2. Sup Iga Sapi

1070 Words
Anyway, udin pada follow akun Mak belum???? -------------------------------- "Genteng tanah harganya 2.750. Kalau 1 meter persegi butuh 18 biji." Naya menunggu Koko menekan-nekan tombol kalkulatornya. "Jadi 48.600." Mendengar harga genting tak sampai merogoh kocek ratusan ribu, hati Naya berbunga. Ia segera mengangguk mantap untuk menuntaskan transaksi jual beli pagi ini, sebelum menuju rumah majikan.  "Kalau gitu, saya bisa beli 36 biji, Ko?" "Sedikit amat?" "Cuma buat ganti yang pecah aja, Ko," jawab Naya. Tak mungkin ia berkata tak punya uang, untuk membeli sesuai luas atap kontrakan yang di tempatinya. Mendadak Naya mengubah keputusan. Urung mengganti seluruh genteng yang kini begitu rentan, dan hanya memilih yang pecah saja. Selain menimbang keuangan, toh rumah itu bukan miliknya. Suatu saat akan ia tinggalkan, tapi entah kapan.  "Okelah. Alamat kau mana ini? Tulis! Nanti dikirimkan." "Baik, Ko." -------------------------- Rustini menyodorkan sekeranjang belanjaan pada Naya yang sudah bersiap di dapur, setelah memasukkan dua botol bekas anggur impor di kotak pojok gudang. Setelah melepas labelnya, botol-botol itu kemudian akan dikumpulkan hingga tercukupi beberapa untuk Naya jual ke pemulung. Bercampur dengan botol kaca sirup, kecap, dan beberapa saus. Keuntungan hasil berjualan barang bekas, diserahkan pada Naya, pun beberapa asisten rumah tangga yang rajin mengumpulkan barang bekas demi menambah pundi rupiah. Di antaranya, Hamid dan Risma. Jika si tukang kebun itu suka mengumpulkan botol air mineral bekas, Risma lebih hobi mengumpulkan sak semen kosong yang sering dibawa pekerja Laksa pulang.  Tiap bulan, Naya bisa mengantongi 20 hingga 30 ribu hasil berjualan barang bekas.  "Tuan minta sup iga sapi buat nanti siang." "Siang?" Alis Naya terangkat salah satu. "Apa Tuan Laksa nggak puasa, ya, Mbak Rus?" Rustini secepat kilat membekap mulut Naya, takut kalau-kalau pertanyaan tersebut sampai di telinga dua majikannya. Rustini menggeleng. "Kalo Bu Sukma ... puasa, nggak?" tanya Naya lirih.  Rustini mengangguk. "Jadi, bikinin aja seporsi buat siang dan porsi kita-kita semua di malem." Naya menurut. Bukan urusan Naya melihat Tuan baik hatinya tak berpuasa. Meski rasanya ingin meluncurkan nasehat sebagai saudara sesama muslim, mendadak Naya teringat status sosial dirinya di sini sejak delapan bulan yang lalu. Hanya 'pembantu.' Naya memotong dadu kentang dan wortel. Memilah daun bawang dari yang tak layak. Bawang goreng juga seledri telah siap. Sembari menunggu rebusan iga sapi melunak, Naya mendengar saksama radio butut tak terpakai yang ia temukan bulan lalu di gudang. Naya pungut lantaran masih menyala. Ada satu saluran di frekuensi 125.5 FM bernama Radio Kita, lebih sering memutar acara membaca puisi, alih-alih lagu pop penyemangat aktivitas pagi.  Kesukaan Naya pada puisi, bukan lantaran ia pandai berpuisi jua. Hanya terkagum bagaimana seseorang dapat mengungkapkan pesan melalui kata-kata yang begitu indah. Terkadang, ia mengernyitkan dahi tak paham maksud pesan tersirat. Namun, di lain hari Naya bisa mengangguk bahagia, mengerti dengan mudah pesan apa yang sang pembaca ingin sampaikan. "Ia hanya raga yang bodoh. Pikirnya hitam, sehitam jelaga. Kalbunya putih, terhalang kabut.  Secercah sinar pun, tak kuasa menembus ...." Naya duduk termangu. Bukan melamun. Melainkan berpikir keras, lanjutan apa yang tepat untuk meneruskan puisi berjudul 'Pembuat Onar' ini.  “Jika sajak indah mampu menyentuh,  Ia tak butuh pendar agar bersinar, Jika iman cakap memperdaya budi,  Bakat cerdik bukan sebuah keniscayaan.” Naya menulis balasan puisi di kertas bekas sisa bungkus bawang merah yang masih bersih. Tak lupa sekaligus mengejanya lirih.  "Siapa bilang, bakat bukan keniscayaan?" Naya menegakkan punggung. Menoleh ke belakang, dan mendapati sesosok pria berkulit sawo matang berbadan besar. Wajahnya basah, sisa mencuci muka. Handuk kecil masih tersampir di genggaman tangan kanannya. Raut pria datar itu membuat Naya berdiri dan menunduk hormat.  "Maaf. S-saya nggak bermaksud—" Kalimat Naya tak kunjung usai. Ia mengangkat kepala pelan. Ternyata, si mata elang masih menghunus tajam di sana. "A-anu, Tu-Tuan nggak cuci muka di kamar mandi Tuan?" "Manusia seonggok daging bernyawa, Tak ada kemanfaatan terjelma,  Jika ia cukup mengejar iman bersajak." Naya mengangguk, mengerti maksud tuannya. Tak berani lagi mengangkat kepala, takut kalau-kalau ia mati di tempat tertusuk tajamnya tatapan Laksa.  "Lanjut!" "Y-ya, Tu-Tuan?" "Lanjutkan balasan saya tadi!" perintah Laksa. Ia bersedekap, sembari bersandar di dinding tepat di sebelah sebuah kulkas besar tiga pintu.  "T-tak ... tak semua m-mewarisi akal tinggi." Naya membalas dengan nada sangat bergetar. Buku-buku jarinya mendingin. Tak sadar, ia remas sendiri, demi mengusir kegugupan.  "Jika kaum ini terlahir dalam dua sisi, Mungkin tak ada salahnya saling mengisi,  Si sajak beriman mengiring si bakat budi,  Maka Onar enggan bertandang lagi." Seulas senyum lebar terbit di sela bulu jambang dan kumis tipis itu. Namun, tak Naya sadari sebab ia masih terpaku pada posisinya. Ketakutan bukan main pada majikan yang mendadak mengajaknya berbalas kata. Laksa bangkit. Ia mengambil kertas bekas hasil tulisan Naya di atas meja.  "Bagus," puji Laksa. Ia mendekat ke kitchen bar dimana Naya berdiri bagai mayat hidup di belakangnya. "Ini saya ambil! Fokus memasak saja, karena saya tidak suka hidangan yang masaknya tidak sungguh-sungguh. Bisa jadi ada bumbu yang lupa kamu masukkan!" imbuhnya.  "B-baik, Tuan." Tunduk Naya makin menenggelamkan kepala. Ia baru bisa bernapas lega ketika Laksa menghilang di balik pintu.  Untung, tak ada acara pemecatan terjadi.  ----------------------------------- Naya pulang membawa dua plastik sup iga. Lebih tepatnya sup sayur biasa, lantaran ia tak punya nyali cukup besar untuk mengambil barang sepotong iga pun hari ini setelah kejadian tadi pagi.  "Enak, Buk. Kayak ada rasa daging-dagingnya, gitu." Tawa Nanya pecah, teringat satu iklan yang sering ia dengar dari radio.  "Yaudah. Habiskan semua," usap Naya di surai lurus Aim, berganti Uma yang masih mengenakan jilbab anak hasil jahitannya sendiri.  "Jangan, dong, Buk! Kan, disisain buat Sahur," sahut Uma.  "Pinter, si Adek Manis!" ledek Aim pada adik semata wayangnya.  "Ibuk, Aim hitung gentengnya ada 36. Memang tadi pagi Ibuk naik atap hitung satu-satu?" Lagi, Naya tak sanggup menahan tawanya. Hidup kekurangan tak membuat keluarga kecil ini kehilangan kebahagiaan.  "Enggak. Adanya uang buat beli segitu. Tinggal nabung untuk bayar Pak Somad buat pasangnya." "Aim aja Buk yang naik. Jadi nggak usah bayar tukang." Naya menggeleng keras. Ia lebih memilih menunggu menabung sebulan lagi, alih-alih membahayakan anak 10 tahun yang badannya hampir membalap badan Naya.  "Nggak. Nurut sama Ibuk, Aim. Nanti kalau kamu sudah SMP, mungkin bisa bantu. Tapi sekarang, belum boleh." Naya sebenarnya juga mahir menukang. Memasang paku untuk gantungan. Menyemen lantai yang plesterannya pecah. Menambal pintu meski dengan karton bekas. Memasang gas 3 kg ke kompor, adalah hal termudah yang jarang bisa dikerjakan ibu-ibu tetangga Naya. Ia terbiasa melakukan banyak hal yang biasa dilakukan para pria. Namun, tidak untuk yang satu itu. Naik ke atap dan memasang genteng.  Naya takut ketinggian.  ----------------------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD