Bab 2

1036 Words
Pov : RANIA "Rania! Kamu nggak tuli, kan?" Bentak Mas Gaza lagi. Apa mendongak, menatapnya bingung. Apa yang harus kujelaskan? Sedangkan aku sendiri tak paham kenapa Mas Gaza bisa tiba-tiba murka bahkan kini menjatuhkan talaknya, tepat setelah dia membuka ponsel dari saku celananya. Aku hanya bisa menghela napas lalu kembali menunduk. Menyeka air mata yang semakin deras mengalir ke pipi. "Rania! Apa sekarang kamu mendadak tuli?" Bentak Gaza lagi. Aku menutup telinga seketika saat mendengar bentakan Mas Gaza kedua kalinya. "Apa salahku, Mas? Hingga kamu tega menjatuhkan talak di hari yang sama saat kamu mengucap qabul. Hari yang seharusnya diisi dengan tawa, canda dan bahagia, kenapa justru kamu tabur dengan luka? Apa salahku? Apa yang harus kujelaskan? Sementara aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi bahkan membuatmu seperti ini. Kenapa kamu tak tabayyun dulu? Kenapa ucapan talak seolah begitu ringan bagimu?" cecarku kemudian. Kuungkapkan segala pertanyaan yang ada di benak lalu kembali memeluk Ummi dan tergugu di pundaknya. Ummi. Dialah wanita paruh baya yang baru tadi pagi bergelar sebagai mertuaku. Air matanya masih bercucuran sepertiku. Aku tahu, Ummi pasti juga sedih dan terluka mendengar talak yang begitu lantang diucapkan anak lelakinya. "Kamu masih bertanya apa salahmu, Ran? Apa urat malumu sudah putus?" Mas Gaza kembali memberondongku dengan dugaan-dugaannya yang aku sendiri masih tak mengerti apa maksudnya. "Aku benar-benar nggak paham apa salahku, Mas," jawabku lagi. Berusaha tegar meski d**a terasa begitu sakit. "Bahkan aku sendiri malu untuk menceritakannya," ucap Mas Gaza. Sorot mata yang sedari tadi begitu tajam, kini mulai terlihat rapuh. Ada kecewa, duka dan benci yang tersirat di kedua netranya. Serapuh itukah Mas Gaza? Apa yang sebenarnya terjadi hingga membuatnya seperti ini? Selama hampir enam bulan mengenal dia, aku belum pernah melihatnya sekecewa ini. Apa yang sebenarnya dia lihat di ponselnya tadi? Kenapa juga harus malu untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Aku dan Mas Gaza memang belum lama saling mengenal, tapi orang tua kami sudah sejak lama bersahabat. Awalnya mereka memang berniat menjodohkan aku dengan Mas Gaza, tapi belum sampai diadakan pertemuan keluarga untuk membahas itu, kami sudah saling jatuh cinta. Cinta itu datang begitu saja saat ketiga kali aku dan dia bertemu di tempat yang sama. Pertemuan ketiga yang begitu istimewa. Saat itu aku dan dia sama-sama berada di sebuah rumah makan. Aku ingin pulang sementara dia sepertinya baru saja datang bersama ketiga temannya. Dua orang perempuan dan seorang laki-laki yang tak asing bagiku. Laki-laki yang pernah menjadi teman sekolahku saat SMA dulu. Ahda namanya. Aku juga tak menyangka bisa bertemu kembali dengannya di sini, apalagi dia bersama Mas Gaza dan terlihat begitu akrab layaknya sahabat dekat. "Rania anaknya tante Erita, kan?" tanya Mas Gaza saat melihatku kebingungan karena ban motor yang bocor. Seketika senyum itu terlukis di kedua sudut bibirnya. "Iya, dia Rania," ucap laki-laki di sebelah Mas Gaza. Ahdan-- teman putih abu-abuku itu. Dia pun tersenyum ramah menatapku lalu menganggukkan kepalanya saat tak sengaja kedua mata kami bertemu. Sejak dulu, Ahdan memang begitu sopan pada setiap perempuan. "Oh, kalian sudah saling kenal?" tanya Mas Gaza kemudian. Aku dan Ahdan mengangguk bersamaan. "Dunia begitu sempit rupanya, ya," ucap Mas Gaza lagi, lalu dia tertawa kecil. Tawa yang membuatku tak bisa tidur berhari-hari manakala mengingatnya. Mungkin itulah yang dinamakan cinta pada pandangan ketiga. "Ohya, Ran. Ini Ahdan sahabat dekatku. Sedangkan mereka berdua, Windy dan Yoanda. Sahabat kami juga. Kami bersahabat sejak masuk bangku perkuliahan hingga kini, hampir empat tahun lamanya," ucap Mas Gaza lagi. Dia memperkenalkan ketiga sahabatnya padaku. "Bagaimana kabarmu, Dan?" tanyaku basa-basi pada Ahdan yang masih menatapku tak berkedip beberapa saat lamanya. "Alhamdulillah baik. Kamu sendiri kenapa akhir-akhir ini nggak pernah posting di media sosialmu, sibuk?" tanyanya tiba-tiba, membuatku mengerutkan alis seketika. Berulang kali kueja pertanyaan Ahdan, tapi masih saja tak mengerti. Apa selama ini dia mengikutiku di media sosial hingga dia tahu kapan aku on dan kapan aku off? Namun buat apa dia mengikutiku? Bahkan selama menjadi teman sekelasnya dulu, aku dan dia juga tak terlalu akrab. "Eh ... iya aku agak sibuk akhir-akhir ini," balasku kemudian sedikit gugup dan terbata. "Ohya, maaf aku harus segera pulang. Ibu pasti sudah menunggu pesanannya," ucapku lagi. Aku memang sengaja mampir ke rumah makan ini untuk membelikan nasi kebuli pesanan ibu. "Tapi ban motor kamu bocor, Ran. Aku antar pulang aja gimana?" Mas Gaza menawarkan jasa. Namun aku menolak. Meski ibu sudah mengenal baik orang tua Mas Gaza, tapi ibu pasti tak suka jika aku pulang diantar laki-laki bukan mahram. "Maaf, Mas. Aku pulang sendiri saja. Mau cari bengkel dulu," ucapku lagi. Di saat yang sama, dua sahabat wanita Mas Gaza pamit untuk masuk lebih dulu. Perempuan bernama Yoanda itu menatapku sinis, seolah tak suka jika aku berlama-lama dengan sahabatnya. Entah karena apa. Padahal aku juga bersikap biasa, tak ada niat tebar pesona. "Kalau begitu biar aku yang dorong motornya, ya? Ada bengkel tak jauh dari sini tapi lewat g**g sebelah. Kamu pasti nggak tahu tempatnya," ucap Mas Gaza lagi. Tanpa kuiyakan dia sudah memintaku untuk menyerahkan stang motor ke tangannya. "Dan, kamu masuk dulu sama si Windy dan Yoanda. Nanti kususul. Pesan saja suka- suka kalian, oke?" Kulihat Ahdan hanya mengangguk pelan, membiarkanku pergi bersama sahabatnya. Sampai di belokan iseng kumenoleh ke belakang, masih ada Ahdan dengan tatapannya yang begitu sulit kuartikan. Sejak saat itu, hubunganku dengan Mas Gaza kian dekat hingga dia mengungkapkan kekagumannya padaku. Tanpa menunggu waktu lama, dia melamarku sebulan lalu. Ibu begitu terharu saat itu, karena setelah menikah Mas Gaza akan memboyongku ke rumah Ummi. Waktu yang begitu mendebarkan buatku dan ibu yang sejak dulu hampir tak pernah berpisah. Mas Alif pun menitikkan air mata, melihatku begitu bahagia menerima pinangan laki-laki yang kucinta. Kuseka kembali air mata yang menitik di pipi. Ah momen bahagia yang tak lama kurengkuh, karena detik ini semua senyum bahagia itu pun luruh. "Katakan saja di sini, Mas. Apa salahku hingga kamu tega menjatuhkan talak itu," ucapku lirih. Dadaku sesak karena terus menangis sedari tadi. Sekarang aku pasrah, apapun yang akan terjadi setelah ini. "Dengan siapa dan kapan kamu melakukan ini, Ran?" tanya Mas Gaza tiba-tiba. Dia menatapku begitu tajam sembari mengulurkan ponselnya. Betapa terkejutnya aku saat melihat video yang ada di ponselnya itu. Kepalaku mendadak pening, mata berkunang-kunang hingga semua gelap seketika dan aku tak sadar apa yang terjadi setelah itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD