kepalanya sedikit mengedar mencari sosok Bundanya dan mulai melangkahkan kakinya ke arah dapur siapa tahu Bunda lagi memasak. "Loh Bi, Bunda ke mana?" tanya Alika kaget saat melihat hanya Bi Inem sendirian yang memasak. "Nona sudah pulang, Nyonya tadi ke atas sama Tuan, Non." "Oh, Ayah sudah pulang?" kagetnya karena jarang sekali Ayahnya sudah pulang jam segini. "Iya Non, Bibi lihat muka Tuan sedikit kusut, sepertinya ada sedikit masalah kali Non jadi Tuan pulang cepat." "Oh. Yaudah Bi aku ke atas dulu," pamit Alika. Dan bi Inem menganguk pelan mempersilahkan. Alika sedikit berlari saat menaiki tangga, sesampainya di lantai atas, Alika tidak sengaja mendengar tangisan Rahmi ibu kandungnya. Perlahan Alika mulai menghampiri asal suara itu dan melihat Ayah dan Bundanya sedang berpelukan membuat gadis itu menunduk malu karena telah mengintip kemesraan kedua orang tuanya, tapi Alika sedikit bingung kenapa Bundanya menangis. Merasa tidak berhak untuk ikut campur, Alika segera berbalik untuk menuju kamarnya, tetapi langkahnya terhenti saat dirinya dikejutkan oleh suara Bundanya. Bukan, bukan suara Rahmi yang mengangetkan dirinya hingga tubuhnya mematung tak bergerak, tapi perkataan Rahmi lah yang bembuat Alika begitu syok. 'Alika masih kecil, bahkan beberapa hari lagi hari kelulusannya di tingkat SMA, Mas tega jodohin putri kita dan langsung menikahkannya.' Kata-kata itulah yang membuat Alika syok dan langsung berbalik untuk membuka pintu kamar kedua orang tuanya, sehingga penghuni di dalam terkaget oleh ulah tidak sopan Alika. "Apa maksud Bunda?" tanya Alika langsung. Rahmi terlihat terkejut saat melihat putri cantiknya ada di depan mata. Oh Tuhan, putriku mendengarnya. "Sayang, sudah pulang," ucap Rahmi mengusap air mata buru-buru dan menghampiri putrinya. Sedikit senyum ia sematkan. Alika memandang Rahmi penuh selidik kemudian memandang Rafli—Ayahnya secara bergantian. "Maksudnya tadi apa? Aku mendengar tadi Bunda bilang aku akan dijodohkan, apa itu benar?" tanya Alika. Bibir Rahmi tertutup rapat, ia tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi, sebagai seorang ibu dirinya tidak mau masa depan anaknya hancur, tapi dirinya juga tidak bisa berbuat apa-apa. "Ganti baju dulu, nanti akan Ayah ceritakan saat makan malam," ucap Rafli. Alika memandang Rafli sebentar dan mengangguk pasrah, sebenarnya Alika sungguh sangat penasaran bagaimana kalau itu benar, tapi Alika hanya bisa menurut dan mulai melangkahkan kaki mungilnya ke dalam kamar bernuansa pink itu. Sesudah mandi dan berganti baju Alika segera bergegas menuruni tangga dan melihat kedua orang tuanya yang sudah duduk di meja makan. Alika mulai berjalan pelan lalu mendudukan diri di sisi Ayahnya dan berhadapan dengan Rahmi. "Makanlah dulu, sesudah makan. Ayah janji akan menceritakan semuanya," ucap Rafli begitu melihat mata putrinya menatapnya seolah bertanya —apa yang terjadi Ayah? Karena Alika tidak pernah bisa membantah Ayahnya, alhasil Alika hanya bisa menurut pasrah, dan mulai memakan makanannya dalam diam, Rahmi pun sama sedari tadi hanya diam memperhatikan. Waktu yang ditunggu Alika pun tiba. Dirinya sudah menyelesaikan makanannya begitu pun dengan kedua orang tuanya, dan sampailah Alika, duduk di sofa ruang tamu memandang kedua orang tuanya dengan rasa lumayan cemas, dirinya sungguh takut kata-kata yang ia tidak suka akan terucap dari mulut Ayahnya. Rafli mencoba berdeham sejenak untuk menenangkan pikirannya, kemudian mulai berkata, "Yang tadi kau dengar itu benar Sayang, Ayah akan menjodohkanmu dengan seseorang." Bagaikan petir di siang bolong, Alika langsung membulatkan matanya terkejut dan memandang Ayahnya tidak percaya. "Ayah aku baru kelas tiga SMA, bahkan sebentar lagi kelulusanku Ayah, kenapa Ayah menjodohkanku tiba-tiba?" "Justru karena kau sudah akan lulus, jadi calon mertuamu meminta Ayah untuk menikahkan kalian secepatnya." Alika menggeleng, kedua matanya sudah berkaca-kaca ingin menangis karena mendengar kabar berita ini. "Tapi Ayah, aku tidak mau. Apa tidak bisa menunggu, aku ingin kuliah dan melanjutkan cita-citaku untuk menjadi dokter." Alika berbicara sambil menunduk takut, karena seumur hidupnya baru kali ini dia melawan Rafli. "Tidak bisa Sayang. Semuanya sudah terlanjur, Ayah sudah berjanji kepada beliau akan segera menikahkanmu dengan putranya." Rafli sedikit merasa bersalah melihat genangan air di pelupuk mata Alika. Sedangkan Rahmi dirinya sudah tidak bisa berkata lagi, bibirnya seakan tidak bergerak saat melihat raut kecewa dari wajah putrinya. Karena Rahmi sangat tahu, sebesar apa cita-cita Alika ingin menjadi seorang dokter dan sekarang impian itu runtuh karena keegoisan suaminya. "Ah, aku tau Ayah hanya mengerjaiku kan? Kalau begitu terima kasih Ayah karena telah berhasil mengerjaiku," ucap Alika. Lalu bangkit berdiri dan mulai melangkah. Sebelum kaki itu berjalan jauh Alika terkejut dengan suara bentakan dari Rafli membuat sekujur tubuhnya mematung seketika. "Alika! Sejak kapan kau bersikap tidak sopan dengan kedua orang tuamu, bahkan Ayah belum mengizinkanmu beranjak, "Dan ucapanmu salah Ayah tidak mengerjaimu, Ayah memang sudah menyetujui perjodohan ini dan Ayah harap, kau bisa mengerti dan menerimanya." Setetes cairan bening di pelupuk jatuh mengalir di pipi Alika, berbalik pelan memandang Rafli dengan sangat kecewa. Sedangkan raut wajah Rafli terlihat merasa bersalah karena sudah membentak putri tercintanya. "Maaf-" "Ayah egois!" Perkataan Rafli terpotong oleh suara teriakan Alika. Alika pun terlihat terkejut dengan suara lancangnya, lalu menunduk. "Tolong Ayah aku tidak mau dijodohkan," lanjutnya. Suara Alika terdengar pelan, air mata semakin deras mengaliri wajah sedikit chubbynya. "Ayah tidak bisa. Ini sudah perjajian dan kalau kau menolak perjodohan ini, perusahaan yang Ayah rintis dari dulu akan hancur karena ini, keluarga calon suamimu minggu depan akan berkunjung ke sini untuk mempersiapkan tanggal pernikahan kalian, jadi Ayah mohon, terimalah." Skakmat. Alika menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan, kepalanya menunduk menyembunyikan derasnya lelehan basah di kedua pipinya. Dirinya sudah tidak ada harapan lagi, dan impian yang selama ini ia impikan akan runtuh seketika karena ini. "Apa tidak ada cara lain?" tanyanya. Kepalanya mendongkak memperlihatkan mata indahnya yang sembab. Dan pertahanannya pun runtuh saat gadis itu melihat gelengan lemah dari Ayah tercintanya, seakan-akan dirinya mendapatkan mimpi buruk yang sangat menyeramkan, tubuh gadis itu terduduk di lantai yang dingin dengan suara isakan yang terdengar keras. Melihat putri semata wayangnya menangis seperti itu, membuat wanita paruh baya yang masih terlihat cantik langsung buru-buru menghampiri putri kecilnya, memeluknya begitu erat, tidak lupa bibir wanita itu pun terus meminta maaf, pria yang sedari tadi memperhatikan kedua wanita yang dicintainya pun turut memeluk kedua wanita berharga di dalam hidupnya bersama gumaman pelan. "Maafkan Ayah, Ayah tidak punya pilihan lain, maafkan Ayah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD