Nara memasukan semua barangnya kedalam tas, setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal diatas meja kerjanya. Prempuan itu mengalihkan pandangnya pada anaknya yang sedang memainkan ponselnya.
"Eitss, Mama ambil ya. Kan udah lama mainnya." ucap Nara seraya mengambil ponselnya yang berada digengaman Razka lalu menyimpannya didalam tas.
Razka menganguk, "iya, gak papa. Ma." ucap Razka seraya turun dari bangku.
Senyum Nara mengembang, ini yang Nara suka dari anaknya. Jika ia mengatakan sudah, maka dengan senang hati Razka menuruti perkataannya.
Memang, bagi seorang ibu kebahagian anaknya adalah hal nomor satu. Nara sangat tahu Razka senang bermain game diponselnya, tapi sebisa mungkin Nara akan membuat anaknya bahagia tanpa harus dengan bersentuh layar.
Seorang ibu bijak tidak hanya memikirkan kebahagian anaknya saat itu juga, tapi memikirkan kebahagian jangka panjang anaknya.
"Razka mau beli apa nanti didepan?" tanya Nara seraya menggandeng tangan Razka menuju lif untuk turun kebawah.
Biasanya, saat sore seperti ini banyak pedagang kaki lima yang berjualan didekat kantornya. Razka sangat suka jika diajak kesana, maka setiap kali Razka ikut ke kantor bersamanya, bocah itu akan meminta untuk belanja disana.
"Mau donat yang ada putih-putih diatasnya, Ma." ucap Daffa yang langsung membuat Nara menanguk mengerti. Itu loh, donat yang ditaburi gula halus diatasnya.
"Sama harum manis, gorengan, empek-empek ---"
"Mau diapain semua itu?"
"Mama ini gimana sih. Dimakan lah."
"Nanti kalo batuk gimana?" tanya Nara berkacak pinggang. Sedangkan Razka hanya menyengir tak bersalah.
"Kalo batuk yah, uhukk... Uhukk, Ma," ucap Razka dengan menirukan suara saat dirinya batuk. Nara yang gemas melihatnya, dengan sengaja mengacak rambut Daffa gemas.
"Gak boleh, donat aja ya Bang. Mama lagi gak ada uang kecil soalnya," ucap Nara seraya menggandeng tangan Razka keluar dari kota besi.
Bibir Razka mengerucut, "bilang aja gak duit, Ma," ejek Razka membuat Nara terkekeh.
"Itu tahu,"
"Babang maunya tempe, Ma. Gak mau tahu."
Nara hanya bisa geleng-geleng dengan jawaban aneh Razka, wanita itu kini memfokuskannya pandanganya untuk mencari mobilnya diatara mobil yang terpakir di basement ini.
Setelah tahu dimana keberadaan mobilnya, Nara melangkahkan kakinya menuju tempat itu. Pegangan tanganya pada Razka masih kuat, bocah itu sering menghilang sendiri jika Nara tidak menggengam tangan mungil itu.
Sesampainya disana, perhatian Nara tertuju pada benda bulat yang berada dibawah mobilnya.
"Kok ini bannya kempes, sih?" tanya Nara seraya menepuk-nepuk ban mobilnya.
"Bocar kali, Ma."
Nara menganguk setuju dengan ucapan anaknya, jika sudah begini Nara lebih memilih untuk menggunakan tranportasi umum, daripada dirinya dan anaknya kemalaman sampai dirumah.
"Babang!"
Perhatian Nara teralih saat sebuah suara memanggil nama panggilan anaknya. Razka pun ikut moneleh.
"Bang, ngapain disini?" tanya Dariel yang saat itu sedang berada didalam gendongan Adrian.
"Mobil Mama Babang bannya kempes, Yel." Razka menunjuk ban mobil Mamanya yang kempes. Nara pun bangkit dari jongkoknya dan menyapa bosnya itu yang sedang menggendong anaknya.
"Sore, Bos," sapa Nara dengan cengiran khasnya.
Adrian hanya menganguk, membuat Nara menjadi salah tingkah. Salahkan Nara juga, mengharapkan sapaan balik dari Bos muka tripleknya itu.
"Daddy, kita antalr Kak Nalra sama Babang, boleh?" Dariel menatap Adrian, meminta persetujuan dari ayahnya itu.
Bagaikan mendapat jackpot, Adrian berseru gembira didalam hatinya. Tentunya hal itu tidak akan diperlihatkannya, bisa rusak reputasinya yang terkenal dingin pada karyawan. Dan Adrian tidak perlu bersusah-susah untuk menawarkan tumpangan pada Nara dan Razka.
Adrian menatap Nara, membuat wanita itu semakin salah tingkah. Nara tahu bosnya itu tidak akan sudi memberikan tumpangan untuk dirinya dan anaknya, hal itu terbukti saat ayah dan anak itu berbalik badan dan mulai melangkah.
"Dasar, si muka triplek pelit!" guman Nara pelan saat bossnya itu sudah menghilang dari pandangnnya.
Nara mensejajarkan tubuhnya dengan Razka. "Kita naik taksi aja ya, Bang?" tanya Nara seraya mengelap peluh keringat didahi Razka.
Razka menggeleng, "gak mau, Ma."
"Mobil Mama bannya kempes, kalo mau telpon montir lama lagi, Bang."
"Aduuh, Babang itu mau pulang naik taksi tapi beli donat dulu. Kan Mama udah janji," ucap Razka mengerucutkan bibinya membuat Nara terkekeh.
"Oh iya, kita mau beli donat dulu."
Nara bangkit lalu menggandeng tangan Razka, baru saja dua langkah ia tapaki suara klakson mobil mengagetkannya.
Tinnn...tin....
Sebuah mobil Pajero berhenti didepan Nara dan Razka. Kaca hitam itu diturunkan dari dalam membuat Nara bisa melihat siapa pengemudi itu.
Adrian menurunkan kaca mata hitam yang bertengger manis hidung lancipnya. "Ayo, naik!" ucapnya membuat Nara mengerutkan keningnya.
Nara menunjuk dirinya pada Adrian, takut-takut mata pria itu minus sehinggat tidak tahu siapa yang ia ajak.
Adrian berdecak, "ckkk. Iya, kamu!" ucap Adrian menunjuk Nara. Mulut Nara terbuka, mimpi apa dia semalam bisa semobil dengan bos besarnya. Lagi pula tadi bosnya itu nampak tidak mau mengantarkan Nara dan Razka.
"Eh, iya, Boss." Nara gelagapan. Prempuan itu segera membuka pintu belakang mobil dan mendapati Dariel duduk dengan bersimbah air mata.
"Loh kok nangis?" tanya Nara menghapus air mata Dariel. Ajaibnya, raut muka Dariel langsung berubah gembira saat tangan Nara menyentuh pipinya.
"Kak Nalra." ucap Dariel gembira. Nara balas tersenyum dan langsung mengangkat tubuh Razka untuk naik kedalam mobil
Saat hendak menutup pintu mobil, Adrian mengatakan sesuatu membuat Nara tidak jadi menutup pintu mobil.
"Kamu pindah didepan."
"Hah? Saya Boss?" tunjuk Nara pada dirinya. Dari balik kemudi Adrian menganguk tegas, "saya bukan sopir kamu. Jadi segera pindah kedepan." ucap Adrian membuat Nara segera berpindah posisi.
"Iya, Boss."
Setelah Nara berpindah posisi duduk, barulah Adrian menjalankan mobilnya.
"Kak Nalra, Iyel duduk dipangku sama Kakak ya." belum sempat Nara menjawab perkataan Dariel, bocah itu langsung duduk dipangkuan Nara.
Dengan senang hati, Dariel menyandarkan kepalanya didada Nara, membuat prempuan itu mengelus lembut puncak kepala Dariel.
Hal itu tidak luput dari pandangan Adrian. Dirinya merasa Nara memanglah cocok untuk menjadi Ibu baru untuk Dariel. Terlihat betapa nyamannya Dariel saat kepalanya dielus oleh Nara. Adrian tahu, Dariel bukan anak yang mudah dekat dengan seseorang.
"Kinara," panggil Adrian tapi fokus lelaki itu masih lurus ke depan, menatap jalan raya.
"Panggilnya, Nara aja Bos."
"Kalau begitu, kamu panggil saya Adrian saja. Impaskan?" tanya Adrian mengalihkan pandanganya sesaat pada Nara. Hanya sesaat karena lelaki itu harus kembali fokus untuk mengemudi.
"Oke, Adrian."
Adrian memelototkan matanya, ia pikir wanita itu akan berbasa-basi dahulu saat Adrian menyuruhnya memanggil nama saja, tanpa embel-embel Bos atau semacamnya.
"Ada yang mau saya bicarakan pada kamu Nara," ucap Adrian gugup. Bayangkan saja dia sudah terlalu lama untuk berbicara sedekat ini pada wanita setelah sekian lama.
"Bicara aja, Bos," ucap Nara tanpa mengalihkan pandangannya, prempuan itu nampaknya sedang bersendagurau dengan Dariel.
"Saya mau kamu menjad----"
"Stooop!"