Sebuah mimpi buruk!

1089 Words
Aku masih sibuk mengetik beberapa laporan keuangan, ya aku bekerja di bagian staff keuangan di kantor advertising ini. Tiba-tiba Vani menghampiriku dengan tergesa-gesa. "Sita, sini!" Pekik Vani tertahan sambil menarik tanganku. Aku terkejut namun pasrah saja ketika sahabatku itu menarik lenganku dan bangkit mengikuti langkahnya. "Tuh, lihat! Itu OB baru yang aku bilang kemarin, ganteng parah kan?" Ujar Vani dengan berbinar, senyuman mengembang menghiasi pipinya yang chubby. Aku mengarahkan bola mataku menatap kearah Vani menunjuk. Seorang pemuda mengenakan seragam, kemeja berwarna biru langit dan celana hitam. Usianya mungkin sepantaran denganku, oh atau mungkin lebih muda. Tubuhnya lumayan proporsional dengan tinggi yang lumayan untuk ukuran laki-laki. Aku akui wajahnya memang cukup tampan, dengan hidung yang mancung dan bibir sedikit tebal. Mata elang dan alisnya yang tegas menambah keindahan wajahnya yang putih. Ah, tunggu! Mata elang itu? Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi dimana? "Ganteng banget kan Ta? Duh aku mau deh jadi pacarnya!" Vani masih berceloteh sambil menatap pemuda yang tengah memainkan alat pel di tangannya itu. "Selera kamu dah turun kelas? Masak mau ngegebet OB sih sekarang?" Selorohku sambil melangkah kembali ke mejaku. "Gak papa OB juga Ta, yang penting OB nya seganteng si Rama itu," ucap Vani juga kembali ke mejanya. Jadi namanya Rama? Tapi kenapa matanya benar-benar terlihat tidak asing. Ah sudahlah, lebih baik aku merampungkan pekerjaan yang menumpuk ini. *** Lagi-lagi seharian ini mas Adam tidak ada kabar, dua kali aku meneleponnya tapi tidak juga diangkatnya. Pesan WA ku juga belum dibuka, kemana sih dia? Hari ini aku tidak mau lembur, perasaanku sedang tidak enak. Aku sendiri bingung, rasanya ada yang mengganjal di hatiku. Waktu menunjukkan pukul lima sore, aku melangkah gontai menuju parkiran dengan berbagai macam pikiran di kepalaku saat tanpa kusadari aku menabrak seseorang. "Aduh maaf," ucapku reflek saat tubuhku membentur bahu kokoh seseorang. "Mbak ini kebiasaan nabrak orang apa gimana sih?" Ucap suara lelaki yang baru saja kutabrak. Aku mendongak menatap lawan bicaraku, mata elang itu lagi-lagi menghunusku. Aku memindai lelaki itu dari atas ke bawah, ya si OB baru yang sedang viral di kalangan pegawai wanita. Tapi tunggu sebentar, rasa-rasanya aku memang familiar dengan mata itu. "Oh, kamu yang kemarin ya!" Kataku dengan keras, aku sendiri cukup terkejut. Ya, aku ingat dia adalah pemilik motor yang tempo hari tanpa sengaja aku tabrak hingga membuat lampu seinnya pecah. "Ck, mbak ini kebiasaan suka nabrak orang apa gimana? Kalo jalan itu jangan suka sambil ngelamun mbak," ucapnya sekali lagi. Bukannya menjawab, dia malah menceramahi ku lagi. Huh, lelaki model seperti ini yang disukai Vani? Lelaki angkuh dan menyebalkan. "Saya kan udah minta maaf mas, oh iya soal lampu mas yang pecah berapa biayanya biar saya ganti mumpung kita ketemu," ucapku menawarkan ganti rugi yang tempo hari belum sempat kuberikan. "Gak perlu saya bisa beli sendiri, yang penting mbaknya jangan suka ngelamun kalau lagi jalan, bukan cuma bahaya buat situ tapi bahaya buat orang lain," ujarnya sambil mengenakan helm kemudian menaiki motornya menjauh. Dasar lelaki sombong, angkuh! Ahh aku sebal! Rasanya perasaanku yang kacau semakin semrawut dibuatnya. Lebih baik aku cepat-cepat pulang dan istirahat. Sesampainya di rumah, aku melihat mobil mas Adam terparkir rapi di halaman. Perasaanku yang tadinya tidak enak mendadak sedikit berbunga. Rupanya kekasihku itu tengah menungguku di rumah. Seharian ini tidak bisa dihubungi dan kini dia memberiku kejutan menungguku di rumah, ahh dia memang selalu romantis. Langkahku terasa ringan, senyum mengembang cantik diwajahku. Aku merapikan rambut yang sempat berantakan karena helm sebelum akhirnya melangkah dengan perlahan. Aku ingin mengejutkan mas Adam. Aku membuka pintu dengan sangat pelan, kemudian masuk mengendap-endap sambil terus tersenyum. Tapi tunggu, aku melihat mas Adam bersama mama dan papanya sedang duduk berhadapan dengan ayah dan ibu, ada Diani juga di samping ibu. Apa yang sedang mereka bicarakan? Apa soal rencana pernikahanku? Tapi kenapa ibu tidak bilang apa-apa tentang pertemuan keluarga ini. Dan... Kenapa ibu dan Diani menangis? Aku melihat mas Adam menunduk sambil memijat keningnya perlahan, sementara ayah... Kenapa beliau seperti habis marah? Aku melihat sorot mata ayahku yang biasanya lembut itu begitu tajam dan memerah. Nafas beliau juga naik turun tidak beraturan, sementara ibuku menangis sambil mengelus perlahan pundak lelaki paruh baya itu. "Maafkan anak kami mas, sekarang apapun keputusan mas Jusuf kami manut saja," ucap om Hendra, papanya mas Adam. Rasanya aku begitu penasaran, ingin sekali aku mendekat dan bertanya langsung pada mereka semua. Tapi kuurungkan langkahku ketika melihat situasinya sepertinya begitu serius. Apa semua ini berhubungan dengan aku? "Saya harus bilang apa sama Sita kalau Adam harus menikahi Diani nanti?" Ucapan ayahku terasa seperti petir menyambar langsung masuk ke telingaku. Aku masih berusaha bertahan sekuat tenaga untuk berdiri meski rasanya kakiku lemas serasa tanpa tulang. Jantungku berdegup kencang, jika saja aku bercermin mungkin wajahku sudah sepucat tisu. Aku mencengkeram dadaku, menguatkan hati dengan apa yang mungkin aku dengar. "Tapi Adam memang harus menikahi Diani, yah, kalau tidak bagaimana nasib anak yang ada di rahim Diani," ucapan ibu membuatku limbung. Sebelah tanganku yang tengah membawa helm lolos begitu saja, membuat benda itu jatuh menimbulkan suara. Orang-orang yang berunding itu serempak menatap ke arahku berdiri. "Adikku hamil? Diani hamil? Kamu..." Ucapku dengan suara bergetar sambil menuding lelaki itu. Lelaki yang bertahun-tahun mengisi hatiku, lelaki yang kuharapkan menjadi imamku, lelaki yang kepadanya kugantungkan mimpi setinggi angkasa. Lelaki yang bahkan menghancurkan mimpiku yang bahkan belum sempat menjadi kenyataan. "Sita!" Mas Adam berjalan cepat menuju ke arahku. Tangannya yang kokoh memegangi tubuhku yang siap ambruk. Aku menepisnya sekuat yang aku bisa, ciihh aku tidak sudi disentuh olehnya. Air mataku luruh bagaikan bendungan yang roboh terhempas banjir. "Kamu jahat mas!" Teriakku sambil memukuli lengannya yang berusaha menahanku. Aku meraung, memukuli dadanya sekuat tenaga. Aku benci padanya, aku kecewa, marah. Semuanya menumpuk bergemuruh di dadaku. Rasanya semuanya bagai mimpi, mimpi yang sangat buruk. "Kenapa kamu tega mas? Apa salahku sama kamu!" Aku terus berteriak histeris, meraung hingga tubuhku ambruk. Tubuhku rasanya benar-benar kehilangan penyangga, aku luruh jatuh terduduk sambil terus menangisi kesialanku. Salah apa hingga mas Adam tega berbuat seperti ini? "Maaf" dia berbisik lirih sambil menunduk, aku bisa melihat matanya memerah dan berkaca-kaca. Maaf katanya? Semudah itu dia mengucapkan maaf. Ibu berlari kearahku sambil menangis, kemudian memelukku, aku menghambur ke dalam dekapan ibuku. Dekapan yang biasanya menenangkanku, tapi kali ini dekapan itu tidak mempan seperti biasanya. Mataku menatap nyalang kearah semua orang, aku bisa melihat adikku tertunduk menangis di sana. Apa aku masih bisa menyebutnya adikku? Si pengkhianat itu tertunduk sambil terus menyeka air matanya. Kenapa dia menangis? Bukankah aku yang telah dia sakiti? Ya Tuhan, ijinkan aku membencinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD