3

942 Words
Advan menghentikan langkahnya saat Abe bilang kalau Hatta hadir dalam rapat kali ini. Hubungan Advan dan Hatta tidak baik selama beberapa bulan belakangan ini. Karena Hatta berani mempermainkan tender yang menentukan masa depan proyek perusahaannya. Hatta berhasil mengacau dan membuatnya rugi. "Kenapa dia di sini?" Abe melirik sekitarnya, berbisik agak dekat dengan Advan. "Satoo itu mengajaknya untuk datang ke rapat. Kau pikir dia punya rencana?" Dahi Advan mengernyit. "Apa mereka terlibat masalah sebelumnya?" Abe menatapnya selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangkat bahu dan berjalan lebih dulu, meninggalkan Advan di belakang. "Aku tidak tahu," kata Abe saat mereka masuk ke dalam lift. "Aku akan mencari tahu nanti." Advan mengangguk singkat. Ini adalah kali pertama perusahaannya dan perusahaan yang dipimpin Satoo Raka bekerjasama. Mau tak mau, Advan akan terlibat banyak hal dengannya. Berbicara tentang bisnis dan keuntungan mereka walau Advan enggan. Lift mengantar mereka sampai ke lantai ruang rapat. Abe masuk lebih dulu, melihat para tamu rapat yang sudah hadir, Advan masuk setelahnya. Dia melihat para investor muda yang masih mencari pengalaman memberi hormat padanya dan Satoo Raka ikut berdiri, menyapanya ramah. Raka tersenyum. Dia mengulurkan tangannya pada Advan yang membeku. "Selamat pagi, Mori. Senang melihatmu di awal yang baik ini." Advan ingin menepis tangan itu dari hadapannya. Ingin memukul wajah yang tersenyum seolah-olah Raka menutup mata siapa dirinya. Advan bertaruh, Raka pasti tahu tentangnya dan kekasihnya di masa lalu. Tapi pria itu memilih untuk tidak peduli dan memasang wajah hangat khas pertemanan pada umumnya. "Hn," Advan membalas uluran tangan itu. Berdeham setelah menganguk. Jabatan tangan mereka terlepas dan Advan duduk di bangkunya, melirik Katoo Hatta yang acuh pada dirinya. Raka mulai berdiri sebagai pemimpin proyek ini. Dia menawarkan keuntungan lebih dulu padanya karena Advan banyak mengakuisisi bank-bank besar yang pernah dibawah garis merah. Bank-bank itu sangat berguna sebagai suntikan dana di masa depan nanti. "Keuntungan ini akan kami bagi dua, lima puluh-lima puluh. Aku rasa ini adil, mengingat bagaimana proyek ini memakan biaya banyak, tentu saja tidak mudah mencari dana," Raka tersenyum di depan layar besar. "Apa ada pendapat lain?" "Aku bisa mencarikan sponsor jika itu yang kau butuhkan," mata Hatta melirik Advan yang memasang wajah datarnya. Ciri khas seorang Mori Advan yang dia ketahui. "Bagaimana?" "Oh?" Raka terkejut. "Kalau begitu keuntungan dibagi tiga?" Hatta mengangguk dengan senyum puas. Tapi tidak dengan Abe yang menolak dalam hati tentang ide bergabungnya Hatta dengan proyek ini. Advan mendengus, dia menatap Raka dengan gelengan kepala. Seluruh atensi dalam ruangan menatapnya. "Aku menolaknya, jelas sekali," Advan menatap Hatta. Pandangannya mencemooh. "Aku tidak akan membiarkan ini terbagi lagi. Cukup aku dan Satoo yang mendapat keuntungan." Mata Hatta melebar dan rahangnya mengetat sempurna. Senyum kemenangan Advan mengembang. "Carilah proyek lain yang bisa kau bantu, Katoo Hatta," Advan melirik Raka. "Tuan Satoo memintaku untuk bergabung. Ini proyek skala global miliknya yang pertama. Dia tentu sudah memperhitungkan apa yang harus dia lakukan agar meminimalisir kerugian," Advan menatap Raka. "Apa aku benar?" Raka mengerjap. Dia mengangguk pelan, menyetujui ucapan Advan. "Tentu. Karena perusahaan Mori ini sudah banyak pengalaman memegang proyek berskala global, aku rasa aku mempercayakan ini padanya." Hatta menggeram dalam suaranya. Advan menoleh pada Abe, menaikkan satu alisnya dengan senyum puas dan Abe mendengus. Tidak bisa menyembunyikan wajah senangnya karena Advan berhasil menghentikan Hatta di tengah jalan. "Lalu, kenapa kau mengundangku kemari kalau jelas-jelas menolak penawaranku, Satoo Raka?" Hatta bersuara sinis, tidak suka dengan penolakan yang Advan dan Raka lakukan padanya. Raka tersenyum tanpa rasa bersalah. "Aku hanya mengundang beberapa sponsor yang sekiranya berguna untuk kupertimbangkan lagi. Kau dan Mori Advan cukup kuat sebenarnya. Tapi, aku ingin proyek ini lebih matang lagi. Maafkan aku Tuan Katoo, kalau aku menyinggungmu." Hatta mendesah panjang. Tidak ada gunanya dia bersikap kekanakkan di sini. Di kantor Mori Advan. Ini akan memalukan untuknya. "Tapi aku tersanjung dengan dirimu yang berhasil membongkar sindikat mafia korupsi besar dalam sebuah tender," Raka duduk di kursinya. "Itu menakjubkan. Benar?" Semua orang bertepuk tangan mendengar pujian Raka untuk Hatta. Terkecuali Advan yang memilih untuk diam, tidak peduli. Hatta memilih membuang wajahnya. Setelah rapat dibubarkan, mereka masing-masing mengundurkan diri dari ruangan. Tidak terkecuali Hatta yang memilih langsung pergi tanpa menyapa mereka. Raka hanya bisa tersenyum melihat emosi Hatta yang mudah terpancing. Tidak seperti Mori Advan yang tenang dan lebih banyak perhitungan. Dia menyukai bagaimana cara Advan berpikir dan bertindak. Dia teringat dengan sosok Mori Ikeda yang terkenal karena tingkat ketepatannya yang akurat dalam bisnis. Mereka berdua terkenal cerdas. Mori bersaudara. Abe berdeham, sebelum dia benar-benar bangun dari kursinya, Raka berbicara pada Advan. "Aku berpikir tentang kau yang selalu menemui Nalaya dengan cara lain," kata Raka. Tanpa perlu melihat Advan yang kini menatapnya. Raka memilih sibuk menata berkasnya di atas meja. Abe menatap mereka bergantian. Dia merasakan sesuatu yang buruk antara Advan dan Raka, tapi berusaha dia tepis jauh perasaan itu. "Aku mengerti sekarang," Advan tiba-tiba tersenyum miring. Senyum tanpa arti yang sedikit mengerikan. "Kau tidak mungkin berupaya keras membawaku bergabung kalau tanpa sesuatu di balik itu, kan?" Raka tertawa. Kali ini benar-benar tertawa. "Sudah kuduga," dia menatap Advan. Sesama pemilik oniks itu melempar pandang yang tak biasa. "Aku tahu kau tertarik dengan proyek ini setelah proposal yang kuajukan lewat tangan kananmu," Raka melirik Abe yang duduk dengan kaku di kursi. "Akui saja, Mori," kata Raka santai. Advan memilih untuk diam tidak menjawab. "Aku tahu apa yang terjadi antara kau dan Katoo Hatta. Ini bukan masalah sepele karena meyangkut harga dirimu dan perusahaan," Raka memajukan sedikit wajahnya walau di ruangan ini hanya menyisakan antara dirinya dengan Advan, Abe dan Megane, sekretarisnya sendiri. "Lalu?" Raka tersenyum tanpa arti pada Advan. Tatapan matanya seperti mengisyaratkan sesuatu yang serius pada pria itu. "Jauhi kekasihku dan akan kutawarkan seluruh kemampuanku untuk membuat Katoo Hatta malu dan terpuruk."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD