Nara terus mengelus punggung tangan Razka yang ditusuk jarum infus. Tubuh anaknya lemas, matanya hanya bisa terpejam. Mukanya pucat. Nara tak tega melihatnya, jika bisa dirinya ingin mengantikan posisi Razka saat ini. Biarlah ia yang merasa sakit asal bukan anaknya.
Nara mengalihkan pandangannya saat pintu kamar terbuka, Adrian datang dengan membawa kantong berlogo minimarket di lengannya.
"Kamu pulang dulu. Malam ini biar saya yang menjaganya." Adrian menyerahkan segelas kopi yang baru dia beli dibawah rumah sakit.
Nara menerimanya, tak lupa mengucapkan terima kasih. Mata yang tadi mengantuk, sedikit terbuka saat rasa pahit kopi itu menjalar lidahnya.
"Gak usah Boss. Biar saya aja yang jaga Babang. Lebih baik Boss pulang, nanti Iyel nungguin."
"Kamu terlihat lelah, lebih baik kamu beristirahat dulu. Masalah Iyel, tadi saya sudah bilang akan menjaga Babang disini. Lagi pula Iyel ada yang jaga," ujar Adrian saat melihat wajah Nara yang menyiratkan kelelahan.
"Tapi, saya gak----"
"Kali ini saja, pikirkan diri kamu juga. Jangan sampai nanti Babang sudah sehat, kamu yang malah jatuh sakit."
"Boss ngedoain saya sakit?" semprot Nara membuat Adrian menghela nafasnya lega, Nara yang cerewet sudah kembali.
"Tidak. Dan jangan sampai hal itu terjadi, saya tidak mau mencari sekretaris baru."
Nara menyeringai, "Ciee, Boss udah nyaman ya, sama saya. Aduh, ada yang baper, nih," ledek Nara sedangkan Bossnya hanya memadangnya datar, lalu Bossnya itu berjalan mengambil tas prempuan itu yang berada di sofa dan melemparnya tepat kearah Nara.
"Cepat, pulang!"
"Makasih Boss. Saya gak tahu kalo gak ada Boss. Saya pamit dulu ya, Boss. Anak saya jangan diapa-apain, Boss."
Detik berikutnya ruangan Razka kembali sunyi senyap. Adrian beralih mengambil ponselnya untuk menanyakan kondisi Dariel pada Elena.
Setelah mengetahui bahwa Dariel sudah tertidur, Adrian bernafas lega. Untung saja, Dariel tidak bertanya macam-macam sehingga anak itu tidak menangis karena tidak ada dirinya.
Adrian meletakan kembali ponselnya disaku jasnya. Sebenarnya dirinya juga lelah menunggu di rumah sakit sampai larut seperti ini. Tapi, dirinya akan lebih merasa bersalah meninggalkan Nara sendiri menjaga Razka. Karena Nara tidak memiliki kerabat dekat yang menemaninya.
Matanya kini beralih menatap Razka yang tengah terbaring lemas didepannya. Adrian tidak tahu penyebab bocah itu hingga bisa berada disini, Adrian hanya tahu kening Razka kini diperban karena banyak mengeluarkan darah.
Nara menangis histeris saat melihat keadaan anaknya, membuatnya hampir limbung kembali. Murni karena rasa iba, Adrian menenangkan Nara dipelukannya. Jika saja Adrian tidak tahu tempat, mungkin dirinya akan memeluk Nara dan membawanya pulang.
Razka mengerjapkan matanya perlahan, menyesuaikan dengan cahaya yang sangat kontras saat dia terpejam. Dia ingin bersuara, tapi seperti ada sesuatu yang mencekat suaranya.
"Maa.. Mamaa.." Adrian memfokuskan pandanganya pada Razka yang sepenuhnya sadar.
"Jangan dipaksain dulu, Bang," ujar Adrian saat Razka ingin kembali bersuara.
"Mama pulang ke rumah sebentar. Nanti kesini lagi. Babang sama Om dulu ya?"
Razka menanguk pelan.
"Haus..." Adrian segera membantu Rakza untuk minum, dengan perlahan Adrian kembali membaringkan Razka.
"Ada yang sakit gak? Atau mau Om panggilin Dokter?" tanya Adrian lagi saat Razka meringgis kecil menyentuh lukannya.
"Gak, Om. Gak papa."
"Babang, lapar gak? Mau makan sesuatu?" Adrian sudah terbiasa seperti ini saat Dariel sakit. Jadi jangan heran jika Adrian berubah seperi ibu-ibu komplek.
Razka tertawa kecil, "Hehe. Om cerewet kayak Mama. Babang gak lapar, Om." Adrian mendengus saat Razka mengatakannya cerewet, sama seperti apa yang dikatakan Dariel saat dirinya menjaga anak itu dikala sakit.
"Om itu sayang sama Babang. Jadi ya, gak papa kalo Om cerewet."
Razka terdiam, Adrian juga ikut terdiam. Lelaki itu mengaruk tenguknya tidak gatal, apa dia sudah salah bicara membuat Razka terdiam seperti memikirkan sesuatu.
Adrian berdehem, mencairkan suasana. "Heem. Babang istirahat dulu. Biar cepat sembuh. Kalo ada sesuatu jangan sungkan bilang sama Om."
"Makasih udah sayang sama Babang, Om," ujar Razka sebelum menutup matanya.
Adrian tersenyum, tangannya terulur untuk menaikan selimut Razka hingga sampai diatas d**a anak itu. Adrian mengelus kening Razka sekilas sebelum memilih mengistirahatkan badanya sebentar di sofa.
***
"Satu suap lagi, Bang."
"Udah, Ma. Udah kenyang."
"Apanya yang kenyang, baru juga lima suap."
Nara masih bersikeras saat Razka tidak mau membuka mulutnya. Padahal anak itu baru menghabiskan sarapannya, hanya lima sendok bubur.
Adrian sudah kembali ke rumahnya saat subuh, ia mengucapkan terima kasih kepada Bossnya itu. Entah itu karena rasa bersalah sebab insiden itu atau memang murni membantu.
Pintuk diketok, Nara mengalihkan pandangnya saat seoarang anak laki-laki masuk kedalam kamar inap Razka. Dengan senyum cerah, Dariel menyapa Nara dan Rakza.
"Eh, ada Iyel. Pake repot bawak buah-buahan segala." Dariel beringsut mendekati ranjang Razka dengan membawa parsel buah-buahan.
Dariel tersenyum lantas memberikannya pada Nara. Razka yang sudah selesai makan hanya diam saat Nara izin untuk mengupas buah dari Dariel.
"Babang udah sembuh?" Dariel bertanya seraya menusuk-nusuk pelan lengan Razka.
"Babang gak sakit."
"Itu kepalanya ditempel. Pasti sakit."
"Gak, Babang kuat jadinya gak sakit."
Dariel menatap sendu Razka, "Jangan sakit, Bang. Nanti Iyel main sama siapa?" kini Dariel beralih mengengam erat tangan Razka seolah ia tidak mau kehilangan teman dekatnya.
Rakza yang mendengar ucapan Dariel tiba-tiba merasa bersalah. Ia terlalu jahat berpikiran Dariel akan merebut Nara darinya. Dariel memang tulus ingin berteman dengannya.
"Mama Babang sekarang Mama Iyel juga," ujar Rakza tiba-tiba membuat Dariel menampilkan ekpresi cengonya.
"Hah?"
"Gak ada."
Nara yang baru saja mengupas buah tersenyum saat mendengar perkataan Razka. Nara rasa, Razka tidak akan cemburu lagi saat Nara berdekatan dengan Dariel. Terlihat anak itu kini kembali akrab pada Dariel.
Nara datang menghampiri mereka, Dariel yang duduk dibangku disamping ranjang Razka pun berdiri mempersilahkan Nara duduk. Nara tersenyum saat Dariel berdiri karena hanya ada satu bangku disamping ranjang. Diangkatnya tubuh Dariel agar duduk dipangkuannya.
"Duduknya dipangku aja, gak ada bangku lagi soalnya." Dariel menganguk semangat, Nara mengalihkan pandangnnya pada Razka yang tampak baik-baik saja. Tidak terlihat iri sama sekali.
"Nah, Babang sama Iyel makan buah ya." Dariel dan Razka kompak menganguk. Razka meminta buah apel pada Nara sedangkan Dariel hanya menatapi buah itu tanpa minat.
"Kenapa gak dimakan buahnya?"
Razka menggigit apelnya, "Enak lho Yel. Manis kayak Mama." saat masih sakit pun Razka masih bisa mengombali Nara, membuat prempuan itu geleng-geleng sendiri.
"Iyel gak mau buah. Buahnya ada yang pahit mirip muka Babang kalo lagi ngambek."
"Hahahah...." tawa Dariel dan Nara kompak mengisi ruang inap tersebut membuat Razka yang menjadi korban mengerucutkan bibirnya.
***
Nara tak kuasa menahan air matanya saat Razka menceritakan sebab membuat Razka berada di Rumah Sakit sekarang. Sungguh hati Nara mencelos saat Razka menceritakannya dengan air mata.
Kejadian itu bermula saat Razka bermain dengan temannya, kala itu mereka sedang bercerita tentang pekerjaan orang tua mereka. Saat seorang siswa bertanya mengenai pekerjaan Ayahnya, Razka hanya diam. Dirinya tak tahu harus berkata apa.
Razka hanya diam dan memilih kembali ke bangkunya saat teman-temannya mulai mengejeknya. Razka benar-benar sabar mengingat perkataan Nara, sampai seketika ada teman sekelasnya yang mengejek Mamanya. Tentu naluri seorang anak tak terima, Razka mendorong temannya itu. Hanya dorangan kecil, tak sampai membuat temannya jatuh.
Akhirnya perkelahian tak terelakan, bocah itu membalas dorongan Razka. Karena tubuhnya yang lebih besar membuat Razka terjatuh kebelakang. Dan naasnya, kepalanya terbentur ujung meja sekolahnya.
Diakhir cerita, Razka meminta pada Nara sesuatu yang membuat hati Nara bertambah mencelos, dengan air mata yang bercucuran Razka meminta Ayah padanya.
"Maa.. Hikss.. Babang mau punya Ayah."
"Babang mau punya Ayah, Babang mau kayak yang lain."
"Babang mau main sama Ayah."
Detik itu juga, Nara mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya. Membuatnya kini berhadapan dengan seseorang lelaki dengan senyum mengejek.
"Ada apa, Nara?"
"Bisakah Boss kembali mengulang kembali tawaran itu?"
"Tawaran yang mana?"
"Saya ingin menikah dengan Boss."
"Maaf, Nara. Saya menolaknya."