Bukan Solusi

709 Words
Ku ayun-ayun Zia, badanku rasanya sakit semua. Kenapa tubuh ini seolah masih belum bisa fit seperti dulu. Zia tak jua mau menyusu. Aku makin di buat gemas. Makin lama aku makin merasa lelah. Kalau tak ada dia, aku tak akan seperti ini! "Susuin buruan! Nangis terus itu!" Bentakan Bang Fardan membuat hati ini makin dongkol. Kalau Zia mau nyusu pasti sudah aku susuin dari tadi. Kuraih popok milik Zia yang tergeletak disisi ranjang. Kukuel menjadi bentuk bulat dan bersiap untuk menyimpan mulut bayi mungil itu. "Diam!" Segera aku melempar popok tadi. Aku masih waras. Aku tak mungkin menyakiti anakku. "Kamu kenapa?" tanya Bang Fardan mendekat. Ia sudah mencuci muka. "Aku capek, Bang! Aku capek ngurus bayi ngurus nafsu kamu! Aku capek, aku mau pulang kerumah ibu saja!" Kusingkapkan unek-unek dihati. Selama menikah dengan Bang Fardan dua setengah tahun, memang baru beberapa bulan aku punya rumah sendiri. Itu berkat tabungan yang kita kumpulkan selama menumpang di rumah orang tuaku. Kurangnya Bapak yang menambahkan. "Kamu jangan begitu. Tugas seorang istri ya itu, jangan sering membantah!" Aku menghela nafas, memang benar-benar Bang Fardan tak pernah mengerti. Mungkin kalau di rumah Ibu, aku bisa sedikit tenang, tugasku hanya mengasuh anak dan mandi tiap malam ada water heater. Kini aku lelah jiwa dan raga! "Bang! Kasih aku pembantu, agar bisa mengurus rumah atau kalau tidak kasih aku baby sitter biar ada yang mengurus bayi dan pasang water heater agar aku mandi ngga kedinginan. Fisikku sudah tak sekuat dulu saat belum punya anak!" Sebenarnya Bang Fardan mampu untuk menyewa satu pembantu. Gajinya sebagai direktur cukup jika di bagi untuk sekedar membayar satu orang. Dia menjabat sebagai direktur baru. Aku pernah melihat slip gajinya saat pengangkatannya kemarin sebelum aku melahirkan. Diperlihatkan daftar gajinya saat peresmian pengangkatannya. Aku lelah markonahh. "Ngga perlu itu, aku ngga mau privasi kita di rumah di ketahui banyak orang. Biar aku suruh Ibu saja untuk bantu kamu dirumah. Biar dia bisa mengasuh Zia dan kamu bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Sedangkan pasang water heater membuat listrik berat. Ace satu saja sudah sering anjlog kilometernya." Aku makin bernafas berat, itu bukan solusi tapi penambah beban. Bagaimana mungkin aku hidup satu rumah dengan Ibu Mertua. Dia tak pernah sejalan denganku. Apa aku harus bersabar. Mungkin, Bang Fardan masih belum bisa mengelola dan mengira. Baru satu bulan ini dia menerima gaji yang dua kali lipat dari pertama. "Tapi, Bang. Kamu kan tahu kalau aku dan Ibu ...." "Sudahlah, kamu mengalah, jangan selalu debat dengan Ibu. Aku ini anak laki-laki satu-satunya." Air mata kini merembas sempurna. Bang Fardan sudah terlelap dalam mimpinya. Zia juga sudah kutenangkan. Sepertinya tahu jika ibunya sudah marah tadi dan hampir melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Pagi menjelang. Kusiapkan sarapan dengan mata sembab. Aku tak tidur semalam, badanku mengigil namun tak berani mengecilka Ace. Kini badan makin tak karuan tapi kupaksakan untuk tetap membuat sarapan. "Nanti Ibu tiba jam sepuluh. Kamu bersihkan kamar depan!" ucap Bang Fardan membuat aku seketika terdiam. Benar-benar Bang Fardan tak main-main. Bagaimana ini? "Ya sudah, aku berangkat. Sudah ada Ibu. Nanti malam persiapkan. Aku ngga mau kejadian kaya semalam." Kucium tangan Bang Fardan, tak membantah satu katapun. Di hati ini terasa sesaknya. Setelah membereskan bekas makan, aku memandikan Zia kemudian menidurkan dia sambil menyusui. Tanpa terasa mata begitu berat dan membuat aku terlelap bersama Zia dalam pelukan. "Oh! Begini kerjaan menantuku!" tiba-tiba aku kaget karena suara Ibu mertua yang kencang. "Ibu!" Aku beranjak untuk duduk tanpa membuat Zia terbangun. "Amel! Ibu lapar, buatkan Ibu makanan!" Perintahnya kemudian. Aku menuruni ranjang dan menuruti permintaannya. Begini bukan meringankan beban tapi menambah beban. Kubuatkan nasi goreng, saat tengah mengoseng makanan Zia menangis. Kulirik Ibu mertua yang tengah santai membaca koran. "Bu, bisa tolong gendongkan Zia?" ucapku pelan, takut menyingung. Dia menurunkan koran, "aku baru sampai, kesal. belum di kasih minum dan makan sudah di suruh-suruh. Menantu apaan kamu! Bisanya menghabiskan uang suami tapi jadi istri tak pecus!" Tanpa menunggu lama aku segera melemparkan sepatula kewajan dan langsung pergi kekamar untuk menenangkan Zia. Rasanya aku sudah sangat tertekan. Kedatangan Ibu tak banyak membantu, justru menambah bebas saja. "To-tolong! Kebakaran!" Dari luar suara Ibu terdengar. Aku tersenyum dengan memandangi wajah Zia yang mulai kembali terlelap. "Kamu jangan rewel! Biar semua Mama yang bermain!" Kuusap pipi Zia dan kuabaikan panggilan Ibu yang berkali-kali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD