KTA'S 03 - Vibez Mine

2019 Words
"I'm not gonna give in If I have to fight, then I'm willing to give my life, rather die Than lay down on my back got no white flag to throw This is my Alamo, this, this is my Alamo." "Suka sama lagu-lagunya Alec Benjamin?" Suara itu menghentikan senandung kecil yang keluar dari sepasang bibir Laisa. Ia menoleh ke arah cowok jangkung bersetelan rapi dengan aroma aquatic dari parfum Versace Dylan Blue merek terkenal yang menguar di sekitar atmosfernya, berhasil memberikan sensasi maskulin. Cowok itu mendekat, menyerahkan beberapa lembar kertas yang tak lain adalah berkas-berkas proposal. "Udah gue cek. Dan hasilnya memuaskan. Penulisan rapi dan tepat. Bahkan nggak ada salah ketik dalam sekata pun." Cowok itu berucap memuji Laisa. "Lo emang layak buat jadi sekertaris BEM," lanjutnya mengulurkan tangan menepuk pelan bahu Laisa. "Ok, thank you. Kalo gitu kemungkinan siang ini bisa kita antarkan proposalnya ke Pak Dhito." Cowok di depannya mengangguk setuju seraya tersenyum teduh. "Gimana, Bung? Kelar?" tanya Ryan pada Panji yang baru saja datang dan langsung bergabung. "Aman. Sore ini kita rapat," putus Panji sebelum melenggang menuju meja komputer. "Rapat?" Laisa mengulang untuk memastikan. "Iya, untuk mematangkan persiapan. Dan lo, La, siap-siap mengkoordinir seksi bidang sekretaris buat menyiapkan persuratan ijin dan lain-lain." Panji menjelaskan suaranya yang terdengar hangat. "Tentunya setelah proposal ini disetujui." Ia melanjutkan. Laisa menghela berat. Lagi-lagi temu kangennya dengan Nanta harus tersita oleh banyak kegiatan. "Oke, kalo gitu sampai nanti siang, kita ketemu di gedung rektorat. Gue mau ke sekre jurnalis dulu, ada yang perlu gue tengok," ucapnya menyanggupi. Namun, langkah kakinya harus tertahan oleh suara Panji. "Eh, La. Hari ini nggak ada kelas?" tanya cowok itu segera bangkit dan menghampiri Laisa. "Eng ... nggak. Kenapa emangnya?" "Gue mau minta anter buat ketemu Pak Surya. Mau konsultasi soal acara BEM sama Pak Surya." Laisa menghela lagi. "Ada Ryan. Lo bisa sama dia." "Gue nggak bisa. Lagi banyak kerjaan," sahut Ryan dengan cuek. Panji mengangkat kedua alisnya. "Ryan lagi ngerjain tugasnya. Dia dapat tugas tambahan dari Bu Winda," jelasnya. "Tau, nih. Bete gue. Mana laptop malah mokad. Sialan." Ryan terlihat merutuk meski kedua matanya terlihat sibuk di layar komputer. "Apalagi gue tadi sempet liat kalo Nanta lagi sibuk juga di sekre bareng anak-anak jurnalis lainnya." Panji meneruskan, berusaha untuk menghalau celah yang Laisa miliki. "Harus banget, nih?" Laisa menimbang. Kepala Panji mengangguk penuh harap. "Sekalian minta koreksi atas proposalnya, barangkali ada yang masih kurang tepat," tambahnya. "SELAMAT PAGI!!! AKU DATANG MEMBAWA KEBAHAGIAAN!!!" Lengkingan nyaring dari pita suara Vira mengisi ruang yang hanya terisi Laisa, Panji, dan Ryan yang tampak memilih sibuk sendiri dengan komputer di depannya. "Buset! Sepi amat!" Vira mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Yang lain belum datang?" Pertanyaannya mengudara begitu saja tanpa ada yang berniat menjawab. "Nah, ada Vira. Lo bisa sama Vira. Dia juga bantuin gue buat nyusun proposalnya." Laisa gegas menarik tangan Vira hingga nyaris terjerembab. Tanpa menunggu balasan Panji yang entah akan seperti apa, ia segera melesat keluar dari ruang bertuliskan Sekre BEM menuju sederet bangunan mungil penuh tanaman yang berada di sudut dekat halaman kampus. Sesampainya di area komplek sekre langkah tergesanya perlahan melambat. Melangkah lebih santai menuju ujung bangunan yang tampak agak ramai. Ada Hans yang tengah tertawa, juga ada Adi yang tampak menggebu dalam mengungkapkan perspektifnya mengenai tatanan norma dan hukum di tanah air, lalu ada Rezky, Maul, Teddy serta beberapa anak lain yang tidak begitu Laisa kenali. Matanya terus mengedar, menerobos jendela usang penuh debu berusaha melihat ke dalam ruangan. Tapi sosok yang dicarinya tidak juga terlihat. "Hai, semua. Kayaknya lagi santai aja, nih." Laisa menyapa orang-orang di depannya. Mereka senyap dalam sekejap. Tawa yang sempat mengudara pun ikut lenyap melihat kedatangan Laisa. Gadis itu tersenyum. Tatapannya mengedar untuk mengenali beberapa orang di antara mereka yang masih tampak asing. "Maaf, maaf, kayaknya gue ganggu obrolan kalian, ya," ucapnya lekas menyadari arti beberapa pasang tatapan yang tertuju kepadanya. "Santai aja. Namanya juga lagi santai." Hans menyahut ringan. Menunjukkan kalau dirinya tidak terganggu sama sekali. "Eh, Laisa. Kayak lagi nyari seseorang, nih." Maul menebak-nebak dan tebakannya sukses membuat Laisa menahan senyum yang terselebung semu malu. "Iya, Nantanya ada?" Laisa mengiakan seraya menanyakan lelakinya. "Ada dong. Apa sih yang nggak kalo buat Mbak Laisa," canda Adi jenaka membuat teman-temannya yang lain ikut tertawa. Laisa pun terkekeh. "Tuh, orangnya di dalem lagi ngasih makan ikan cupang," lanjut Adi menunjuk ke arah dalam ruang sekre dengan wajahnya. "Maklum aja, orang kayak dia kurang minat ngomongin politik." Teddy menambahkan kemudian terkekeh. "Oke, thanks, ya. Gue ke dalem dulu," pamit Laisa segera melangkah masuk. Pencahayaan minim karena ruangan tertutupi penuh oleh koran-koran harian yang tertempel pada jendela ruangan, menampakkan sosok tubuh yang tengah berdiri tepat di samping akuarium berukuran sedang. Tubuh itu sesekali mengangkat tangannya untuk mengisap tembakau gulung yang diapit di antara kedua jari tengah dan telunjuknya. Sedang, kedua netranya memilih sibuk menyimak pergerakan dua ikan cupang di dalam akuarium. "Hai," sapanya begitu menyadari kedatangan Laisa. Rambut acak-acakannya tergerai bebas oleh embusan angin dari kipas yang dibiarkan menyala. "Ada apa?" tanya Nanta. "Kamu nggak masuk ke kelas? Bukannya ini jadwal kamu ikut kelas?" Laisa justru berbalik tanya tanpa menjawab pertanyaan Nanta. "Tadi udah masuk, telat satu menit. Jadi disuruh keluar sama Pak Bustomi. Nggak cuma saya. Tuh, Maul, Teddy sama Rezky juga senasib." Nanta menjelaskan. Tubuhnya kembali berbalik menatap dua ikan itu yang tersekat kaca. Helaan napas berat terdengar. "Kamu ada masalah apa, sih, Nan?" "Nggak ada, La. Kenapa sampe mikir gitu, sih?" "Udah ada tiga mata kuliah kamu yang harus ngulang tahun depan, loh." "Iya, lalu?" "Ya, aku pengen kamu yang serius. Biar kita bisa wisuda bareng." "Bawa santai aja, La. Anggap aja semua itu sebagian dari romantika perkuliahan." "Ya, jangan mengorbankan waktu dan tenaga juga, dong, Nan." "Oh iya, buku yang saya kasih kemarin udah kamu baca?" Laisa mengangguk tak semangat. Entah, semangatnya menguap begitu saja melihat Nanta yang seperti ini. "Belum semua." Ia mendesah berat. Lagi. Lalu menjatuhkan tubuh ke kursi di sampingnya. "Suka sama bukunya?" Hening. Hanya ada suara obrolan samar-samar dari luar. Tangan Nanta meraih sejumput krill kering, lalu menjatuhkannya sedikit demi sedikit ke permukaan air. Namun dalam sekejap, krill yang ia berikan habis dilahap ikan kecil yang terkenal beringas dengan mangsanya. "La, saya—" Kata-katanya terhenti bertepatan dengan isak kecil yang terdengar mengisi senyapnya ruangan. Ia segera menoleh ke arah Laisa yang tengah menyeka air matanya dengan jemari. Melupakan ikan cupang yang sempat menjadi hiburannya beberapa menit lalu. Nanta berjongkok tepat di hadapan Laisa dan menatapnya dengan bingung. "La ... Hei." Tangannya menangkup wajah Laisa dengan hangat. Satu bulir air mata menetes. Ada sesak di dalam dadanya yang lantas menyumbat saluran kerongkongannya. Jemari Nanta menghapusnya. "Kamu nggak perlu khawatir, La. Cukup percaya kalo saya bisa," katanya lembut. Ia mengerti apa yang menjadi kecemasan terbesar Laisa atas dirinya. "Termasuk bisa menjadi sosok yang kamu butuhkan," lanjutnya tulus. Senyumnya mengembang, menyembulkan gigi susul yang tampak manis. Nanta tertawa pelan, menyatukan keningnya dengan kening Laisa. "Kamu nggak perlu cemas," ucapnya meyakinkan. Laisa mengangguk pelan. Mengulum bibirnya kemudian tersenyum. Nanta melirik arlojinya yang menunjukkan baru pukul sembilan pagi. "Kamu ada waktu luang sampai jam berapa?" tanyanya, berharap kehadiran Laisa tidak disita lagi oleh kesibukannya. "Aku free sampe jam satu. Karena harus ketemu Pak Dhito buat ngasih proposal." "Jalan, yuk." Gegas Laisa menggelengkan kepala. Kontan tidak setuju dengan opsi yang Nanta beri. "Nan, kalo kamu bolos kuliah terus, gimana sama nilai-nilai kamu nanti? Karena itu juga penting. Seenggaknya kamu bisa mempertahankan nilai kehadiran kamu." "By the way, kok kamu tau saya di sini?" "Kamu pergi ke langit juga aku tau, Nan." "Serius, La." Nanta memohon. "Iya. Apa sih yang nggak aku tau dari kamu?" Ada nada tidak main-main yang terdengar dari mulut Laisa saat mengatakannya. "Udah sana. 10 menit lagi kamu masuk kelas," bubuh Laisa. Nanta menghela napas. Ia mengangguk menuruti perkataan Laisa. "Asal pulangnya bareng," lontarnya memberikan persyaratan. "Aku ada rapat BEM nanti sore." "Nggak apa. Asal pulangnya bareng." Nanta tidak mau dibantah. Laisa mengangguk. Nanta bangkit dari posisi jongkoknya, lalu mendaratkan ciuman lembut di kening Laisa. Memberikan desir hangat yang mengalir di sekujur tubuh. Mendidihkan berliter darah di yang tertampung di antara bilik jantungnya. Sambil menggandeng tangan Laisa ia pun keluar ruangan menghampiri ketiga sahabatnya yang terlihat masih asyik mengobrol entah apa sambil mengemil kuaci. *** Usai mengikuti jam mata kuliah. Nanta memilih untuk memisahkan diri dari ketiga sahabatnya yang memutuskan untuk nongkrong bersama di warung Abah yang terletak tepat di dekat sudut lahan parkir depan kampus. Kini ia duduk di bangku panjang samping Ruang Sekre BEM. Jemarinya mengetikkan kata-kata yang tak mudah ia rangkai. Pak, aku .... Kata itu kembali ia hapus. Nanta mendesah panjang. Sedang, ada rindu yang ingin berkabar dengan Ayah dan Ibu. Ass .... Belum selesai, Nanta menghapus kata-kata itu lagi. Tanpa sadar jemarinya meremas ponsel dengan erat, meminta isi kepalanya untuk segera berfungsi dengan baik. Sejenak ia menatap ikon telepon yang tertera di sudut layar. Ah, sepertinya menelepon bukan pilihan yang tepat untuk saat ini. Ia ingat mengenai perdebatan hebat antara dirinya dengan Bapak. Aku rindu. Ya, Nanta berhasil mengetikkan dua kata itu. Namun, lagi dan lagi harus kembali tersimpan pada draft SMS. Tanpa berani mengirimkannya pada dua belas digit nomor yang hampir sama dengan miliknya dan hanya dibedakan dengan dua angka di ujungnya. Tangannya bergerak menyapu wajah. Sesulit itukah kembali merangkai pecahan kaca? Dan kini, ia harus bertahan di tepi permukaannya yang retak. Dua jam berlalu hanya untuk menunggu gadis pujaannya keluar dari ruangan bertuliskan Sekre BEM. Nanta menunduk, menatap ujung sepatunya yang lusuh penuh noda. Isi kepalanya kembali berkeliaran menghampiri sebuah rasa hampa yang mengawang tepat di depan matanya. Nahas, sulit digenggam seperti halnya asap pekat. Tanpa sadar gadis yang tengah dinantinya datang dan berdiri di sampingnya. Tengah menatap ke arahnya dengan senyuman mengembang seakan mengerti apa yang tengah ia rasakan. Sorot matanya seakan tengah menatap sesosok anak kecil yang menginginkan pulang dan jatuh pada pelukan yang nyaman. Gemuruh langkah dari beberapa orang yang melewatinya membuat Nanta lantas menolehkan kepala ke arah samping. Terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri membuatnya tanpa sadar akan kedatangan Laisa. "Udah?" tanyanya segera berdiri. Laisa mengangguk. Tangannya terulur minta digenggam. "Yuk." Dengan senang hati ia meraih tangan itu, membawanya ke dalam genggaman. Melangkah sama-sama menuju lahan parkir. "Kayaknya kita mesti muter-muter dulu, deh." Laisa menyarankan. "Nggak capek?" Nanta memastikan. Dengan semangat Laisa menggelengkan kepala. "Nggak. Mumpung langitnya cerah," katanya sambil mendongak ke atas. Nanta menatap Laisa. "Lain kali aja, ya. Kamu kayaknya capek banget," putusnya pengertian. Gadis itu menghela napas panjang. "Ya udah deh," desahnya berat. Langkahnya sampai, Nanta lekas menunggangi kuda besinya. Tapi Laisa justru berdiri di sampingnya. "Tadi kamu melamun aja. Ada yang lagi dipikirin?" tanyanya tanpa ragu. Nanta menggeleng pelan. "Nggak ada," jawabnya tenang, berbanding terbalik dengan riuh nan hiruk-pikuknya suasana di dalam kepala. Lalu tangannya terulur memakaikan helm pada Laisa. Ia tersenyum. Laisa tahu tatapan itu. Sorot mata yang terlihat rapuh, namun dihadang benteng pertahanan tinggi-tinggi agar semuanya tetap terlihat baik-baik saja. Empat tahun berlalu, dan Nanta masih seperti itu. Menyimpan semua lukanya sendiri. Dalam satu hentakan ia naik, mengisi jok belakang lalu melingkarkan tangannya ke tubuh Nanta dengan hangat. Menaruh dagu di bahu kokoh lelakinya. Motor mulai melaju dengan kecepatan sedang. "Aku tau kalo belakangan ini kamu lagi capek, Nan. Entah itu karena pikiranmu atau tugas-tugas lainnya." Laisa berbisik lembut. "Tapi tenang, ya. Ada aku ... yang peluk kamu dengan erat." Kedua tangan Laisa kian merapat. "Yang menggenggam tangan kamu dengan kuat," lanjutnya begitu tulus. "Makasih, La." Nanta meraih tangan itu. Tangan yang hangat untuk digenggam, tangan yang lembut dan tidak pernah untuk menyakitinya. Tangan dari sosok pemilik yang wajib ia jaga sebagaimana dirinya menjaga mahkota kerajaan. Laju kendaraan membawanya membelah langit mega malam yang masih tampak di ufuk barat. Bersembunyi di balik gunung tinggi yang tak secuil pun tertutupi awan pekat. Indah, warna kemuning jingganya begitu menawan. Kekasih, Ada rasa yang mengawang kuat Melekat pada awan pekat Ia bilang ingin selamanya terikat Nahas, ada syarat semesta yang menyekat Membatasi tanpa tahu rasa perih Laju motor itu berhenti karena nyala lampu merah di persimpangan, membuatnya berhadapan langsung dengan cakrawala gagah yang seakan menantangnya untuk bertaruh. Antara runtuh atau utuh. Antara pasrah dan membiarkan patah. Antara menyudahi dan memilih pergi. TBC...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD