Bab 3 : Dijodohkan

1234 Words
Bab 3 : Dijodohkan Hari ini, Haikal mendapat libur sehari dan ia berencana akan menghabiskan waktu bersama sang istri tercinta. Ia ingin mengajaknya jalan-jalan keluar. Akan tetapi, Maura sudah tak terlihat di rumah, ia sudah menghilang sejak bangun tidur. “Ah, aku juga lupa mengabarinya kalau hari ini libur.” Haikal berdecak kesal sambil membuka pintu rumahnya, lalu duduk di teras sambil mengotak-atik ponsel, mengetik pesan untuk istrinya. Bu Ida yang melihat putra bungsunya sedang bersantai seorang diri, langsung turun dari rumah dan menyebrangi jalan. Dengan tergopoh-gopoh, ia melangkah memasuki perkarangan rumah Haikal. “Kal, gak kerja kamu hari ini?” tanya Bu Ida sambil duduk di samping Haikal. “Dapat libur sehari, Bu,” jawab Haikal dengan tak mengalihkan pandangan dari ponsel di tangannya. “Nah, bagus kalau gitu. Segeralah bersiap, kamu temani Ibu pergi ke rumah teman,” ujar Bu Ida sambil mengembangkan senyum, ia sudah merencanakan sesuatu untuk putra bungsunya itu. “Teman yang mana sih, Bu, dan mau ngapain? Kenapa gak minta ditemani ama Mbak Henni saja?” tanya Haikal dengan tak bersemangat, sebab chat yang ia kirim ke sang istri tak terkirim. “Mbak Hennimu lagi sibuk ngurusin dua anaknya yang lagi sekolah online. Ya sudah, Ibu ganti baju dulu,” ujar Bu Ida sambil membalikkan tubuh. “Oh iya, kita pakai motor Mbakmu saja, Ibu susah naik ke motormu yang gede itu,” sambung ibunya lagi. Haikal lagi-lagi hanya melengos dan masuk ke dalam rumahnya, mengganti celana pendeknya dengan celana panjang lalu meraih jaket kulitnya. Beberapa saat kemudian, kedua ibu dan anak itu sudah meluncur di jalanan. Bu Ida memegang pinggang putra bungsunya, jarang sekali ia bisa mengajaknya berjalan-jalan seperti sekarang semenjak Haikal menjadi petugas Damkar. Ketika bekerja sebagai ABK lebih lagi, mereka jarang sekali bertemu. Haikal memang menyukai pekerjaan yang menantang adrenalin, jiwa sosialnya tinggi dan rela merauntau demi tuntutan kerja. Hanya ibunya saja yang selalu mengkhawatirkannya, bagaimana tidak, ia putra bungsu dari tiga bersaudara yang semuanya wanita. “Kal, itu ... yang rumahnya pagar biru,” ujar Bu Ida sambil menepuk pundak Haikal. Haikal melambatkan laju sepeda motornya, lalu berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan taman bunga yang terlihat sangat indah. Bu Ida turun dari motor dan mengajak Haikal untuk masuk. “Ayo, Kal!” ajak ibunya. “Ibu sajalah, aku tunggu di sini saja, tapi jangan lama-lama, ya!” Haikal menatap wanita berumur 57 tahun itu. “Ayo, masuk! Mana boleh Cuma nunggu di motor gitu!” Bu Ida menarik lengan Haikal dan menyeretnya ke depan pintu yang sudah terbuka itu. Dengan tampang manyun, Haikal menuruti keinginan ibunya. “Assalammualaikum,” ucap Bi Ida sambi membunyikan bel yang ada di samping pintu. “Waalaikumsalam,” jawab sang tuan rumah sambil melangkah ke ruang tamu dan melihat tamunya. “Eh, Jeng Ida, ayo masuk!” Bu Ida tersenyum lalu cepika-cepiki dengan si tuan rumah, sembari melangkah masuk. Haikal mengikuti langkah ibunya, lalu duduk di sopa bersebelahan dengan sang ibu. “Jeng Ratna, sorry ya ... aku baru kali ini bisa mampir ke sini soalnya anak bungsuku ini sibuk melulu,” ujar Bu Ida sambil tertawa renyah sembari menepuk Haikal. Kedua ibu-ibu arisan itu mulai terlibat obrola ala emak-emak, menceitakan hal yang tidak penting. Akan tetapi, Bu Ida selalu membanggakan Haikal di depan temannya itu. Haikal jadi ceriga dengan gelagat sang ibu yang ia sudah sangat hapal akan sifatnya. “Oh, gitu. Pas banget, Jeng, Nindi juga libur hari ini. kok bisa barengan gitu, ya?” ujar Bu Ratna sambil tertawa renyah pula. “Kayaknya emang jodoh deh, Jeng.” Bu Ida tersenyum lagi. “Ya sudah, buruan panggil Nindinya!” Dengan senyum yang selalu mengembang, wanita berhijab putih itu masuk ke dalam dan memanggil anak gadisnya yang kala itu sedang memasak di dapur. “Nindi, cepat cuci tanganmu, lalu ganti baju yang cantik! Teman mama, Jeng Ida, mau mengenalkan kamu dengan putra bungsunya. Dia tampan dan cool, mudah-mudahan dia jodohmu!” ujar Bu Ratna dengan bersemangat. Nindi menghela napas, lalu beranjak masuk ke kamarnya. Ia sudah tak heran lagi dengan ulah sang mama yang selalu berusaha menjodohkannya dengan semua anak temannya itu. Ia malas membantah, apalagi dengan usianya yang kini sudah menginjak 28 tahun, sudah sangat matang untuk berumah tangga. Akan tetapi, ia selalu gagal dalam menjalin hubungan, semua pacarnya selalu berselingkuh dan meninggalkannya, maka dengan itu, ia sudah malas untuk berkenalan dengan pria dan membiarkan mamanya saja yang mencarikannya jodoh. Sepuluh menit kemudian, kedua teman arisan itu sudah duduk berhadapan dengan masing-masing menggandeng anak mereka. “Nindi ini seorang perawat, usianya 28 tahun,” ujar Bu Ratna sambil melirik sang putri yang kini duduk di sampingnya. “Kal, liat tuh ... Nindi cantik banget, ya?” bisik Bu Ida sambil menyikut Haikal yang malah fokus dengan ponselnya. “Eh!” Haikal gelagapan dan ponselnya langsung terlepas jatuh ke lantai. “Sini ponselnya, ibu sita dulu untuk sementara!” bisik Bu Ida lagi sambil meraih ponsel Haikal yang jatuh di kakinya, lalu menyimpannya ke dalam tas. Haikal menghela napas panjang melihat tingkah ibunya, lalu mengangkat wajah. Kini tatapannya beradu dengan Nindi dan Bu Ratna. Ia tersenyum tak enak dan sedikit salah tingkah diperhatikan oleh kedua ibu dan anak itu. “Silakan diminum, Bang, tehnya!” ujar Nindi kepada Haikal. “Eh, ya, terima kasih,” jawab Haikal sembari menarih cangkir teh dan menyeruputnya sedikit. “Bang Haikal sudah berapa lama kerja di Damkar? Kayaknya kemarin kita pernah ketemu loh, saat Abang memadamkan api Perumahan Pawan Asri seminggu yang lalu,” ujar Nindi lagi, sebab saat itu ia salut akan keberanian salah satu tim damkar yang menerobos api demi menyelamatkan seorang anak. “Oh, ya? Jadi ... kamu ... perawat yang ada di sana saat kejadian naas itu?” Haikal mulai mengingat-ingat kejadian itu. “Iya, Bang, Nindi salah satu dari dua perawat wanita itu. Abang pasti gak lihat, soalnya waktu itu abang lagi bertugas.” “Iya.” Haikal tersenyum. Bu Ida dan Bu Ratna saling pandang, mereka saling menaikkan alis melihat anak-anaknya sudah mulai mengobrol. Satu jam kemudian, Bu Ida pamit pulang dan berjanji akan bertamu lagi di lain waktu. Haikal hanya menghela napas panjang dan menarik gamis ibunya, mengajak pulang karena biarpun sudah di depan pagar, kedua ibu arisan itu masih saja mengobrol. “Ayo pulang, Bu!” ujar Haikal sudah bersiap di atas motornya. “Iya, iya, sebentar lagi,” jawab Bu Ida sambil menoleh sekilas kepada Haikal yang sudah merengut karena bosan. “Ya sudah, Jeng Ratna, kami pulang dulu. Selebihnya kita obrolin di wa ya!” Bi Ida naik ke motor lalu melambaikan tangan kepada temannya itu. Motor mulai melaju menuju pulang. Bu Ida tersenyum senang sambil memeluk pinggang Haikal. “Kal, Nindi cantik dan baik ya? kamu mau ‘kan kalau ibu mau jodohin kamu sama dia?” ujar Bu Ida. Haikal menarik napas berat, dugaannya ternyata benar. Ia akan dijodohkan dengan anak teman ibunya itu. “Haikal udah punya istri, Bu,” jawab Haikal kesal. “Istri yang mana? Ibu aja gak pernah tahu siapa istrimu itu? Berhentilah berhalusinasi, Nak! Umurmu udah tua, sebaiknya terima Nindi sebagai jodoh. Dia cantik, baik dan seorang perawat pula. Pekerjaan kalian saja udah ada chimestrynya, kurang apalagi, coba? Kalian sama-sama berjiwa sosial, mengabdi pada masyarakat,” ujar Bu Ida dengan berapi-api. Haikal terdiam. “Kalau kamu menolak untuk dijodohkan, maka Ibu akan membawamu ke Pak Ustad, buat dirukyah!” ancam Bu Ida lagi. Haikal mengerutkan dahi mendengar ancaman dari ibunya. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD