7

1657 Words
Titt.. Tit.. Nara menjulurkan tanganya, mematikan alarm yang telah membangunkannya. Tanganya mengucek-ngucek matanya, memberihkan sisa mimpi semalam. Nara merasakan sesuatu yang memeluk pinggangnya erat. Jangan harap jika itu adalah tangan lelaki dewasa yang baru saja merenggut keprawanan Nara. Prempuan itu menyibak selimut putihnya, mendapati putra kecilnya memeluk erat Nara seolah dirinya akan kabur jika tangan itu dilepas sedikit saja. Nara kembali melirik jam yang berada dinakas, masih tersisa beberapa menit sebelum melaksanakan aktivitas paginya. "Babang-babang, ternyata cemburuan kamu tinggi juga, nak." Nara mengusap-usap rambut hitam lebat Razka, tanda bahwa rambut itu terawat dengan baik. "Mama sayang kamu, Bang. Kamu yang bikin Mama bangkit lagi hanya karena mendengar tangis kamu, Bang." "Kamu yang membuat Mama melupakan sedih Mama, menggantikannya dengan tawa saat kamu gak sabaran buat minum susu." Nara terkekeh, sungguh ia sangat menikmati tubuh kembang Razka. Hasil didiknya sendiri, tanpa bantuan jasa pengasuh anak. Walaupun malam Nara dulu tidak lagi bisa menikmati indahnya mimpi. Harus terbangun saat popok Razka sudah penuh atau saat Razka haus. Belum lagi jika Razka kecil ingin bermain dengan Mamanya, membuat Nara harus siap 24 jam. Nara tak menyesal jika dirinya menjadi bahan omongan orang lain karena memiliki bayi tanpa seorang suami. Karena bagi Nara, tawa Razka adalah bahagianya dan tangis Razka adalah air mata bagi Nara. "Jangan cemburuan lagi, Bang. Udah besar juga." Nara mencubit kecil hidung mancung Razka, membuat sedikit pergerakan kecil dari Razka. Tak tahan melihat pipi bundar Razka, Nara mengecupnya. Awalnya hanya sekali, dua kali hingga seluruh permukaan wajah Razka sudah tercium oleh bibir tipis Nara. Entah terganggu, kepolak mata itu lama-kelamaan terbuka. Senyum kecil terbit dari bibi Razka, merasakan kecupan basah di pipinya adalah hal yang paling Razka suka. Memeluk Nara membuat Razka merasa nyaman dan aman. Padahal Razka sudah mempunyai kamar sendiri, tapi dirinya masih saja suka tidur dengan Nara. Jadilah kamarnya itu hanya menjadi tempat mengganti pakaian dan sekali-kali Nara membiasakan Razka tidur sendiri. "Selamat pagi, Mama." "Pagi kesayangannya Mama." Detik berikutnya tawa Razka mengisi kamar itu, bocah itu menggeliat saat tangan lentik ibunya menggelitiki area tubuhnya. "Hahaha, Mama, udah berhenti. Babang mau pipis." Razka sudah ingin menjauh dari Nara yang jahil tapi ibu satu anak itu nampaknya belum puas menggelitiki anaknya, dengan cepat Nara kembali menarik Razka hingga jatuh tepat diatas tubuh Nara. Nara mencium pipi Razka lagi, lalu mengendusnya. "Huum, bau asem anak Mama, nih." Nara menegakan tubuhnya lalu menggendong Razka yang menyenderkan kepalanya pada bahu Nara untuk segera memandikan Razka. Setelah selasai dengan acara memandikan Razka, Nara segera membasuh tubuhnya juga karena bajunya sudah basah karena bermain air bersama Razka tadi. Sedangkan Razka, Nara membiarkan bocah itu bermain diatas kasur dengan hanya mengenakan handuk yang membalut tubuhnya dari ketiak hingga mata kaki. Setelah mereka sama-sama selesai berpakaian dan berdandan untuk Nara, ibu dan anak itu bergegas menuju ruang makan untuk segera membuat sarapan, tentunya dengan Nara yang membuatnya dan Razka yang hanya menjadi penonton. "Mau sarapan pake apa hari ini, bang?" tanya Nara seraya membuka kulkas dua pintunya. "Choco crunch aja, Ma. Pake s**u tapi," ujar Razka seraya ikut memperhatikan isi lemari kulkasnya. "Gak mau sandwich?" "Nanti Mama telat kayak kemaren. Lari-lari, nanti capek." Razka kembali mengingatkan Nara dengan insiden dirinya berlari-lari disepanjang parkirannya, malamnya juga Nara meminta Razka untuk memijat kakinya yang pegal kerena berlari. Nara menepuk jidatnya, "oh, iya. Mama lupa, bang." Nara memulai menuangkan kotak sereal itu kedalam dua mangkok dan menambahkan s**u full cream kedalamnya juga. "Nah, ini dia. Sarapan ala Chef Nara." "Mama terlihat seperti Chef gabungan, hahah," gelak Razka mengisi kesunyian ruang makan mereka, lain halnya dengan Nara yang memandang Razka dengan dahi berkerut. "Chef gabungan, apaan itu bang?" "Itu loh, yang pura-pura itu, Mama." "Hahaha, gabungan? Salah, Bang. Gadungan yang bener." kini giliran Nara yang tertawa dan Razka yang mengerucutkan bibirnya. "Lah udah ganti ya, Ma? Setempe Babang, gabungan yang bener." Nara ingin menjawab perkataan dari Razka tapi dering ponselnya membuat Nara harus segera membuka ponselnya terlebih dahulu. "Haloo..." sapa Nara lebih dulu. "Halo, Nara. Ini saya, Adrian." kening Nara berkerut, dari mana Bossnya mendapat nomornya dan ada apa pula bossnya menelponya pagi-pagi seperti ini. "Ohh, Boss toh. Ada apa, Boss?" "Dariel demam." Nara mendengar nada suara Adrian mulai merendah saat mengatakan anaknya sakit. "Dan sedari tadi dia memanggil nama kamu terus. Bisakah kamu kesini?" "Tapii, Boss. Saya haru bekerja, jika tidak Boss saya akan memecat saya." "Kinara saya Boss kamu." Nara menepuk jidatnya lupa, Adrian juga terlihat kesal dengan tingkah konyol Nara. "Iya, Boss. Saya bisa kesana. Tungguin bidadari dari khayangan otw, Boss." Tuttt... Nara memandang terkejut ponselnya yang telah diputus sepihak oleh Adrian. Untung saja orangnya sedang tidak ada disini, jika ada mungkin lelaki itu akan menjadi santapan pagi Nara. "Babang udah selesai, Ma." Nara mengalihkan pandanganya pada Razka yang telah seselai menyantap sarapanya. "Oh, pinter anak Mama." Nara mengelus puncuk kepala anaknya. "Ayok! Buruan kita berangkat." ajak Nara pada Razka. "Mama gak sarapan?" tanya Razka. "Dariel sakit. Mama disuruh Boss Mama kesana." Nara menarik lengan Razka tapi bocah itu hanya duduk diam di bangkunya. "Babang jalan kaki aja. Mama buruan deh, ke tempat Iyel." Razka turun dari bangkunya dan segera berlari menuju pintu keluar. Nara yang melihat perubahan sikap Razka menepuk jidatnya lupa. Prempuan itu menghela nafas, ia tahu Razka cemburu Nara berdekatan dengan Dariel. Nara berjalan menuju pintu keluar dan mendapati Razka sedang memasang sepatunya. Dan, Nara tahu bahwa Razka kesusahan memasang tali sepatunya. "Bang, sini Mama pakein sepatunya." Razka menurut saat Nara memasangkan sepatunya. Tapi, wajah masamnya belum juga hilang dari wajah Razka. "Kita jenguk Dariel yuk? Hari ini Babang libur dulu sekolahnya. Mau ya?" Antara ragu menjawab iya dan tidak, Razka kembali memandang wajah teduh ibunya. Jika dirinya ikut, Razka pasti bisa memantau saat Dariel berdekatan dengan Nara. Tentu saja Razka tak mau hal itu terjadi. Razka menganguk, membuat senyum Nara mengembang. Buru-buru ia memasangkan sebelah sepatu Razka dan melajukan mobilnya ke rumah Boss tercintanya. Eh! Boss terlaknatnya. *** Nara bernafas lega saat mengetahui kondisi Dariel semakin baik. Bocah itu sudah menghabiskan semangkok buburnya saat Nara membujuknya untuk sarapan. "Nah, Iyel minum obat dulu ya," ujar Nara seraya membantu Dariel untuk meminum obat. Dari kejauhan Razka melihat itu semua dengan bibir mencebik, dirinya sudah bisa menebak bahwa Nara akan menyuapi Dariel dan membantunya untuk minum obat. Dan, sekarang yang Razka lihat Nara menyanyikan lagu nina bobo yang biasa dinyanyikan Nara untuknya kini dinyanyikan pula oleh Nara untuk Dariel. "Babang," panggil seseorang membuat Razka memutar badannya. "Apa?!" sahut ketus Razka membuat Adrian meneguk ludahya kasar. Nggak ibunya nggak anaknya membuat Adrian terjekut dengan sikapnya. "Mau bantu Om kasih makan ikan gak?" tanya Adrian pada Razka. "Emang ikannya gak bisa ambil sendiri makananya?" Adrian mengaruk tenguknya gatal. Ia tidak pernah mendapat pertanyaan seperti ini dari seorang bocah dan saat ini Adrian pusing ingin menjawab apa. "Kita lihat aja ya." Adrian menggandeng tangan Razka membawanya ke kolam ikan koi yang berada disamping rumahnya. Hal ini semata-mata Adrian lakukan agar dirinya lebih dekat dengan Razka. Hal itu juga Adrian lakukan agar Razka nanti mau jika Adrian menjadi ayah barunya. "Wah... Ada laut di rumah Om," sahut takjub Razka, pasalnya kolam ikan ini begitu besar hampir sama dengan kolam renang yang dirinya kunjungi bersama Nara sebulan sekali. Warnanya juga biru tua, mirip sekali dengan laut. "Ada ikan paus, gak om?" tanya Razka menatap harap Adrian. "Hemm, gak ada Bang." "Yah..." desah kecewa Razka. Tapi, Adrian tidak habis akal ia segera mencari alasan membuat Razka kagum padanya. "Tapi, disini ada ikan koi loh," ucap Adrian berbangga diri dengan ikan mahal itu. "Kita kasih makan ya," ajak Adrian pada Razka. "Babang boleh ikut kasih makan juga, Om?" tanya Razka saat Adrian mulai membuka tempat dirinya menyimpan makanan ikan. "Tentu boleh." Razka berseru senang dan Adrian juga langsung memberikan tempat pakan ikan itu. "Emang Babang seneng kasih makan ikan?" "Seneng. Di rumah pengen pelihara ikan hiu tapi Mama gak ngebolehin." bibir Razka mengerucut membuat Adrian gemas melihatnya. "Mangkanya Babang sering-sering ajak Mama main kesini." "Boleh?" "Boleh banget," ucap Adrian dengan senyum kemenangan. Entah apa yang Adrian rasakan. Dirinya juga bahagia bisa bersama Razka saat ini, sama halnya saat ia bermain dengan Dariel. *** Nara baru saja selesai menidurkan Dariel di kasurnya. Dan, sekarang Nara mengedarkan pandangannya mencari Razka. Rasanya memikirkan anaknya yang mempunyai rasa cemburu seperti itu membuat Nara cemas sendiri. "Bang, kamu dimana?" tanya Nara seraya menelisik rumah Bossnya yang begitu besar ini. Nara yakin rumah ini 5 kali lipat lebih besar dari rumahnya. "Babang lagi kasih makan ikan." Nara terkejut bukan main saat mendengar suara Bossnya itu. Prempuan itu mengalihkan pandanganya ke arah pintu dapur. Salahkan saja rumah ini yang begitu besar membuat Nara tersesat. "Ohh, bagus..." ucap Nara lega. Untung saja, Razka tidak berbuat macam-macam mengingat sifatnya dan Razka hanya sebelas duabelas. "Dia terlihat senang memberi makan ikan." Nara menganguk membenarkan, Razka memang ingin memelihara ikan sedari dulu tapi Nara tidak pernah mengizinkannya. Alasanya, nanti siapa yang jaga kalo Babang sekolah? Nanti ikannya mati loh? Dan detik itu juga Razka tak jadi untuk memelihara ikan. Adrian melihat Nara menganguk, lalu pria itu membuka pintu kulkas dan mengeluarkan dan mengeluarkan dua botol sari buah dari dalam kulkas. "Terima kasih, Bos," ujar Nara saat Bossnya memberikan minuman itu. "Tahu aja saya haus Boss." Nara menempakan cengirnya membuat Adrian terkekeh kecil dalam waktu teramat cepat. Nara mengerjapakan matanya, Nara baru sadar bossnya itu sangat tampan. Lihatlah hidung mancung itu yang minta ditoel, bibir tipis yang membuat Nara ingin mengecupnya. Astaga Nara! Otak lo kok jadi begini, kelamaan sendiri lo -batin Nara. "Kenapa kamu melamun?" tanya Adrian membuat Nara mengalihkan pandangnya kearah bossnya. "Gak ada kok Boss," ujar Nara berbohong tentu saja dia tidak mau kedapatan memperhatikan wajah bossnya. Nara kembali meihat wajah bossnya tapi buru-buru ia alihkan dengan kembali meminum sari buahnya. "Kinara," pangil Adrian. "Ada apa, Boss?" "Menikahlah dengan saya. Saya akan menjadi kan kamu ratu di rumah ini maupun di hati saya." Mata Nara membulat sempurna mendengar perkataan bossnya itu. Ia tidak salah dengarkan bahwa Adrian memintanya untuk menikah. "Aa--apa, Boss?" "Jadilah ibu dari anak-anak saya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD