Botol s**u mengenai kepala Ibu Mertua.
"Mel!" Bang Fardan mengagetkanku.
"Astaghfirullah!" Kenapa aku halusinansi. Seolah ada yang membisikan untuk melakukan kejahatan, untuk melukai orang yang membuat aku merasa tektekan.
"Kenapa? Kok bengong begitu?" tanya Bang Fardan kembali, "kata Ibu kamu bertengkar lagi?!"
Ya kan, dia ngadu lagi!
"Sebaiknya Ibu suruh pulang saja, Bang! Ada Ibu aku makin tertekan. Bukan makin membantu meringankan dia kerjaannya nyindir mulu!" ucapku terus terang. Aku ingin Ibu Mertua pulang saja. Aku makin merasa jika dia menanmbah beban mental ku.
Bang Fardan terdiam, pasti dia bingung untuk menyuruh Ibunya kembali pulang. Aku makin kesal, kuangkat Zia dan membawanya keluar.
Aku keluar keteras. Terlihat didepan Ibu Mertua tengah berbelanja sayuran di tukang sayur yang keliling. Entah kenapa rasanya mereka memperhatikan aku. Masa bodoh! Aku mendekat ketempat di mana tukang sayur berhenti. Tepatnya di depan pintu gerbang rumahku.
"Bang, Mau apelnya satu!" Aku menunjuk bungkusan apel tepat didepan Abang sayur.
"Ini, Non!" Abang menyerahkan apel padaku.
"Itu anaknya di tutupin, Neng. Kasian kepanasan!" Seseorang Ibu berkomentar. Karena memang aku membawa Zia tanpa penutup kepala.
Aku mengangguk dan menarik kain Jarit yang untuk mengendong. Menutupi kepala dan wajah Zia.
"Dia itu memang begitu! Kalau di bilangin ngeyel, suka ngebantah. Menantu pembangkang!" Ibu Mertua menyela, aku yang hampir pergi segera menghentikan langkah.
Membalik badan. Terlihat para Ibu tengah berbisik. Aku menatap tajam pada Ibu Mertua. Ingin rasanya aku mendekat dan merompes mulutnya yang pedas itu.
"Tuh! Lihat sendiri kan, Bu. Di bilangin begitu mau ngelawan. Wajahnya bringas kaya mau nerkam! Memang ya aku ngga bohong kan?" Ibu makin membuat amarahku memuncak. Ingin rasanya saat itu juga kutarik dia masuk kedalam.
Mataku berkaca-kaca. Seolah rasa sesak memenuhi rongga d**a. Apalagi beberapa pasang mata menatap kearahku.
Sabar! Sabar, Mel.
Segera aku berbalik dan sedikit berlari masuk kedalam. Aku luapkan tangis di kamar. Tersedu di atas tempat tidur dengan Zia masih dalam gendongan.
"Loh! Kok nangis?" Bang Fardan yang baru keluar dari kamar mandi heran.
"Ibu, Bang! Ibu keterlaluan. Dia bilang kepada semua orang jika aku ini menantu pembangkang. Dia itu keterlaluan!" Aduku pada Bang Fardan.
"Kata siapa? Jangan memanipulasi. Orang aku cuma bilang kalau kamu susah di bilangin kok!" Ternyata Ibu masuk dan mendengar pengaduanku.
"Bu, jangan begitulah, Semua kan bisa di bicarakan baik-baik. Tak perlu semua terdengar sampai keluar jikaa ada ketidak cocokan antara kalian." Bang Fardan berkata dengan bijak. Memang dari cara bicaranya pada semua orang, Bang Fardan dapat diberi nilai plus. Dia sangat lihai dalam berucap.
"Tapi istrimu itu memang pantas di begitu kan. Sekali-kali biar ngga membangkang!" Ibu Mertua kembali bersuara.
Aku menatap Ibu geram, "Ibu yang memang sepantasnya di beri pelajaran. Ibu itu mertua yang tak menyayangi menantunya!"
"Ya karena kamu bukan menantu yang Ibu harapkan! Kamu itu hanya orang yang merebut kebahagian Ibu karena menggagalkan rencanaku untuk menjodohkan dia dengan anak teman Ibu!" Ibu mertua berkata dengan meluap-luap.
Apa maksud Ibu?
"Udahlah, Bu. Anggap saja dulu aku memang tak berjodoh!" Bang Fardan mengiba.
Entah apa yang terjadi di masa lalu. Bang Fardan tak pernah sedikitpun cerita tentang kisah percintaan masa lalunya.
"Alah! Kamu aja yang tergila-gila padanya. Perempuan pembangkang, tak menurut dan ...."
"Cukup, Bu!" Bang Fardan sedikit meninggikan suara.
"Kamu, Dan! Kamu sudah berani bentak Ibu hanya untuk membelanya?! Kamu sudah mulai durhaka hanya karena wanita ini!" Ibu mengarahkan telunjuk padaku. Aku terdiam melihat Ibu murka.
"Bu-bukan begitu, Bu. Terimalah Amel sebagai menantu Ibu. Dia itu baik asal tidak Ibu dahului. Cukup, Bu. Aku kesal jika kalian terus saja bertengkar!"
"Alah, kamu memang sekarang ngga sayang Ibu! Kamu lebih membela dia dari pada Ibu. Kalau begitu, mending Ibu pulang saja! Tak betah berlama-lama di rumah neraka ini! Ingat ya, Mel. Jangan di kira Ibu mengalah. Akan ibu pastikan bahwa Fardan tetap putraku! Bukan milikmu!"
Aku menghela nafas. Apa yang salah denganku? Aku tak pernah merebut Bang Fardan dari siapapun. Ibu itu maunya apa sebenarnya? Apa karena yang telah diucapkannya tadi, bahwa aku memang telah merebut Bang Fardan dari wanita pilihan Ibu?
"Bu! Ibu!" Bang Fardan memangil Ibunya, mungkin dia takut jika Ibu pergi dengan keadaan marah. Sedangkan aku memilih menidurkan Zia dan meletakkannya di box bayi.
Aku melangkah frustasi ke kamar mandi. Rasanya tak sanggup untuk menghadapi ini. Kenapa? Kenapa aku harus memiliki ibu mertua macam dia dan bertemu dengan Bang Fardan yang memiliki kelainan s*x.
Kuguyur air membasahi wajah. Bisikan untuk menyerah terus terdengar ditelinga. Rasanya bisikan itu makin kuat. Bahkan kali ini, aku mendengar bisikan jika tubuh ini harus di lukai bahkan kalau perlu hingga nyawa melayang.
Kenapa?
Apa karena faktor kelelahan jiwa? Apa aku sudah mulai tak waras? Aku merasa menjalani semua ini dengan gamang. Antara ingin maju atau memilih mundur.
Tuhan! Tolong aku ....
Kuremas rambut sekuat mungkin. Rasanya kepalaku berputar dan kepala ingin terlepas dari lehernya.
Aku marah! Marah pada semua!
Aarrrggghhhh ....
===®®®===