Bab 7

998 Words
Setelah Aini sampai di kampus, ia langsung menuju perpustakaan. Sebenarnya ia bingung akan kemana jadilah dia ke perpustakaan. Mungkin, dia merasa bahwa tadi yang dilakukannya sudah benar tetapi masih ada keraguan sebab dia bukan anak yang biasa membantah. Hanya saja dia berpikir bahwa sudah saatnya dia bertindak atas segala kesemena-menaan keluarganya terhadapnya. Tapi, apakah masih pantas mereka dipanggil keluarga setelah yang mereka lakukan padanya? Jawabannya, tidak! Namun, mau bagaiamana lagi ketika ayahnya pun ikut andil dalam penderitaannya. Dan bagaiamana pun perlakuan ayahnya, ia tetaplah ayahnya. Dia berharap semoga saja nanti, ayahnya mulai menyadari bahwa selama ini dia pun anaknya, darah dagingnya. Tanpa harus membedakan antar dia dan Nia. Karena dia tidak tau kemana tujuannya akhirnya dia terperangkap dalam perpustakaan yang sepi ini. "Arghh, ke mana aku akan pergi?" tanya Aini pelan kepada dirinya sendiri. Dia tidak mau merepotkan Salsa atau pun Lia, akhirnya setelah menghabiskan waktu dua jam lebih di perpustakaan itu dia pergi tanpa tujuan. Cafe adalah pilihan yang tepat untuk menenangkan pikiran dengan segelas coklat dingin, pikirnya. "Coklat dingin ya, Mbak, meja 8," kata Aini kepada pramusaji perempuan itu. Setelah si pramusaji mengangguk, dia pun berlalu menuju meja 8 dan duduk di sana. *** Terlihat di pintu masuk seseorang melangkah menuju meja 8 tanpa dia tahu bahwa sudah ada Aini di sana. Sampainya dia di meja 8, dia pun terkejut karena terdapat seorang wanita. "Maaf, Mbak?" ucap Dave hati-hati. "Ya?" Aini mengernyit melihat orang di depannya seperti pernah bertemu tetapi tidak ingat di mana. "Saya sudah pesan meja nomor 8 dan biasa di sini. Tapi kenapa ada yang menempati ya?" tanya Dave heran. "Maaf, Pak, saya tidak tahu. Lagi pula semua meja di sini sama saja," jawab Aini ketus. Dave terkekeh mendengar jawaban Aini. Biasanya ketika dia melihat perempuan yang diajak mengobrol olehnya akan tersipu malu, atau mencoba genit kepadanya tapi tidak dengan Aini yang notabene adalah orang yang pernah ditolongnya beberapa hari lalu. Ya, dia wanita itu, pikir Dave walapun sekilas dia ingat wajah pucat dan mata Aini dengan sangat jelas. Aini yang merasa heran dengan kekehan Dave mengernyit bingung karena merasa tidak ada yang lucu sama sekali. Sebelum dia ingin bertanya, seseorang yang dikenalnya menyapa lelaki itu. "Sudah menunggu lama, Dave?" tanya Arjuna, ya dia adalah Arjuna si dosen killernya Aini. Karena merasa diperhatikan, Arjuna menoleh dan menyapa Aini. “Hai, Aini, kita jumpa di sini. Sepertinya kebetulan. Tapi tidak tahu kalau pertemuan berikutnya adalah takdir," ucapnya sambil tersenyum samar, yang tidak terlihat oleh Aini kecuali Dave yang paham akan temannya bagaimana. "Ya, Pak. Kebetulan mungkin,” ucap Aini pelan sambil mengangguk. Pramusaji datang dan memberikan pesanan Aini. "Karena kamu mengenalnya, lebih baik kita duduk saja dengaAini, Juna, lagi pula dia lebih dulu di sini," kata Dave sambil terkekeh kecil. Arjuna yang melihat bagaimana kekehan Dave keluar dengan leluasa menoleh ke arah Aini, dan Aini yang dilihat Juna dengan intens langsung menoleh lalu menuduk kembali menikmati coklat dinginnya yang tak lagi nikmat dia rasakan. “Bodoh, kalau tau tadi bahwa dia teman Pak Juna, lebih baik aku pergi saja,” ucap batinnya. "Bolehkah kami duduk di sini, Aini?" tanya Juna membuyarkan lamunan Aini. Aini yang bingung akhirnya menjawab, “Iya, Pak, bo-boleh." Lalu mengangguk sebab bila di tolak dia tidak enak, tetapi jika diiyakan juga dia sangat canggung. Tapi yang terbaik dia menjawab 'iya' saja agar aman. "Tentu dong, sepertinya dia juga memiliki utang denganku," tambah Dave melirik Aini sekilas lalu tersenyum samar kepada Juna. Arjuna menatap Aini dan Dave bergantian, lalu duduk setelah menarik kursi. Aini yang bingung pun semakin mengernyit, bertanda bahwa dia sangat bingung dengan ucapan Dave barusan. "Ah, aku belum menceritakan pada siapa pun ya, kejadian kemarin bahkan Sean juga. Nanti saja aku menceritakannya kepada kalian berdua,” ucap Dave sembari menyeringai kecil. Arjuna yang paham pun mengangguk. “Aini, bagaimana tempat magang kamu? Sudah mulai kamu magangnya?" tanya Juna basa-basi membuka percakapan. "Eh, hmmm, belum, Pak. Karena baru dua hari lalu saya mengantarkannya dan belum ada panggilan, Pak," jawab Aini. Juna mengangguk. “Kamu juga akan tahu siapa nanti bosmu ketika magang," sambung Juna sambil menoleh ke arah Dave yang bingung dengan reaksi temannya itu. "Oh ya, bagaimana dengan orang yang kamu rekomendasikan padaku, Jun?" tanya Dave penasaran. "Ah, ya. Aku rasa besok kamu akan dipanggil untuk magang dan juga Dave kamu akan segera tahu siapa orangnya," ucap Juna. "Oke,” jawab Dave singkat. “Oh, hai! Kamu adalah orang yang kemarin saya tolong, bukan?" Dave menembak Aini dengan pertanyaan. Aini yang terkejut melihat ke arah Dave dan mengernyit. “Kamu yang nolong saya kemarin?" tanyanya langsung masih dengan perasaan bingung. Dave yang mendengar itu langsung tertawa keras kemudian mengangguk. Saking terkejutnya untuk yang kesekian kali, Aini reflek melototkan matanya yang kecil hingga menjadi besar, tetapi malah semakin membuat Dave terkekeh. Juna yang bingung pun bertanya, "Kalian sudah saling kenal?" “Ya,” jawab Dave. Tetapi secara bersamaan pula, Aini menjawab tidak. Arjuna yang paham ketika Aini mengatakan tidak, dan Dave mengatakan iya sudah bisa menebaknya siapa yang berbohong. "Ah, hatiku sakit sekali. Padahal aku menolong orang, Jun," katanya mulai mendrama dengan Juna yang mendengus mendengar perkataan temannya. "Maaf, Pak, bukannya saya tidak sopan kepada teman bapak, tapi saya benar tidak ingat ketika dia menolong saya. Tapi maaf, memang kami tidak saling mengenal," ucap Aini mantap. Dave yang mendengar itu mulai berakting lagi, sampai ada yang memanggil namanya dan Aini. "Dave.” "Aini," ucap mereka bersamaan. Mereka bertiga menoleh dan Juna hanya terdiam. Juna sudah mengubah wajahnya menjadi lebih dingin lagi. Tapi Dave seolah tidak terpengaruh dia juga biasa saja menanggapi Marsya. Ya, benar Marsya yang menyapa Dave. Lalu siapa yang menyapa Aini? Jelas sang mantan. Mungkin kalau Marsya dan Leo bertemu seperti itu, cocoknya justru mereka yang bersama. Karena sama-sama membuang hal yang pasti demi sesuatu yang bahkan mereka tidak bisa raih sama sekali. Lucu memang, Leo yang dahulu menghianatinya justru masih mengejarnya. Tapi, yang Aini pikirkan saat ini adalah, bagaimana caranya kabur dari tempat ini. Sebab, dia ditahan oleh pria yang menolongnya dan Juna, adalah dosennya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD