8

1469 Words
Haruka dan Mara sibuk menjahit gaun yang akan diambil sore nanti. Nalaya sedang sibuk memotong kain di atas meja, mereka tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Lonceng pintu berbunyi. Haruka mengangkat kepalanya dan dia berdiri, menyambut tamu mereka.  "Selamat datang," cicitnya pelan melihat siapa yang datang kali ini. Dia terbatuk pelan, membuat kepala pirang Nalaya tertoleh. Haruka melirik Mara yang menatap ke arahnya bergantian dengan Nalaya. Tidak lama suara gunting terbanting ke atas lantai terdengar, Haruka mundur saat Nalaya berdiri mendekatinya. "Ada yang bisa kubantu?" Nada suara Nalaya sama sekali tidak bersahabat. Advan menatapnya dengan alis terangkat, ekspresinya datar. "Aku kemari untuk memintamu membuatkan satu gaun pesta yang pantas," kata Advan. Dia melihat rancangan-rancangan Nalaya yang terpasang dalam boneka-boneka buatan. "Gaun pesta?" Nalaya mengernyit. "Oke. Sebutkan ukuran dan warna apa yang kau inginkan," Haruka membawakan buku memo kecil untuk Nalaya beserta penanya. Advan melihat memo itu dan menggeleng. Dia menatap Nalaya. "Kira-kira dia memiliki tipe tubuh yang sama denganmu," Tubuh Nalaya membeku. Begitu juga dengan Haruka dan Mara yang menegang di tempat duduknya. Nalaya memandang Advan dingin. "Sepertiku?" Suaranya merendah, tampak marah. "Apa yang coba kaulakukan, Advan?" Advan menatapnya tak kalah dingin. "Aku mempercayakanmu sebagai pelanggan baru, Itoo," balas Advan datar. "Aku tidak tahu berapa tinggi badannya, berapa berat badan dan lekuk pinggangnya. Buatlah gaun yang sama seperti ukuranmu, itu cukup." Genggaman Nalaya pada pulpennya mengerat. Dia tidak tahu kenapa dia bisa menjadi semarah ini. Emosinya tidak stabil jika Advan ada di dekatnya. Nalaya menghela napas, dia menatap Advan kaku. "Oke. Kapan kau mengambilnya?" Dia harus bersikap profesional di sini. "Lusa," Mata Nalaya mengerjap. "Tidakkah itu terlalu cepat?" Kepala Advan menggeleng. "Aku membutuhkan gaun itu lusa malam," Kepala Nalaya terangguk. Dia mencatat tanggal kapan Advan akan mengambil gaunnya pada buku memonya. "Warna apa yang kau inginkan?" "Biru langit," Nalaya menahan napasnya selama beberapa saat. Dia menggigit bibir bawahnya, kemudian mencatat apa yang Advan sebutkan. Warna favoritnya. "Oke," Nalaya menatapnya. "Kau bisa pergi. Ambil barangmu lusa sore," kata Nalaya saat dia berbalik dan pergi menuju ruangannya setelah membawa potongan kain yang selesai dia potong bersamanya. Advan mengangguk samar. Menatap kepergian Nalaya selama beberapa saat. Mata gelapnya bergeser, dia melihat dua karyawan Nalaya yang menatapnya bingung. Merasa ditatap dingin olehnya, kedua gadis itu menunduk dan melanjutkan pekerjaannya dalam diam. Setelah itu, Advan beranjak pergi keluar dari dalam butik menuju mobilnya. Meninggalkan tanya di dalam benak Haruka dan Mara yang mendengar semua pembicaraan antara Advan dan Nalaya, bos mereka. Mereka saling tatap, seolah mencari jawaban di dalam mata masing-masing dan mereka menemukan kekosongan. *** Lena membawa kantung plastik berisikan belanjaan kebutuhan bulanannya dalam satu tangan. Karena uang yang dia miliki tidak terlalu banyak, dia tidak bisa membeli banyak lauk untuk dia simpan di dalam kulkas selain kebutuhan secukupnya. Dia akan membeli bahan saat dia mendapatkan gaji bulanannya. Lena tidak enak jika Nalaya tetap memberikannya gaji utuh melihat keadaan Lena yang beristirahat selama tiga hari penuh di rumah. Tidak seharusnya Nalaya membayarnya penuh dalam jangka waktu satu bulan. Lena sedikit kesulitan saat dia berjalan melewati jalan menujur rumahnya. Langkah kecilnya terhenti saat dia melihat sosok lain berdiri di depan pagar usang rumah mungil bercat hijau tosca. Tatapan matanya meredup seiring waktu dia mampu melihat dengan jelas siapa pria itu. Pria yang berdiri dengan jarak yang tidak terlalu jauh darinya. Lena menarik napas, membuangnya perlahan saat dia kembali berjalan. Dia menghentikan langkahnya. "Hatta," sapanya. Suara pelannya membuat kepala itu menoleh. Lena melihat tatapan yang sama seperti dulu kembali. Hatta hanya menatapnya, tanpa bicara, tanpa menjawab sapaan darinya. Sudut bibir Lena tertarik membentuk senyuman lirih. "Apa kabar? Lama tidak melihatmu," katanya, berbasa-basi.  Lagi, Hatta hanya menatapnya dingin. Kenapa? Kenapa tatapan pria itu tetap tidak berubah padanya? Setelah mereka berpisah, Lena berharap ada sesuatu yang akan Hatta bicarakan tentangnya, tentang mereka. Tentang hubungan mereka yang hancur. "Aku baik," akhirnya. Lena tersenyum tipis. "Baguslah," dia menatap rumah mungil yang kini milik Advan sepenuhnya. "Kenapa kau di sini?" "Kenapa kau ingin tahu?" Lena menoleh. Matanya mengerjap dan dia menunduk, merasa bersalah. "Maaf," cicitnya. "Aku hanya bertanya." Hatta membuang pandangannya. Dia memilih untuk menatap rumah lamanya nanar. "Keputusanku untuk pergi adalah yang terbaik, kau tahu?" Lena mengangkat kepalanya. Menatap Hatta sendu. "Ya," dia kembali menoleh, mencoba menguatkan dirinya sendiri. Hatta menatapnya. Menatap Lena yang tidak melihat ke arahnya. Tubuh wanita itu terlihat lebih kurus walau tidak seberapa. Terakhir Hatta melihatnya adalah perceraian mereka. Saat mereka masih tinggal bersama. "Kau masih menyedihkan, sama seperti dulu," Lena mendengar kalimat pedih itu meluncur dari bibirnya. Dari bibir seorang Katoo Hatta. Dia menunduk, menyunggingkan senyum pahit. "Ya, menurutmu," Lena menoleh dengan mata yang menyipit karena senyum. "Begitukah aku terlihat di matamu?" Hatta mendengus, dia membuang wajahnya. Menatap langit. "Kau, dan kelemahanmu, adalah alasan utama yang membuatku muak." Lena menatap wajah itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Inikah yang kau katakan setelah setahun terakhir kita tidak lagi bersama? Untuk kembali menghancurkan perasaan seseorang?" Hatta menatap ke arahnya. Lena masih tersenyum, walau kini tidak sampai ke matanya. "Kau bukan kebahagiaan yang kucari," lirihnya pelan. Lena mengepalkan tangannya di dalam saku mantelnya. "Kau ingat kata-kata itu?" Hatta terdiam. Saat Lena mendengus, mencoba menahan tangisannya sendiri. "Kau tidak perlu memasang wajah seperti itu lagi," kata Lena. "Kita sudah menjadi orang asing. Aku masih ingat apa yang kau ucapkan terakhir kali, saat kau memilih untuk melepaskanku pergi." Lena menarik napas panjang. "Selamat malam," dia berjalan pergi. Membawa kantung di tangannya dengan langkah pelan, tidak terburu-buru. Karena jika dia berlari, Hatta akan berpikir kalau Lena menghindarinya. Lena tidak ingin pria itu berpikiran buruk tentangnya lagi. Meskipun dia harus menahan isakannya sendiri. Menunduk, ditemani cahaya bulan dan lampu penerangan jalan yang redup, Lena kembali menangis. Menangis dalam diam. *** "Lena!" Lena terpekik saat mendapati Haruka melompat ke arahnya untuk memeluknya. Tidak lama, Mara mengikuti langkahnya, mereka memeluk Lena erat. Membuat dia terbatuk-batuk pelan, bermaksud menggoda mereka. "Astaga, kau memeluknya terlalu kencang, bodoh," maki Haruka pada Mara. Mara melotot tidak terima dengan ucapan Haruka. "Kau pelakunya! Kenapa menyalahkanku," semburnya. Nalaya berkacak pinggang di belakang mereka. Lena tersenyum melihat wajah lelah Nalaya keluar dari ruangannya. "Lena," sapa Nalaya. Lena bergerak mendekatinya. "Kau sudah lebih baik?" Lena mengangguk dengan senyum. "Sebenarnya aku sudah sehat sejak dua hari yang lalu," gerutu Lena. Nalaya cemberut. "Tapi kau memaksa untuk menyuruhku istirahat sesuai jatah liburku." Nalaya memutar mata. "Ayolah, itu pantas untukmu," Nalaya merangkul Lena untuk duduk di sofa. Diikuti Haruka dan Mara. "Butik tidak terlalu ramai akhir-akhir ini, pekerjaan kami juga santai," sahut Haruka. Mara mengangguk. "Huum, kami tidak begitu kewalahan saat kau pergi." "Benarkah?" Lena tersenyum. Dia membuka tas miliknya. Mengeluarkan beberapa kain yang sudah selesai dia kerjakan. "Aku membawa beberapa pekerjaan ke rumah, ini sudah selesai." "Sudah kuduga," sahut Nalaya. Haruka membawa potongan kain ke itu ke laci penyimpan kain yang selesai dipotong. Setiap laci mereka memiliki tempat masing-masing. Seperti bahan baku yang baru jadi, bahan yang sudah selesai diukur dan dipotong. Bahan yang sudah dijahit. "Tapi kemarin kami lembur," Haruka berbicara saat Nalaya sudah masuk ke ruangannya. Ketika Lena kembali ke meja jahitnya. "Adakah seseorang yang meminta gaunnya selesai dalam waktu dekat?" Lena menebak, dan Haruka mengangguk. "Dia akan mengambilnya nanti sore," jawab Haruka. Lena mengangguk. "Nalaya dan kalian berdua lembur?" Kepala mereka mengangguk kecil. "Ya, beruntung sudah selesai. Kami bahkan tidak kembali ke rumah tadi malam," sahut Mara. "Oh, maafkan aku," Lena memeluk keduanya. Mereka menggeleng dengan tawa pelan. "Tidak apa. Kau lebih sering mengalaminya daripada kami," balas Haruka dan Lena tertawa. "Oke, oke. Kita impas?" Mereka tertawa pelan. "Tidak," Hari beranjak sore. Lena sedang duduk untuk mengukur kain bersama Haruka di depannya yang memegang penggaris dan pensil. Ketika Mara duduk untuk menjahit gaun pesta pesanan istri pejabat yang akan datang besok untuk mengambil pesanannya. Lonceng pintu berbunyi. Kepala Lena terangkat saat dia tahu siapa yang datang kali ini. Dia terdiam, menatap mata pekat itu. "Selamat datang," Lena menyapa canggung. Dia mundur beberapa langkah untuk menghindari tatapan Advan padanya. "Kau datang untuk— "Mengambil pesanan," "Lagi?" Lena menutup mulutnya yang spontan mengeluarkan kalimat tidak sopan. Dia melirik Haruka yang berdiri dan tidak lama pintu ruangan Nalaya terbuka. "Ambilkan pesanan pria itu," perintah Nalaya pada Haruka. Gadis itu mengambil pesanan yang dimaksud ke dalam ruangan. Lena menatap Nalaya bergantian dengan Advan. Nalaya terlihat sekali membuang wajahnya agar tidak menatap Advan. "Ini," Nalaya membawa kantung berisikan pesanan Advan untuknya. "Kau bisa membayarnya melalui Lena," Lena mengangguk saat Nalaya menatapnya. Lalu, wanita itu pergi menuju ruangannya. Lena menatap kantung yang Advan pegang saat pria itu mengeluarkan dompet miliknya. Setelah Advan membayar, pria itu bergegas pergi keluar dari dalam butik. Lena memandang kepergiannya dalam diam, menatap sedan mewah yang melaju menjauhi halaman butik dan berbaur bersama pengguna jalan lainnya. Helaan napas Lena terdengar. "Kenapa Advan datang lagi?" Haruka menggeleng. Dia melanjutkan pekerjaannya. "Memesan gaun pesta," balasnya. "Gaun pesta?" Lena tidak percaya. "Berarti untuk seorang wanita," alis Lena tertekuk. "Atas nama siapa dia memesan?" "Dirinya sendiri," Lena terkejut. "Kupikir nama Fujita Abe lagi," "Tidak," Haruka menggeleng. Dia menatap Lena bingung. "Aku tidak tahu untuk siapa gaun pesta itu, apa kau bisa menebaknya?" "Aku?" Lena tertawa pelan. "Kau pikir aku siapa bisa menebak jalan pikiran pria asing itu?" Haruka mengangguk, dia terlihat tidak peduli. "Kurasa dia datang hanya untuk melihat bos kita lagi," tebaknya. Lena terdiam di tempatnya. Perkataan Haruka ada benarnya. Dia mungkin datang untuk melihat Nalaya dan membuang gaun yang dia pesan. Kalau benar, bukankah itu kesia-siaan? Tidak mau ambil pusing memikirkannya, Lena kembali melanjutkan pekerjaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD